Oleh: Ahmad Zainuri
M. Quraish Shihab ialah seorang mufasir dari Indonesia memang bukan berlatar belakang dari sosok pemikir yang terus memikirkan tentang konsep politik Islam. Namun, dalam banyak tulisan dengan fokus kajian al-Quran, M. Quraish Shihab juga menafsirkan banyak ayat dengan konsep politik ketatanegaraan. Quraish Shihab mengemukakan bahwa agama sangat menekankan perlunya kehadiran pemerintahan demi menata kehidupan masyarakat, bahkan demi terlaksananya ajaran agama itu sendiri. Menurutnya, bahwa pendirian negara itu terlandasi pertimbanagan rasio dan kemaslahatan. Menjelaskan lebih jauh lagi tentang hubungan agama dan negara, bahwa tidak sepakat dengan kelompok sekularis yang memisahkan agama dari kehidupan politik.
Baginya, kewajiban negara adalah menerapkan nilai-nilai agama dalam rangka menata kehidupan masyarakat. Dengan jelas, Quraish Shihab menyatakan dalam kekuasaan politik haruslah dilakukan spiritualisasi, bukan teokratisasi atau sekularisasi. Secara tegas, ia menolak paham ini, karena tidak sejalan dengan fungsi agama dalam negara. Baginya, spiritualisasi bukan berarti menjadikan lembaga-lembaga agama mengambil alih peranan pemerintah, seperti dalam halnya negara teokrasi, bukan, tetapi menjadikan nilai-nilai agama reseptif dalam penerapan kebijakan pemerintah. (Nasution 2010, 255).
Kita melihat di Indonesia, yang menganut falsafah Pancasila memberikan posisi yang sangat penting pada semua agama yang dianut masyarakat dan menuntut peran agama serta kaum agamawan dalam membangun agama dan negara. Ini artinya bahwa bangsa Indonesia mampu menyelesaikan permasalahan krusial hubungan agama dan negara dengan caranya sendiri dan menguntungkan semua pihak atau kelompok bangsa. Bagi Quraish Shihab, agama dengan universalitas nilai-nilai yang dikandungnya harus dapat memajukan dan memperkukuh integritas, persatuan dan kesatuan masyarakat Indonesia yang majemuk. Agama, dengan tuntunan kitab suci, harus mampu memberikan jalan keluar yang realistis terhadap problem-problem masyarakat.
Sehingga sebuah sistem dalam negara Indonesia harus bisa menjadi sebuah sistem yang memberikan keharmonisan. Politik ini mencoba membangun bagaimana memandang bahwa Indonesia harus bisa saling konstribusi dalam membangun kebijakan. Syariat memang menjadi sebuah konsep yang banyak digadangkan dalam pendirian negara dengan penduduknya yang mayoritas Muslim, termasuk Indonesia. Namun, harus bisa menyesuaikan dalam realitas kehidupan masyarakat di sebuah negara. Ibn Taimiyah mengatakan bahwa umat manusia itu tergolong kewajiban agama yang bernilai besar. Bahkan agama tidak bisa ditegakkan kecuali dengannya. Karena itu umat manusia tidak akan bisa mencapai kesejahteraan dengan sempurna kecuali dengan bersosialisasi karena di antara mereka saling membutuhkan. (Taimiyah 1997, 158).
Ketika melihat dalam perkembangan sejarahnya bahwa kenapa Indonesia juga sangat semangat dalam menyemarakkan Syariat Islam dalam komposisi sistem pemerintahan di Indonesia. Perkembangan ini tidak lepas ketika turunya tahta Orde Baru dan meruntuslah beberapa aliansi-aliansi partai politik yang bernuansa Islami. (Gunaryo 2006, 320). Perubahan era ini antara lain ditandai dengan pemilihan kepada daerah secara langsung oleh rakyat. Dari sinilah sosok kyai atau ulama menemukan peluang dan aksesnya menjadi umara’.Pelaksanaan pilkada secara langsung itu diamanatkan oleh UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Ketika ruang politik dibuka pada zaman reformasi, banyak kalangan agamawan, kyai yang mulai menceburkan diri sebagai elit politisi. Uniknya sosok kyai dalam memainkan politik ialah tidak lepas dari kharismatiknya sebagai sosok ulama yang tradisional yang khas. (Azizah 2013, 5).
Jika analisa ini dikembalikan pada subjektivitas siapa pelaku dalam merumuskan dalam adanya amandemen politik Islam dan berdirinya negara Islam ialah peran penting sosok individu itu sendiri. Seorang Muslim yang sedang berpolitik mereka harus melibatkan kompetisi dan persaingan, baik mengenai penafsiran simbol-simbol maupun demi penguasaan atas institusi-institusi, formal maupun informal, yang melahirkan dan menyokong dalam hal itu. Penafsiran simbol-simbol dimainkan dengan latar belakang sebuah kerangka pokok yang meskipun subjek dikontekstualisasikan mengandung nuansa bersifat umum bagi kaum Muslim di dunia. Mesti juga harus dipertimbangkan bahwa doktrinal hanya merupakan salah satu faktor di antara banyaknya faktor yang memberikan konstribusi terhadap terciptanya kerangka tersebut (Piscatori 1998, 16).
Dalam Islam pernah menjadi sebuah perbincangan yang hangat mengenai politik dan Islam. Bahwa keduanya tidak boleh dicampur adukkan, karena sudah mempunyai porsi masing-masing. Sebenarnya lebih bermain kepada diksi dan epistimologi religius. Membawa Islam ke arus politik memang menjadi sebuah bahan yang mudah dan gampang. Apalagi bermain dengan partai, kalau sudah membawa tokoh Islam dan mempunyai pengaruh, dipastikan akan berhasil. Kadang kesalahanpenempatan yang menjadi rubrik yang tidak akan hadirnya pahala dunia maupun akhirat. Bahwa Islam kadang menjadi sebuah moda transportasi untuk menuju sebuah kekuasaan sesaat. Nah, ini yang menjadi bahasan dalam Islam yang amat sangat runyam. Namun, ketika politik bermain dengan baik dan etika serta edukasi diperankan, berpolitik kekusaan menjadi akan baik dan benar. Sedangkan Islam menjadi sebuah nilai-nilai dan norma-norma yang memberikan mutiara khazanah dalam membentuk adab dalam berpolitik yang baik.