Perdamaian di negeri ini nampaknya masih belum diterima oleh semua kalangan. Kelompok-kelompok yang dipandang sebagai minoritas sering masih diabaikan. Kelompok minoritas masih termarjinalkan, tak teranggap dan jauh dari kedamaian, baik damai secara spiritual, moril dan sosial. Lintas iman merupakan wadah gerakan sosial dalam menimba ratusan hingga puluhan kelompok yang dianggap minoritas dan tak teranggap. Kerelawanan dalam diri yang masih enggan untuk terjun dalam ranah aktivis lintas iman, masih sepi dan jauh dari jangkauan. Menyongsong peradaban baru untuk Indonesia yang lebih maju dengan jargon 75 Indonesia maju, nampaknya masih belum bisa terealisasikan dengan komprehensif hingga ke grass root.
Perdamaian untuk semua kalangan ialah sebuah kewajiban yang perlu terwujudkan. Arah dimana pihak atas belum bisa menjangkau yang di bawah. Nomenklatur kekerasan, ketersampingkan masih ada dan ironisnya di negeri yang sudah merdeka ini. Sebuah pengalaman pribadi dari penulis, ketika melakukan sebuah perjalanan dan kegiatan di Kuningan, Jawa Barat. Kegiatan yang dijalankan ialah menyasar sebuah kelompok-kelompok minoritas yang ada di Kuningan, tak lain ialah Ahmadiyah. Ahmadiyah memang menjadi sebuah perbincangan antarpaham keagamaan maupun agama dengan pembahasan penyesatan dan kelompok sesat.
Ahmadiyah sudah sejak lama ada dan hadir di Kuningan, yang menjadi salah satu kota pertama yang di duduki Ahmadiyah. Pernah terjadi sebuah pembakaran masjid yang baru saja di bangun, pemarjinalan kelompok Ahmadiyah di hadapan kelompok lain. Ironisnya ketika melakukan jamaah haji, para kelompok Ahmadiyah dilarang untuk tidak melaksanakan haji. Nah, ini merupakan contoh dimana negara belum memberikan masyarakat kebebasan untuk berekspresi dalam beragama. Belum lagi sebuah kelompok minoritas yang ada di Sasak yakni Islam Wetu Telu. Nah, Islam Wetu Telu ini akan di bahas dan di giring masuk dalam sebuah pembahasan penyesatan atau aliran baru?.
Ini merupakan sebuah permasalahan yang ada di negeri ini. Indonesia harusnya mengakui sebuah realitas yang pluralistik dengan mengakui keberadaan mereka. Sudah saatnya perdamaian untuk semua kalangan tanpa membedakan dari mana etnis, agama, dan budaya, sehingga akan menciptakan peminoritasan dalam hidup beragama.
Najib Burhani mengatakan, minoritas merupakan isu global yang menjadi tantangan besar dalam hidup berbangsa dan bernegara. Istilah minoritas begitu dekat dengan diskriminasi, intoleransi dan marjinalisasi suatu kelompok yang dapat menyebabkan adanya perpecahan di masyarakat. Zuhairi Misrawi melaporkan, jika kita semakin cinta kepada agama, maka semakin tumbuh rasa toleransi antar semua umat manusia.
Kehidupan yang sudah harmonis yang sudah terbangun dalam kehidupan yang majemuk—majemuk agamanya, suku, etnis dan budayanya, jangan hanya terpecah dengan munculnya provokasi. Hal tersebut memicu konflik serta kerusuhan jasmani dan rohani antarumat beragama maupun sesama agama untuk mengadu siapa yang paling benar diantara kita dengan memperdebatkan akidah dan kepercayaan masing-masing.
Di era postmodern ini sudah tidak perlu lagi memperdebatkan hal-hal yang dapat memicu konflik antarumat agama maupun sesama umat Islam. Karena dikhawatirkan mereka memiliki arti perjuangan, namun ada makna lain yakni kepentingan kelompok. Kaum minoritas sering dianggap kafir, sesat dan tidak teranggapnya mereka di bumi Nusantara ini sebagai penduduk Indonesia. Karena mereka dianggap bukan penganut agama resmi yang enam di Indonesia. Sehingga bentuk-bentuk diskriminasi yang ulet, pahit banyak dilontarkan ke penganut kepercayaan dan penghayat leluhur.
Bukan hanya mereka penganut aliran kepercayaan lokal atau agama lokal, Kristen pun pernah menjadi sasaran masyarakat untuk di hancurkan di muka bumi Nusantara ini. Kita tahu bahwa mereka minoritas, bukan berarti kita hidup di tanah Nusantara ini saling bentrok, konflik dan memperjuangkan kebenaran masing-masing.
Tanamkanlah hidup yang agamis dan harmonis, tanamkan ruh-ruh agama dalam kehidupan, pastinya kita akan menemui titik mana yang harus dilakukan dan titik mana yang harus dihindarkan. Mengakui keberadaan mereka merupakan sebuah keharusan yang sangat mendalam, kita semua tidak bisa menafikan bahwa kulturistik dan pluralistik merupakan arus utama dalam menjalani kehidupan di Indonesia. Sehingga banyak kegiatan keagamaan yang berbalut dengan kebudayaan. Lantas bukan berarti bahwa agama itu sesat dan kafir, bid’ah dan lainnya, melainkan bagaimana masyarakat mampu bisa mengambil dan menyerap inti ajaran Islam yang harmonis dan bisa mengekspresikannya dengan indah.
Penulis : Ahmad Zainuri (Duta Damai jawa Timur)