Mereka kerap menjadi korban, mereka pula yang menjadi garda depan pemadaman kekerasan dan intoleransi. Tidak hanya memadamkan, mereka lah yang memelihara dan merawat setiap bunga-bunga agar tumbuh indah dan mewangi. Mereka lah perempuan yang dengan tulus mengabdikan diri untuk cinta, kasih, dan perdamaian yang lebih luas.
Kekerasan pada hakikatnya berwatak merusak, mengganggu, dan merugikan. Akhir ini banyak kasus kekerasan, perundungan, dan intoleransi yang merupakan dosa besar pendidikan itu terjadi di sekolah, kampus, dan pesantren. Hal itu patut menjadi perhatian semua orang dan insan pendidikan khususnya.
Kekerasan terjadi baik secara verbal atau non verbal, hingga beberapa kasus, kekerasan yang dilakukan menyebabkan nyawa melayang. Kekerasan tentu tidak berdiri sendiri, kadang pula kekerasan yang terjadi sekuel dari perundungan dan sikap yang tidak menghargai satu sama lain. Banyak anak dan perempuan yang menjadi korban dosa-dosa pendidikan ini.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia (Kemenpppa RI) sejak awal 2024 hingga Juli ini mencatat adanya 12.262 kasus kekerasan di Indonesia, 2.633 korbannya laki-laki, sedangkan korban tertinggi adalah perempuan sebesar 10.659. Lima kali lipat dari laki-laki, perempuan menjadi korban kekerasan. Kasus kekerasan semakin meningkat di berbagai daerah.
Selain kekerasan, perundungan di Indonesia juga semakin meningkat. Sebagaimana hasil penelitian BPS Kemendikbudristek menyatakan ada kenaikan kasus sekitar dua kali lipat dari tahun 2021 ke 2022. Korban perundungan juga disebutkan banyak dialami oleh laki-laki. Selain itu juga banyak pula terjadi di kelas VIII SMP sederajat.
Sedangkan, perihal toleransi di sekolah, menurut hasil riset Setara Institute dan INFID tahun 2023 menyatakan bahwa ada kecenderungan positif toleransi di sekolah seperti penerimaan terhadap yang berbeda keyakinan, empati terhadap yang beda keyakinan, dan dukungan terhadap kesetaraan gender. Akan tetapi, lebih mendalam kecenderungan negatif (intoleran) terhadap penistaan agama, barat sebagai ancaman, hingga pemaksaan penggunaan hijab.
Tiga dosa itu menjadi dosa kita bersama agar kita bisa berbenah untuk mengatasi agar kekerasan itu tidak terulang lagi. Maka, lebih dari itu penting peran serta semua pihak dalam merawat generasi bangsa. Kalau di sekolah, peran guru menjadi penting dalam menghidupkan atmosfer yang anti kekerasan dan toleransi. Sedangkan jika di rumah, maka penting pula peran orang tua, baik ibu atau pun bapak.
Beberapa hal perlu diketahui bahwa banyak perempuan-perempuan hebat yang turut mengatasi persoalan di atas. Banyak aktor perempuan yang dengan tulus memperjuangkan keadilan, toleransi, dan anti kekerasan di sekolah atau lingkungan masyarakat.
Sekurangnya ada lima perempuan inspiratif yang pernah ditulis oleh Zahra Amin dalam Mubadalah Id dari jaringan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI). Perempuan-perempuan itu adalah Suraiya Kamaruzzaman, Siti Mahmudah, Ida Nurhalida, Alimatul Qibtiyah, dan Fatmawati Hilal. Perempuan-perempuan itu aktif menyuarakan keadilan untuk kemanusiaan yang lebih besar.
Suraiya Kamaruzzaman, perempuan Aceh yang terlibat aktif dalam penyelesaian konflik di Aceh bersama kelompok perempuan. Ia pernah menjadi inisiator terselenggaranya Kongres Perempuan Aceh yang pertama, tahun 2000. Kongres itu dihadiri 500 perempuan dari berbagai daerah yang konsen pada isu perempuan dan perdamaian.
Kak Aya sapaan akrabnya berpendapat bahwa upaya penyelesaian konflik Aceh yaitu melalui dialog. Dialog damai itu dilakukan oleh para perempuan. Suraiya bersama empat perempuan lainnya bertemu Gus Dur yang waktu itu jadi presiden untuk mengusulkan penyelesaian konflik di Aceh. Selain advokasi langsung, Kak Aya juga aktif mengkampanyekan pemenuhan hak perempuan di Aceh.
Selain jalur advokasi, ada perempuan yang berjuang pada jalur penelitian, Ia adalah Siti Mahmudah. Mahmudah terpilih sebagai peserta program The Partnership in Islamic Education Scholarship (PIES). Disertasinya yang berjudul Historisitas Syari’ah Islam: Kritik Relasi Kuasa Khalil Abdul Karim juga terpilih sebagai disertasi terbaik di UIN Sunan Kalijaga.
Riset Mahmudah meneguhkan watak Islam Indonesia yang damai dan terus berdialektika secara produktif dengan budaya lokal.
Berbada dengan keduanya, Ida Nurhalida. Perempuan asal Tasikmalaya ini aktif berorganisasi sejak kecil. Salah satunya pernah menjadi ketua Fatayat NU Tasikmalaya. Penda’i perempuan ini aktif berceramah dengan mengusung keadilan gender dan mubadalah.
Dengan bahasa sederhana dan mudah dipahami, Ida sapaan akrabnya mampu mengedukasi masyrakat sekitar yang dampaknya banyak anak-anak perempuan yang melanjutkan studi perguruan tinggi. Ia bersama suaminya juga mendirikan perguruan tinggi (Sekolah Tinggi Teknologi) yang terbuka untuk perempuan.
Selain itu, dari Muhammadiyah ada tokoh seperti Alimatul Qibtiyah. Ia aktif di Pusat Studi Wanita dan di Pimpinan Pusat Aisyiyah. Alim juga aktif di majlis tabligh dan majelis tarjih dan tajdid PP Muhammadiyah. Ia fokus pada isu perempuan dan anak
Alim terlibat dalam tim tuntunan keluarga Sakinah, fikih perlindungan anak, fikih difabel, dan lainnya. Ia sering diundang untuk pembahasan Tafsir at-Tanwir. Ia juga disebut sebagai tokoh di balik putusan-putusan progresif Muhammadiyah.
Terakhir, ada Fatmawati Hilal, darinya kita perlu banyak belajar mendampingi korban kekerasan. Fatmawati sangat konsen dalam pendampingan kekerasan. Setelah menjadi bagian dari KUPI, fatmawati semakin aktif mendampingi siapa saja yang membutuhkan pertolongannya. Hingga, Ia juga kerap menjadi pembicara seminar di berbagai kampus sekitar Makassar, Sulawesi Selatan.
Selain individu, kelompok atau organisasi perempuan juga berperan aktif dalam mewujudkan toleransi, perdamaian, dan anti kekerasan baik yang terjadi di sekolah atau keluarga. Beberapa di antara organisasi itu seperti Muslimat, Fatayat, Aisyiyah, Persatuan Wanita Katolik Indonesia (PWKI), dan Wanita Hindu Dharma Indonesia (WHDI). Merekalah kelompok perempuang yang menopang keadilan dan kebahagian bagi seganap anak, perempuan, dan masyarakat luas.
Peran perempuan dalam pendampingan toleransi, tolak kekerasan, dan perundungan itu lebih efektif dari laki-laki, sebagaimana yang ditulis Umma Farida dalam jurnal yang berjudul Peran Organisasi Massa Perempuan dalam Pembangunan Perdamaian, Palastren, Vol. 11, No. 1 Juli 2019. Farida menyebutkan kecenderungan itu berdasarkan survey yang dilakukan. Di antaranya ialah perempuan lebih menyukai kebebasan dalam menjalankan agama dari perempuan, perempuan lebih tidak bersedia bersikap radikal dari laki-laki, dan perempuan yang intoleran lebih sedikit dari laki-laki.
Oleh karena itu, pendampingan masyarakat akan toleransi serta tolak kekerasan dan perundungan itu kerap dilakukan. Faktanya, banyak peranan itu lebih efektif dari pada yang dilakukan laki-laki. Berterimakasihlah kita kepada para perempuan yang senantiasa mencintai sesama, keluarganya, perempuan lain, anaknya, dan anak semua bangsa.
Oleh: Moh Yajid Fauzi