Ali Abdel Raziq (Mesir) pernah menulis buku berjudul Al Islam wa Qowaid Al Sulthan (Islam dan Sendi-sendi Kekuasaan). Dalam bukunya dia tidak menyebut negara islam. Akan tetapi menuliskan bahwa Negara yang baik penuh pengampunan Tuhan (baldatun thoyyibatun wa robbun ghofuur). Karena buku itu, Ali dipecat dr Al Azhar, bukunya dibakar, pemikirannya diberangus dan diduga memiliki usaha memisahkan islam dan negara (sekuler).
Ali menanggapi dengan beberapa argumentasi. Pertama, dalam Al Quran tidak ada doktrin. Kedua, Perilaku nabi Muhammad tidak melihatkan watak politik, tapi moral. Ketiga, nabi tidak pernah merumuskan secara defenitif mekanisme pergantian jabatan.
Nabi memerintahkan kita, “maka bermusyawarahlah kalian dalam segala persoalan”. Oleh karena itu, islam tidak mengenal konsep pemerintahan yang defenitif. Buktinya dalam satu sistem pemerintahan yang paling pokok adalah suksesi kekuasaan (penggantian/ reformasi). Ternyata islam dalam masalah suksesi tidak tetap, di antaranya ada; Istikhlaf (Pergantian kepemimpinan dari Abu Bakar ke Umar), Baiat (Umat membaiat Abu Bakar), dan Ahl Hall wa al-aqdi (sistem formatur).
Tiga model itu terjadi pada tempo 13 tahun. Kalau memang islam ada konsep, tidak akan demikian, apalagi para sahabat adalah orang yang paling takut dengan rasulullah. Islam sengaja tidak mengatur konsep kenegaraan, yang ada hanyalah “komunitas agama” (kuntum khoiro ummatin ukhrijat linnas). Jadi khaoro ummatin, bukan khoiro daulatin, jumhurriyyatin, apalagi mamlakatin.
Karena konsep negara baru muncul belakangan. Paham negara atau bangsa (nation state). Islam tidak memiliki konsep yang pasti. Sehingga tergantung para teoritisi kita, para politikus islam. Para teoritisi seperti Al Mawardi, Ibnu Abi Rabi’, ibnu Khaldun (muqaddimah), ibnu taimiyah telah banyak merumuskan konsepsi kenegaraan. Dan yang paling berhasil adalah Ibnu Khaldun, dengan paham kebangsaanya.
Ibnu Khaldun menilai, “agama saja tidak cukup untuk dapat membentuk negara. Pembentukan negara, di samping paham keagamaan, juga diperlukan rasa ashabiyah (perasaan keterikatan). Tujuannya membentuk ikatan sosial kemasyarakatan.”
Itulah paham kebangsaan pertama yang dirumuskan oleh ibnu Khaldun. Sebab, menurut ibnu Khaldun alasan berdirinya negara karena adanya Perasaan Kebangsaan. Dan tidak ada satupun yang menentang pendapat Ibnu Khaldun denga Mukaddimah nya. Banyak pemikir islam di Indonesia yang sepakat dengan gagasan Ibnu Khaldun.
Penulis: Al Muiz Liddinillah
Gambar: kompas.com