Agus Sunyoto, sejarawan Nahdlatu Ulama (NU) pernah menyampaikan pada sebuah seminar di PBNU yang diselenggarakan Lesbumi pada Juli 2017 bahwa Islam di Indonesia pertama-tama diperkuat oleh pesantren. Pesantren disebut juga sebagai hasil islamisasi pendidikan lokal peninggalan Hindu-Budha, pada Atlas Wali Songo karyanya.
Dilansir dari situs NU Online pada 5 Juli 2024 disebutkan bahwa data pesantren kurang lebih 27 unit. Angka yang cukup besar di Indonesia. Dari banyaknya jumlah pesantren itu menunjukkan bahwa pesantren menjadi pilihan utama pendidikan islam di Indonesia.
Pesatnya perkembangan pesantren di Indonesia menunjukkan semakin intensnya tempat belajar agama islam di Indonesia. Hingga jika kita perhatikan akhir ini, pesantren pun tengah dimodifikasi tidak hanya sekadar tempat belajar agama semata. Beberapa pesantren mengusung isu atau bahkan keterampilan khusus guna membekali para santrinya.
Salah satu yang menjadi daya tarik penulis adalah bertumbuhnya pesantren dengan tema kebudayaan. Mengapa demikian, karena kerap kali bagi kelompok radikal-ekstrimisme menilai tradisi dan budaya adalah sesuatu yang syirik, toghut, dan kufur. Padahal, Islam adalah agama universal, sehingga mampu mengakomodir budaya lokal, islam sholih li kulli zaman wa makan.
Karena Islam adalah agama yang ramah. Sebagaimana kata Badrudin, dosen IAIN Banten, bahwa Islam memberikan warna dan spirit pada kebudayaan, sedangkan kebudayaan memberikan kekayaan terhadap agama. Hal itu ditunjunjukkan dengan keberadaan pesantren budaya yang tersebar di berbagai daerah.
Pertama, pesantren budaya milik Agus Sunyoto di Pakis, Kabupaten Malang. Pesantren itu bernama Pesantren Global Tarbiyatul Arifin. Pesantren itu didirikan sendiri oleh budayawan kharismatik NU itu. Agus Sunyoto merupakan ulama kebudayaan dan budayawan intelektual kebanggan NU, bahkan Indonesia. Selain dikenal sebagai sejarawan dan budayawan, ia adalah penulis produktif, di antara bukunya; Atlas Wali Songo, Fatwa dan Resolusi Jihad, Syaikh Siti Jenar 7 Jilid, Sastra Jendra Hayuningrat, Rahuvanna Tattwa, dan lainnya.
Agus Sunyoto merupakah penulis yang dengan fasih mengungkap Wali Songo sebagai fakta sejarah. Kepeduliannya terhadap kebangsaan juga digoreskan pada Fatwa dan Resolusi Jihad. Perhatiannya terhadap budaya memengaruhi konsep pesantrennya.
Pesantren Globalnya menjadi jujugan anak muda, khususnya yang berada di Malang dalam menimba Islam dan kebudayaan. Selain belajar ngaji, pesantren ini juga mengajak santri untuk mengamalkan suluk. Bukan karena dicap pesantren budaya lalu meninggalkan teknologi, tapi pesantren ini juga maju dalam pengajaran berbasis digital/ teknologi.
Kedua, melesat ke Jogja ada Pesantren Budaya Kaliopak, milik Jadul Maula. Ditilik dari situs resminya, jargon dari pesantren ini pun menarik; Konservatori Seni Budaya Islam di Nusantara. Perihal lain, pesantren ini juga memiliki misi memadukan antara spiritualitas, intelektualitas, dan kreativitas.
Oleh sebab itu, pesantren ini sangat getol pula mengarsip dan mendokumentasikan segala karya seni, sastra, dan budaya. Tidak hanya didokumentasi, tapi juga dikaji dan dipublikasikan. Selain itu, Kaliopak juga kerap melakukan pentas kebudayaan yang dibuka untuk umum, jadi siapa saja bisa terlibat dan hadir dalam setiap pertunjukan.
Ketiga, masih di Jogja, meski tidak ada asrama nya langsung, tapi di sini terdapat banyak aktivitas yang mengaji dan mengkaji islam dan kebudayaan, yang diampu oleh Irfan Afifi. Yah, tepatnya di Langgar. Komunitas Langgar ini juga konsern pada Islam dan kebudayaan. Pada portal resminya, Langgar dengan terang memantrakan Suluk Kebudayaan Indonesia.
Nampak juga pada kanal resminya, Irfan Afifi mempersembahkan Langgar sebagai sebuah laboratorium pemikiran, kajian, dan ruang kreatif penciptaan pada isu-isu kebudayaan dan keindonesiaan. Irfan juga menulis Saya, Jawa, dan Islam, hingga menerjemahkan buku-buku Nancy K. Florida. Irfan juga sangat kuat memproklamirkan kebudayaan sebagai sarana dakwah islam nusantara.
Selain itu, masih banyak lagi pesantren yang bertajuk kebudayaan secara spesifik yang belum bisa saya sebut satu persatu. Meski demikian sebenarnya banyak pula forum pengajian dan pengkajian dari panggung ke panggung yang mengusung Islam dan kebudayaan sebagai relasi yang serasi ini, seperti Cak Nun dan Kiai Kanjengnya, Gus Muwafiq, dan lainnya.
Al Muiz Liddinillah : Duta Damai Jawa Timur. Peneliti di Oase Institute. Editor Buku di Penerbit Kota Tua. GUSDURian. Pendiri Komunitas Literasi Gubuk Tulis. Tinggal di Malang. IG: @almuizld.