Oleh: A. Muhaimin DS
Senin pagi kemarin, aku harus memulainya dengan menikmati jalanan Kota Malang yang padat dengan kendaraan untuk mengantar seorang teman ke tempat kerjanya. Riuh bunyi klakson kendaraan bertubi-tubi saling saut. Seolah tak ada habisnya. Laju kendaraan juga tak kalah cepat. Seperti tak ada yang ingin mengalah, saat di persimpangan yang ada lampu merahnya, semua orang seakan bersiap ingin melaju paling depan. Sudah seperti balapan saja.
Hari Senin Dilarang Telat!
Begitulah kira-kira yang ada dibenak setiap orang dengan rutinitas yang diawali hari Senin. Sebab jika telat di hari pertama kerja, maka tidak menutup kemungkinan satu pekan ke depan akan terjadi hal yang sama di hari berikutnya. Memang itu belum pasti akan terjadi, tetapi alangkah baiknya jika mengawali pekan dengan sebuah hal yang positif. Bisa diartikan kebaikan tersebut adalah tidak datang terlambat ke tempat kerja.
Sebagai kota yang dikenal dengan jumlah sekolah dan perguruan tinggi yang banyak, Malang menjadi salah satu tujuan untuk menuntut ilmu. Tak jarang pendatang-pendatang yang awalnya datang ke Malang untuk menuntut ilmu kemudian menetap di kota ini.
Apakah itu salah? Tentu saja tidak. Perlu ditekankan bahwa aku menulis ini tidak untuk menyalahkan siapa pun. Termasuk diri sendiri. Sebab daripada menyalahkan sana-sini lebih baik berani berefleksi untuk diri sendiri saja.
Kembali ke persolan hari Senin dan padatnya jalanan kota Malang. Bagi sebagian orang mungkin padatnya jalanan kota Malang tak sebanding dengan padatnya jalanan di Jakarta. Entahlah aku juga belum tahu pasti. Sebab aku hanya beberapa kali saja merasakan padatnya jalanan Jakarta. Itu pun di dalam bus. Dan itu jelas beda persoalan jika kita merasakan macet dengan berkendara motor.
Sekali lagi, tulisan ini juga tidak bertujuan untuk membandingkan antara padatnya jalanan kota Malang maupun Jakarta. Tapi tulisan ini lebih ingin mencari apa saja yang terlewatkan dari sebuah laju cepat kehidupan karena harus buru-buru sejak pagi di hari Senin.
Kebetulan sekali hari Senin kemarin aku libur. Dan kebetulan juga aku masih belum terikat dengan rutinitas yang harus dimulai hari Senin. Sepertinya tulisan ini penting untuk mengingatkan diri sendiri yang bisa dikatakan akan masuk ke dalam rutinitas yang dimulai hari Senin. Yaitu masuk ke dalam sebuah lembaga yang disebut sebagai ruang belajar.
Baca Juga :
- Pemuda di Tengah Arus Prinsip, Iman, dan Jalan Hidup
- Menilik Karya-Karya Perjuangan Mahbub Djunaidi
- Duta Damai Gelar Diskusi Kekerasan terhadap Perempuan Menghadirkan Komisioner Komnas Perempuan dan Agamawan
- Launching Aplikasi Damai Jawa Timur & Bagi-Bagi E-Book: Inovasi untuk Perdamaian
- Kenalkan Duta Damai Jawa Timur: Momen Spesial di RRI Pro 2 Surabaya
***
Menurutku penting untuk menyadari bahwa rutinitas itu diciptakan. Bukan sebagai sebuah takdir belaka. Sebab tidak ada orang yang menjalani rutinitas hanya karena sebuah ketaksengajaan. Kalau pun ada, sudah seharusnya jika dia merasa tidak yakin untuk menikmati sebuah laju kehidupan yang di dalamnya ada rutinitas maka dia berhak pergi. Dan kalau tidak berani pergi dan meninggalkannya maka dia harus tahu cara menikmati rutinitas itu.
Kira-kira apa saja yang terlewatkan jika kita buru-buru sejak pagi. Suasana pagi sebenarnya bukanlah sebuah suasana yang harus ditakuti. Ia memang suasana yang tak sehening sepertiga malam, tapi juga tak seramai dengan tengah hari yang bising dengan banyak bunyi-bunyian. Termasuk bunyi-bunyian tentang caci maki dan hinaan.
Aku sendiri sebenarnya orang yang suka dengan suasana pagi. Sering menggambarkannya dalam bentuk kisah-kisah kecil. Siapa tahu, dengan gambaran kisah-kisah kecil itu aku benar-benar bisa menikmati kopi pagi lengkap dengan buku bacaan yang menggairahkan hari-hari.
Gambaran suasana pagi yang sering kutuliskan di dalam kisah-kisahku itu ternyata banyak terlewatkan juga olehku. Misalnya, karena bangun kesiangan sehingga justru pagi menjadi seolah sempit sekali. Semua serba harus dikerjakan dengan cepat. Seperti ada yang mengejar dan mencambuk dari belakang. Dan tiba-tiba ketakutan-ketakutan lainnya muncul dengan berbagai cara.
Dampak dari tidak efektifnya pagi hari setelah bangun tidur pun berlanjut di jalanan. Jalanan yang biasa tampak padat namun masih bisa untuk dilewati dengan waktu tempuh normal. Seolah-olah menjadi padat sekali dan sulit untuk dilewati. Kondisi seperti itu juga tak jarang justru memicu emosi. Akhirnya klakson dan caci maki sangat memungkinkan terjadi. Mungkin itu saja sementara yang masih bisa kuingat tentang pagiku. Namun tidak menutup kemungkinan ada yang jauh lebih bisa merefleksikan paginya dengan lebih indah. Itu hanya sisi buruk dari tidak efektifnya pagiku. Yang kusebut dengan buru-buru sejak pagi, buru-buru itu sangat melelahkan. Tapi lain waktu aku juga ingin merefleksikan suatu pagi yang berhasil kunikmati.
Sebagai org malang, itu sudah jadi rutinitas hahaha