Djohan Effendi pernah mencetuskan teologi kerukunan, konsep dasar teologis yang membentuk kesadaran hidup secara rukun. Kerukunan ini yang menjadi landasan semua orang agar hidup saling menghargai dalam keberagaman. Di mana, kita ketahui bersama bahwa Indonesia merupakan negara yang penduduknya beragama dan beragam.
Semua agama memiliki landasan teologis kerukunan. Berangkat dari keimanan dan ajaran damai dari masing-masing agama inilah yang akan menuai praktik baik kerukanan di Indonesia. Indonesia, negeri yang majemuk dan plural ini juga penting menghayati kerukunan dari teologinya masing-masing.
Mengapa berangkat dari teologi? Dalam kehidupan sosial kemasyarakatan ini meski ada hukum yang memayungi gerak sosial, tapi hukum atau peraturan tidak sepenuhnya efektif membuat masyarakat yang teratur dan hidup harmoni dalam kedamaian. Alternatifnya adalah penguatan teologi kerukunan yang bersumber dari agamanya masing-masing.
Greg Barton dalam Gagasan Islam Liberal di Indonesia, 1999, mengatakan pentingnya membina kerukunan beragama. Pertama, saling menahan diri terhadap ajaran, keyakinan, dan kebiasaan golongan agama lain yang berbeda. Kedua, saling menghormati hak pemeluk agama lain untuk menghayati dan mengamalkan agamanya. Ketiga, saling mempercayai atas keyakinan yang baik masing-masing pemeluk agama.
Terdapat banyak nilai dan pesan agama yang mengajarkan manusia untuk hidup rukun dan damai, baik itu dari agama yang diakui pemerintah atau agama lokal yang ada di Indonesia. Islam misalnya, dari harfiahnya saja sudah berarti damai. Selain itu, Islam juga menjadi agama kemanusiaan, yang mengajarkan umatnya untuk menjunjung tinggi kemanusiaan.
Dan sayangilah manusia sebagaimana Allah sayang kepadamu. Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi, sesunguhnya Allah tidak suka kepada orang yang berbuat kerusakan. Sebuah ayat al-Qur’an dalam Surat al-Qashash, 77.
Selain pesan al-Qur’an, Nabi Muhammad juga mengajarkan sebagaimana yang diriwayatkan Imam Bukhari, dari Anas r.a. bahwa Nabi pernah bersabda; tidak sempurna keimanan seseorang dari kalian sebelum Ia mencintai sudaranya sebagaimana Ia mencintai diri sendiri.
Kedua pesan al-Qur’an dan Hadits di atas menjadi penguatan teologi kerukunan dari Islam. Islam dalam hal ini tidak hanya agama yang diawang-awang, atau hanya hablumminallah saja, tapi Islam juga hablumminannas, menjaga harmoni antar umat manusia. Bahkan, dalam Islam, umatnya ditunjuk sebagai khalifah yang mampu merawat alam/ lingkungan, hablumminal alam.
Kristen pun demikian, dalam Markus 12:30-31 juga dikatakan; Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu, segenap jiwamu, dengan segenap akal budimu, dan dengan segenap kekuatanmu. Dan hukum yang kedua adalah kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Tidak ada hukum lain yang lebih utama daripada hukum ini.
Demikian juga dalam Lukas 10: 27. Kristen berpesan agar umatnya mengasihi Tuhan dan manusia seperti dia mengasihi dirinya sendiri. Teologi kasih sayang kepada Tuhan dan manusia juga ada dalam Kristen. Umatnya dianjurkan untuk menebar cinta kasih kepada sesama.
Selain dari itu, Katolik dalam Markus dan Lukas juga menyeru pesan yang sama seperti halnya Kristen. Bahkan pada deklarasi Nostra Aetate, 28 Oktober 1965, menegaskan bahwa gereja dengan jelas mendorong setiap orang kristiani supaya dengan kebijaksanaan dan penuh kasih, melalui dialog dan kerja sama dengan para penganut agama-agama lain, sambil memberi kesaksian tentang iman serta peri hidup kristiani, mengakui, memelihara, dan mengembangkan harta kekayaan rohani dan moral serta nilai-nilai sosial budaya, yang terdapat pada mereka.
Dalam Budha juga banyak ajaran saling memanusiakan manusia. Samyutta Nikaya v. 353 menyerukan bahwa suatu keadaan yang tidak mengenakkan bagiku, bagaimana aku dapat melakukan hal yang sama terhadap orang lain. Sedangkan dalam Udana Varga 5: 18 mengatakan bahwa jangan sakiti orang lain sebagaimana itu akan menyakiti dirimu sendiri.
Hindu pun demikian, dalam Atharvaveda III.30.4 mengamanatkan: Wahai umat manusia bersatulah, dan rukunlah kamu seperti menyatunya para dewata. Aku telah menganugerahkan hal yang sama kepadamu, oleh karena itu ciptakan persatuan di antara kamu.
Konfusius pun mengatakan janganlah berlakukan terhadap orang lain apa yang kau sendiri tidak suka, sebagai pegangan umat Kong Hu Cu. Sedangkan Penghayat Sapta Dharma pun mengajarkan agar umat manusia saling menolong tanpa mengharapkan imbalan – menolong atas dasar cinta kasih. Selain itu, masih banyak pesan-pesan teologis dari agama-agama lokal yang ada di Indonesia.
Dari berbagai nilai dan ajaran agama yang mengajarkan cinta kasih itu lah manusia diajak memikirkan kembali peran umat beragama. Umat beragama dikaruniai nilai luhur yang mampu mengantarkan kebaikan yang lebih luas. Serta, umat beragama lah yang mampu mendorong kehidupan berbangsa menjadi lebih baik.
Pesan ketuhanan yang termaktub dalam kitab atau sabda itu perlu dijabarkan secara praktis, khususnya bagi para pemeluknya. Sehingga kerukunan antar umat beragama bisa diterapkan dengan sangat hangat. Di sini, tokoh agama memegang peran penting untuk mendefinisikan ulang praktik beragama yang rukun.
Mau diakui atau tidak, tingkat keagamaan di Indonesia terbilang tinggi. Masing-masing umat beragama dalam menjalankan ritus keagamaannya sangat dominan. Akan tetapi dominasi kebertuhanan yang vertikal itu jangan sampai mengalahkan atau mengesampingkan harmoni kemanusiaan.
Penulis pernah berkunjung ke sebuah desa Wirotaman, Ampelgading, Kabupaten Malang. Di sana terdapat empat agama yang hidup rukun dalam satu desa. Mereka dalam praktiknya sering berdialog satu sama lain, saling memberikan rasa aman, dan tentu yang lebih dari itu adalah saling terlibat dalam urusan keagamaannya.
Saling terlibat bagaimana? Jadi misal saja ada perayaan hari raya natal, maka umat Islam atau Hindu di sana juga terlibat aktif dalam menjaga keamanan, bahkan turut serta menyiapkan persiapan makan-makan. Begitu sebaliknya ketika hari raya Idulfitri atau hari raya nyepi dan lainnya.
Kerukunan itu tidak bisa dimaknai secara pasif. Kerukunan itu harusnya bersifat aktif, agar daya geloranya tinggi. Hidup rukun dan saling membantu satu sama lain. Sehingga tidak salah, jika desa Wirotaman dinobatkan sebagai dea perdamaian oleh Pemkab Malang beberapa tahun lalu.
Itu salah satu teladan dari satu desa di ujung Malang, perbatasan Lumajang. Tentu masih banyak desa, baik yang ada di kabupaten atau kota yang bisa dipelajari atau diteladani praktik baiknya dalam mengelola keberagaman, kerukunan, hingga menuai harmoni antar umat manusia.
Oleh: Moh. Yajid Fauzi