Bullying di media sosial adalah bentuk kekerasan yang dilakukan melalui internet dan media sosial. Bentuk-bentuk kekerasan ini dapat berupa mengirim pesan yang tidak sopan, mengancam, atau memposting foto atau video yang memalukan orang lain. Kekerasan ini dapat menyebabkan dampak psikologis yang serius pada korban, seperti depresi, kecemasan, dan bahkan bunuh diri. Menurut Muhammad (2009), bullying adalah perilaku agresif dan menekan, baik secara fisik atau melalui kata-kata. Tidak hanya para senior, tetapi juga guru, orangtua, dan orang-orang di lingkungan sekitar bertanggung jawab atas hal ini. Bullying dapat terjadi secara verbal atau nonverbal. Bullying verbal biasanya terdiri dari cacian dan umpatan kebencian, sedangkan kekerasan fisik biasanya terjadi karena kesenangan semata. Dengan kata lain, pelecehan dapat menjadi kebiasaan yang buruk bagi banyak orang. Untuk mencegah keinginan untuk melakukannya, sangat penting untuk mengetahui bentuk dan dampak pelecehan (Simbolon, 2012).
Tipe bullying dibagi menjadi 4 jenis, yaitu bullying fisik termasuk pemukulan, menendang, mencubit, dan mendorong. Tipe bullying verbal termasuk penghinaan, ejekan, intimidasi, atau pelecehan verbal. Bullying sosial termasuk berbohong atau menyebarkan rumor, gerakan wajah atau fisik negatif, tampak mengancam atau menghina, dan cyberbullying termasuk intimidasi dengan teknologi digital seperti komputer, ponsel (Utami dkk, 2019).
Kekerasan di dunia maya lebih dikenal sebagai cyberbullying ketika seseorang menggunakan teknologi untuk mempermalukan, menyiksa, mengolok-olok, atau mengancam seseorang. Banyak diantaranya pernah mengalami pelecehan online. Indonesia memiliki tingkat kasus pelecehan tertinggi kedua di dunia setelah Jepang, menurut survei Latitude News. Ternyata kasus bullying di Amerika Serikat, yang menempati posisi ketiga, lebih banyak di Indonesia. Di Indonesia, kasus bullying lebih sering terjadi di jejaring sosial. Cyberbullying dapat memiliki dampak serius bagi korban, seperti kesulitan membentuk hubungan dengan orang lain, ketakutan untuk mempercayai siapapun, dan menghindari bersosialisasi. Cyberbullying juga dapat terjadi melalui berbagai platform, seperti media sosial, pesan teks, surel, papan pesan online, dan ruang obrolan.
Umumnya cyberbullying bisa dialami oleh orang-orang dari berbagai usia, bahkan anak-anak usia sekolah dasar sekalipun. Survei UNICEF tahun 2021 menyebutkan bahwa 45% remaja usia 14-24 tahun di Indonesia pernah mengalami cyberbullying. Kemudian data dari Kementerian Sosial tahun 2022, menjelaskan 84% anak usia 12-17 tahun di Indonesia pernah mengalami bullying, dengan cyberbullying sebagai bentuk yang paling umum.
Di Indonesia, belum ada undang-undang khusus yang mengatur tentang bullying, terutama yang terjadi di internet (cyberbullying). Cyberbullying dalam konteks penghinaan yang dilakukan di media sosial diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), seperti yang diubah oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU 19/2016).
Pada prinsipnya, tindakan menunjukkan penghinaan terhadap orang lain tercermin dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang menyatakan bahwa, “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”. Jika terdapat individu yang memenuhi unsur yang disebutkan dalam Pasal 27 ayat (3) UU 19/2016, mereka akan diancam dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750 juta.
Dampak cyberbullying dapat menciptakan gejolak emosional dan psikologis yang signifikan pada korban. Serangan verbal atau pelecehan online dapat mengakibatkan penurunan harga diri, kecemasan, dan depresi. Ketidakmampuan untuk melarikan diri dari serangan tersebut, karena terus-menerus terpapar melalui media sosial atau pesan daring, dapat menyebabkan isolasi sosial dan penurunan kesejahteraan mental. Korban sering kali merasa diperlakukan tidak adil atau terasingkan, menciptakan ketidaknyamanan yang mendalam dan meningkatkan risiko gangguan jiwa.
Selain dampak pada kesejahteraan individu, cyberbullying juga dapat berdampak negatif pada hubungan sosial secara keseluruhan. Komunitas online yang terinfeksi oleh perilaku semacam itu dapat menjadi lingkungan yang tidak sehat, di mana norma-norma etika dan rasa tanggung jawab seringkali diabaikan. Hal ini dapat merusak kepercayaan dan solidaritas di antara anggota masyarakat digital, menciptakan ketidakamanan dan kerentanan yang dapat memengaruhi dinamika sosial secara keseluruhan.
Seperti yang akhir-akhir terjadi dimana Indonesia sendiri memiliki 826 kasus bunuh diri seperti yang dikatakan oleh akun instagram @idntimes. Cyberbullying telah menjadi ancaman serius dalam era digital saat ini, dengan dampak psikologis yang mengerikan, bahkan dapat mengakibatkan tindakan ekstrim seperti bunuh diri. Individu yang menjadi korban serangan online sering menghadapi tekanan mental yang tidak terlihat, yang pada akhirnya dapat menghancurkan kesejahteraan mental mereka. Kasus bunuh diri yang disebabkan oleh cyberbullying semakin meningkat, memicu keprihatinan global. Korban sering merasa terisolasi dan tidak berdaya karena serangan tanpa henti melalui media sosial atau pesan daring. Pemantauan dan intervensi yang tepat diperlukan untuk mengatasi dampak negatif ini.
Pentingnya kesadaran masyarakat tentang bahaya cyberbullying dan perlunya tindakan preventif semakin mendesak. Langkah-langkah pendidikan tentang etika online dan peraturan yang ketat terhadap pelaku cyberbullying dapat membantu melindungi individu dari risiko serangan yang merusak jiwa. Dengan kolaborasi antara pemerintah, lembaga pendidikan, dan platform media sosial, kita dapat menciptakan lingkungan online yang lebih aman dan mendukung bagi semua individu.
Kompleksitas dan seriusnya dampak cyberbullying terhadap kesehatan mental individu di era digital merupakan sebuah fenomena umum dalam pengguna sosial media. Pentingnya dukungan sosial dalam mengatasi dampak psikologis cyberbullying juga ditekankan, dengan artikel ini mencatat saran dari narasumber untuk berbicara dengan orang terdekat dan memperoleh bantuan profesional jika diperlukan. Solusi untuk menangani masalah cyberbullying melibatkan berbagai pihak. Pertama, diperlukan upaya pemerintah dalam meningkatkan kesadaran masyarakat tentang konsekuensi cyberbullying dan pentingnya menciptakan lingkungan online yang aman. Kedua yaitu sosialisasi yang lebih efektif dan penyebaran informasi mengenai cara melaporkan kasus cyberbullying perlu ditingkatkan agar individu dapat dengan cepat dan efektif menanggapi insiden yang terjadi. Ketiga, pentingnya peran lembaga pendidikan, seperti: sekolah formal hingga universitas, perlu dilibatkan dalam program pencegahan dan edukasi mengenai etika digital. Oleh karena itu, bijaklah dalam menggunakan sosial media, seperti halnya pepatah yang mengatakan “mulutmu adalah harimaumu!”. Dengan menjaga komentar sekaligus postingan di sosial media, kita turut menciptakan ruang yang aman dalam dunia online, sekaligus mewujudkan generasi muda Indonesia yang sehat secara mental.
Penulis: Dewi Ariyanti Soffi