Periode pandemi Covid19 sudah memasuki masa yang digadang-gadang sebagai normal baru, alias New Normal.Pada angka kematian yang cukup tinggi itu akankah mimpi Indonesia menjalankan kehidupan normal baru bisa benar tercapai? Sungguh ini menjadi tantangan yang serius di negeri yang majemuk ini.
Vandana Siva dalam diskusinya beberapa hari menyatakan bahwa Covid19 adalah momentum untuk memikirkan konsep rasionalitas humanitas; itu berarti memasukkan narasi tentang planet, serta spesies lain sebagai masyarakat besar. Maka spesies manusia yang cerdas itu haruslah dengan penuh kesadaran memberikan kesempatan luas kepada alam dan seisinya untuk memulihkan diri.
Rasionalitas humanitas yang dikatakan Siva ini lah yang menarik untuk dikaji, seperti apa rasionalitas humanitas yang akan kita bangun bersama? Siapkah negara berkeyakinan ini menerapkan sebuah rasionalitas humanitas itu? Atau hanya alih-alih menjadi manusia yang melek akan keberadaan Covid19 sebagai kesatuan semesta.
Kita kembalikan kembali ke Indonesia, negara agama ini. Rasionalitas humanitas ini mendorong kita semua kepada nalar kemanusiaan yang mengubah pada keyakinan mistis akan keberadaan Covid19. Di mana sebelumnya banyak orang dari kalangan terdidik atau pun agamawan sekedar memahaminya dalam keberadaan yang tak nyata. Apa yang terjadi dengan keyakinan tak nyata tadi? Covid19 belumlah dipercaya sebagai wujud yang dapat mengganggu aktivitas keagamaan kita- alhasil banyak agamawan yang dengan seenaknya tetap menjalankan ritus keagamaannya masing-masing tanpa sebuah protokol.
Angin segar ketika organisasi massa keagamaan atau bahkan kementerian keagaman mengajak masyarakatnya untuk mawas diri terhadap korona. Sehingga pada beberapa tempat ibadah diliburkan dari aktivitas biasanya. Meskipun beberapa ada yang ndableg.
Sisi lain dari kerja melawan Covid19 ini adalah solidaritas yang banyak dilakukan masyarakat. Solidaritas yang sangat beraneka warna dengan semangat gotong royong, di antaranya solidaritas peduli tempat ibadah, solidaritas kesehatan, solitaritas ekonomi, dan solidaritas pangan. Solidaritas-solidaritas itu terasa menemukan kembali nyawa dari rakyat Indonesia itu.
Solidaritas-solidaritas itu juga wujud yang juga diamini oleh Zizek dalam bukunya Panik Covid19 Mengguncang Dunia. “Melalui upaya kita menyelamatkan umat manusia dari penghancuran diri, kita menciptakan umat manusia baru. Hanya melalui ancaman fana inilah kita dapat membayangkan umat manusia yang bersatu,” kata Zizek. Umat manusia yang bersatu inilah yang menjadi solusi di tengah pandemi.
Kesatuan dalam solidaritas-solidaritas inilah yang akan mengajak kita pada kehidupan baru, normal baru. Meskipun Zizek juga masih ragu dengan normal baru itu. New normal yang diragukannya bukan tanpa dasar, karena Zizek meyakini korona sebagai kontingensi adalah disebabkan adanya perilaku rakus dari kapitalisme, atau bahkan oligarki sekalipun.
Zizek juga bersabda, “Tak ada jalan kembali ke keadaan normal, new normal harus dibangun di atas reruntuhan kehidupan lama kita, atau kita akan mendapati diri kita dalam barbarisme baru yang tanda-tandanya sudah jelas kelihatan”.
Kehidupan lama ini lah yang bisa diartikan penulis adalah bentuk solidaritas tadi. Solidaritas rakyat untuk rakyat. Kita tidak bisa serta merta menggantungkan diri pada kapitalisme yang rakus dan negara yang abai terhadap kondisi ini.
Dari sinilah kita bisa bersama membangun kesadaran hidup berbangsa di tengah normal baru ini. Sebagaimana yang penulis kutip dari komentar Gung Ayu dari laman facebooknya, Ia menuliskan bahwa di Kanada pada kondisi normal baru ini diterapkan civic duty untuk menjadi sehat, menjaga kesehatan masyarakat. Slogan Lets do our part jadi populer bahkan di kalangan anak-anak. Ketika kota-kota mulai dibuka kembali, dokter-dokter terus mengingatkan, “Tetap waspada, jangan lupakan tugas kewarganegaraan Anda untuk menjaga kesehatan publik.”
Berbagai pandangan dan komentar di atas akan relevan jika kita kembalikan semangat berbangsa kita, melalui Pancasila. Kesiapan kita menghadapi normal baru adalah kesiapan kita menginternalisasikan nilai-nilai Pancasila, menjadikan Pancasila sebagai ayat-ayat yang membumi dalam kehidupan berbangsa dan menjadikan kepedulian kesehatan, ekonomi, dan lainnya adalah sebuah tugas kewarganegaraan.
Semangat berkeyakinan di masa normal baru adalah semangat memastikan keberagaman, toleransi, dan perdamaian agama-agama tetap terjalin, dengan selalu mengingatkan akan tugas agama- menjaga keselamatan diri dan orang lain. Tidak perlu sembrono dan jumawa untuk membuat keramaian di tempat ibadah masing-masing. Sebagai umat beragama, perlu lah sesekali meyakini bahwa Tuhannya ada di hati, di rumahnya, di gawainya, dan di tempat yang sunyi.
Kemanusiaan dan keadaban juga perlu kembali dibangun. Keyakinan bahwa keadaran sains akan menyelamatkan kita semua dari korona. Sehingga persatuan dan kesatuan bisa tetap langgeng. Berikutnya adalah tolong menolong dan gotong royong dalam segala sektor, ekologi, ekonomi, pangan dan lainnya. Kesadaran rakyat bantu rakyat, kesadaran akan kemandirian pangan, kesadaran akan merawat kelestarian bumi, dan lainnya.
Sehingga, mimpi besar akan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia ini nyata adanya di masa normal baru. Kita harus kembali memikirkan itu semua, keruntuhan puing-puing kemanusian atas teror atau pandemi ini harus kita bangun dengan total- dengan solidaritas penuh. Solidaritas yang berpihak kepada kepentingan rakyat.
Oleh: Al Muiz Liddinillah (Duta Damai Jawa Timur)
Sumber Gambar: mediaindonesia dot com