Penulis: Ajeng Adinda Putri
Sudah kita hadapi bersama, era disrupsi dalam sebuah media digital yang mengoptimalkan masing-masing individu menyuarakan “Public Opinion” yang dimiliki dalam sebuah “Public Sphere” dimana sering disebut-sebut oleh Habermas.
Bulan Ramadan tahun 2023 ini menjadi momentum khusus bagi masing-masing individu dalam melakukan refleksi diri. Ya, salah satunya bagaimana kemudian penggunaan media sosial mampu menjadi lebih bijak dan membina relasi “Tri Hita Karana” (Tuhan, manusia, dan alam) secara optimal.
Dalam tulisan ini, marilah kita bahas “Beyond of The Virtual Public Sphere” yang mampu menjadi perisai diri agar mampu menjadi penyelam yang baik dalam luasnya samudera informasi.
Stop Over Sharing di Media Sosial!
Bagaikan pedang bermata dua, selain kelebihan “Public Sphere Virtual” didalamnya juga terdapat kekurangan yang didapat dari kelebihan yang dimilikinya. Contohnya, memberikan informasi yang bersifat pribadi.
Masyarakat sempat digegerkan oleh aktivitas “Over Sharing” dalam sebuah tindak kekerasan yang akhirnya menerobos jeruji tahanan hingga pada “Over Flexing” yang berujung pada copotnya jabatan ASN oleh Dirjen Pajak Kementerian Keuangan RI beberapa tempo lalu. Ya, begitulah kedahsyatan media sosial.
Dalam kejadian di atas, apabila direfleksikan secara pribadi tentunya ruang media sosial lebih baik untuk menjadi ruang pelopor dan pelapor akan fenomena publik dan kepentingan publik. Misalnya, melaporkan jalan-jalan berlubang yang berpotensi membahayakan pengendara yang beberapa waktu lalu efektif di Sidoarjo untuk diatasi dan juga fenomena-fenomena lainnya.
Mengunggah kisah untuk kepentingan pribadi? Rasanya kurang tepat. Perlu diingat kembali, bahwa jejak digital tak dapat dihapus. Apabila terdapat informasi yang terlalu privasi terbagikan maka hal ini menjadi bom diri di kemudian hari.
True Friend: Close Friend
Kita tak asing lagi dengan diksi “Close Friend” bukan? Tentunya iya. Hal ini sering diperbincangkan dalam media sosial Instagram dan Twitter contohnya. Kerapkali kawula muda curhat banyak hal di platform media sosial tersebut.
Dalam salah satu fitur Instagram, memang terdapat close friend yang membuat pengguna lebih nyaman dalam membagikan kisahnya secara intim. Namun, lagi-lagi menyoal kedahsyatan “Virtual Public Sphere” yg disebut Habermas ini. Apakah kemudian yang melihat kisah kita adalah benar-benar teman terdekat kita? Apakah terjangkau oleh kita?
Audiens dari akun media sosial kita tentulah sangat luas dan banyak, tidak seperti orang yang benar-benar dekat dengan kita. Misalnya, orang tua, teman terbaik, guru, dan mentor. Apakah netizen di media sosial mampu setara fungsionalnya dengan orang-orang terdekat kita? Mari kita renungkan kembali.
Kita tidak akan tahu hati manusia yang sangat dinamis ini. Opini yang kita bagikan pula belum tentu tertafsir secara obyektif. Pastilah sifatnya subyektif, terbatas untuk dimengerti. Seperti limitasi kata dan waktu untuk sekadar snapgram maupun tweet. Kemudian melahirkan fenomena “Hoax” dan “Ujaran Kebencian”.
Update Informasi dari Terpercaya
Melanjutkan fenomena “Hoax” dan “Ujaran Kebencian”, sungguh mengerikan dampaknya. Bagaimana tidak? Masyarakat mampu tersegmentasi, terkotak-kotak, dan terpecah-belah akibat dari dua hal tersebut.
Kita seolah tenggelam dan hanyut dalam samudera informasi. Fakta dan bukan bercampur menjadi satu. Fitnah dan justifikasi ada di mana-mana. Bahkan mencari informasi obyektif memerlukan kejelian dan harus bersedia membaca dari berbagai sumber. Apabila literasi kita rendah dan malas membaca, hmmm, sudah bisa kita tebak bukan kita adalah korban dari gosip yang ada? Terombang-ambing oleh opini sana-sini tanpa punya “self thought” akan pemahaman suatu fenomena.
Hal sederhana yang bisa dilakukan adalah, memulai mem-follow akun-akun centang biru terpercaya dari lembaga-lembaga resmi, akun media massa, dan tokoh-tokoh yang ahli di bidangnya. Hal itu membuat arus informasi menjadi lebih jelas ke arah obyektif ketika kita ingin mencari sebuah informasi.
Mengoptimalkan “Real Space” dalam Berdiskusi Apapun
Dalam bahasan kali ini, “Real Space” yang dimaksudkan adalah “Real Friend“. Daripada kita nantinya merugi pasca bercerita di media sosial karena dilakukan tanpa berpikir panjang dan emosional sesaat, lebih baik kita mengoptimalkan “Real Space” yang dimiliki.
Sebut saja “Real Space” ini adalah relasi diri dengan “Tri Hita Karana”. Momentum Ramadan kali ini tentu menjadi waktu emas bagi kita untuk kembali mengoptimalkan ruang kehidupan nyata. Diantaranya, relasi kepada Tuhan. Kita bisa menahan hawa nafsu akan makan dan minum di siang hari, namun juga bisa menahan hawa nafsu dari aktivitas berlebihan ibu jari dengan ponsel kita dengan beribadah sunnah kepada Tuhan serta menjadi lebih dekat dan leluasa curhat kepada-Nya.
Berikutnya, relasi kepada sesama manusia. Ya, tentunya kita punya orbital sosial berdasarkan area-area lintasannya seperti angkasa raya. “Ring 1” menjadi paling utama dalam kehidupan kita, dalam melalukan diskusi maupun sistem pendukung. Lebih baik merawat relasi-relasi tersebut yang memang berdampak nyata untuk kehidupan mendatang kita bukan? Secangkir kopi menjadi bukan sekadar diminum saja, akan tetapi mampu membincangkan segala hal dengan segala perspektif.
Terakhir, relasi kepada alam. Sederhanya alam pun bisa menyeimbangkan kita, juga sebaliknya. Mengoptimalkan healing di waktu senggang, hal sederhana namun sejuta manfaatnya. Ketika sekadar pergi ke alam-alam hijau, kita mampu bagaimana menikmati dan memaknai ciptaan Tuhan. Bagaimana Dia mencukupi kebutuhan manusia tanpa batas. Anugerah-anugerah itu perlu kita jaga agar tetap lestari, bersih, dan asri. Sederhana namun mendalam bukan?
Daripada waktu seharian digunakan untuk scrolling media sosial selama Bulan Ramadhan, mari kita amalkan hal-hal yang kita diskusikan di atas untuk hal-hal yang bermanfaat bagi kita!
Bagussss banget