Penelitian indeks potensi radikalisme yang dilakukan oleh BNPT tahun 2023 menemukan bahwa wanita, generasi muda, khususnya Gen Z yang aktif di internet berpotensi terpapar radikalisme lebih tinggi. Pola penyebaran narasi dan propaganda kelompok radikal terus dimasifkan melalui internet. Dalam temuan BNPT, sepanjang 2023 ditemukan 2.670 konten mengandung intoleransi, radikalisme, dan terorisme di media sosial.
Meski temuan konten yang mengandung intoleransi, radikalisme, dan terorisme lebih sedikit dari temuan Kominfo pada rentang tiga tahun, 2017-2020. Di mana pada rentan itu Kominfo telah memblokir konten yang berbau radikalisme dan terorisme sebanyak 16.739 konten – terbanyak dari Facebook. Konten terbanyak diblokir dari Facebook, menyusul dari Twitter, Youtube, dan Website.
Dilansir dari Kisah Terorisme Seorang Remaja dan Kalang Terdidik yang ditulis Al Muiz Liddinillah pada lama dutadamaijawatimur.id menceritakan kisah Dhania pada kegiatan Youth Ambassadors for Peace Asia Tenggara yang diselenggarakan BNPT RI, 2019. Dhania mengaku dari keluarga terdidik, hidupnya selalu enak, ada Wifi di rumah. Dhania juga mengaku belajar agama dari media sosial, khususnya Facebook.
Dhania juga menceritakan bahwa dirinya tahu ISIS dan membaca propagandanya di Tumblr dan kanal Diary of Muhajirah, berisi catatan harian kaum perempuan yang berhijrah. Dari bacaannya di media sosial tentang agama dan propaganda ISIS itu Dhania di usia 17 tahun waktu itu mengajak keluarganya ke Suriah. Dhania juga mengajak kedua orang tuanya dan keluarganya yang lain 2016/2017.
Pada tahun 2018 juga viral pemberitaan Duo Siska, dua mahasisw yang ditangkap Detasemen Khusus Antiteror karena ingin berjihad di kantor POLRI. Duo Siska mempelajari ekstrimisme melalui internet dan media sosial. Kampanye atau pesan jaringan radikal tersebar di internet dan media sosial secara masif dan mampu menarik khalayak dalam jumlah besar. (Tempo, 2018)
Siber radikalisme masih cukup masif di media sosial, sebagaimana hasil penelitian BNPT tahun 2023. Parahnya, radikalisme di media sosial berpotensi menyerang perempuan, anak muda (milenial), dan Gen Z.
Gen Z yang kerap dinilai sebagai generasi strawberi ini merupakan generasi yang lihai berselancar di media sosial. Tidak hanya sebagai penikmat, tapi mereka juga aktif membuat konten. Gen Z juga dikenal rapuh, instan, dan gampang dipengaruhi.
Mun’im Sirry dalam bukunya Pendidikan dan Radikalisme, Data dan Teori Memahami Intoleransi Beragama di Indonesia, Suka Press, 2023, menyebutkan bahwa remaja sekolah (SMA) ditemukan memiliki sikap toleransi setengah hati. Dalam penelitiannya, Mun’im menyebutkan pelajar SMA dalam keyakinan menghargai yang berbeda agama, suku, dan etnis sangat toleran. Tapi dalam hal yang lebih substansial mereka keberatan dengan mengucapkan ucapan hari raya untuk agama lain.
Sedangkan radikalisme di Perguruan Tinggi juga demikian. Dalam bukunya radikalisme di Perguruan Tinggi menggunakan teori konversi. Di mana mahasiswa menjadi radikal karena konteks yang berbeda, seperti karena bertemu teman, putus cinta, hingga ketemu dengan ustadz. Jadi, radikalisme itu ada konversinya, ada sebab musababnya.
Sedangkan, di tengah media sosial yang semakin banyak platform baru, radikalisme di media sosial perlu diantisipasi. Seperti halnya sebaran konten di Tiktok atau bahkan X. Karena, penulis amati kedua platform itu sangat menunjang sebaran radikalisme secara masif.
Menurut Abdul Malik dalam Jalan Damai setidaknya ada empat hal yang perlu diantisipasi dalam perubahan pola dan strategi kelompok ini. Pertama, penguasaan wilayah (tamkin) di ruang-ruang publik. Kelompok teror khususnya yang terafiliasi dengan al-Qaeda seperti JI telah meletakkan ruang publik sebagai ruang kontestasi mereka. Lembaga pemerintahan, partai politik, organisasi kemasyarakatan dan lembaga pendidikan menjadi ladang untuk menempatkan individu dalam rangka penguasaan wilayahnya.
Kedua, konsolidasi jaringan. Tidak adanya aksi bukan tidak adanya pergerakan. Transformasi dan diaspora gerakan dan jaringan terorisme di Indonesia terus berlangsung di berbagai daerah. Keterhubungan antar satu jaringan dengan lainnya tidak terbantahkan. Penguatan jaringan menjadi cukup leluasa dengan fasilitas teknologi internet.
Ketiga, propaganda dan rekrutmen kelompok rentan. Sebagaimana dinyatakan oleh Kepala BNPT, sasaran kelompok teror secara aktif menyasar kelompok rentan seperti anak muda, perempuan dan anak. Pola propaganda yang dilakukan tidak lagi membual ajakan narasi kekerasan, tetapi pendekatan lembut yang menarik simpati anak muda, perempuan dan anak.
Keempat, hal yang tidak bisa dilupakan dan terus menjadi energi gerakan teror adalah pendanaan. Ketatnya penjagaan aliran dana dari luar negeri ke dalam negeri yang dilakukan pemerintah menuntut mereka untuk melakukan swadaya di dalam negeri. Banyak pola kamuflase pendanaan yang patut diwaspadai mulai dari kotak amal, dana kemanusiaan, hingga bisnis mandiri yang mereka lakukan. Tentu yang tidak kalah mengkhawatirkan adalah kampanye media sosial dengan menarik dana.
Sedangkan antisipasi lain dalam hal pemantauan lalu lintas digital, penting sekali peran Kominfo dan kementerian terkait dalam menyikapi lalu lintas media sosial. Karena, penting sekali untuk memantau lalu lintas digital dari radikalisme yang ada di Indonesia.
Oleh karena itu, perlu peran banyak pihak dalam menangani Gen Z, Milenial, dan Perempuan dari jerat radikalisme. Literasi digital perlu terus digelorakan. Pemahaman keagamaan yang moderat pun menjadi bekal, serta berpikir kritis bagi generasi muda.
Penulis: Al Muiz Liddinillah