Pertanyaan menggelitik dari salah satu putri bapak Proklamator Indonesia Ibu Megawati, ‘’Apa kontribusi milenial hari ini?’’ tentu bisa menjadi perbincangan yang menarik bagi generasi X, Y, bahkan Z. Mengapa demikian? Ketika kita menarik mundur dalam bingkai sejarah peradaban Nusantara, seperti kita tahu pada abad 13 ada seorang patih muda termasyur di kerajaan Majapahit, yaitu Gadjah Mada. Patih muda yang dalam rekam jejak kerajaan Majapahit sebagai seorang yang ahli dalam strategi.
Berlanjut pada penghujung abad 18 ketika masa penjajahan Belanda lahirlah Dr. Soetomo yang pada usia 20 tahun mampu mendirikan organisasi Boedi Utomo. Tak kalah penting juga ada sosok kiai yang pada usia 28 tahun mendirikan Nahdlatul Wathan yaitu Kiai Wahab Chasbullah.
Di satu sisi juga peristiwa bersejarah pada 28 Oktober yang kita kenal sebagai hari Sumpah Pemuda juga tak lepas dari peran para pemuda. Bahkan lagu Indonesia Raya pertama kali dinyanyikan pada deklarasi Sumpah Pemuda. Ada pula pertentangan pendapat antara golongan tua dan golongan muda di masa proses kemerdekaan. Sehinggga, pada 16 Agustus 1945 ada tiga pemuda yang menculik Bung Karno ke Rengasdengklok dan mendesak agar Indonesia segera membacakan Proklamasinya sebagai tanda Bangsa yang merdeka.
Lantas bagaimana peran pemuda pada tanggal 10 November 1945yang kemudian diperingati sebagai hari pahlawan?
Peristiwa 10 November jika ditelisik lebih dalam sebenarnya tidak lepas dari Fatwa dan Resolusi Jihad yang disampaikan oleh K.H Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober. Tiga hari pasca tercetusnya fatwa resolusi jihad tepatnya pada 25 Oktober, Inggris datang ke Surabaya atas permintaan Soekarno untuk mengurusi tahanan Jepang. Tentara Inggris membuat pos-pos untuk keamanan di Surabaya. Karena ada berita hoaks yang mengatakan bahwasannya kalau Belanda akan kembali menguasai Indonesia dengan membonceng tentara Inggris, sehingga pada tanggal 26 sampai 29 Oktober terjadi pertempuran antara rakyat Surabaya dengan pasukan Inggris. Semua pelaku dan saksi mata mengatakan peristiwa tersebut bukanlah perang, tetapi tawuran, karena tidak ada pemimpin perang dalam peristiwa tersebut. Hampir 2000 tentara Inggris mati, puncaknya pada tanggal 30 Oktober 1945 Brigadir Jenderal Mallaby tewas.
Tewasnya Jenderal Besar ini membuat Inggris menjadi marah. Kalau sampai tanggal sembilan November jam enam sore pembunuh Mallaby tidak diserahkan, dan tanggal itu orang-orang Surabaya masih yang memegang bedil, meriam dst. tidak menyerahkan senjata kepada tentara Inggris, maka tanggal 10 November jam enam pagi Surabaya akan dibombardir lewat darat, laut, dan udara,” begitu amuk jenderal tertinggi Inggris.
Datanglah tujuh kapal perang langsung ke Pelabuhan Tanjung Perak. Meriam Inggris sudah diarahkan ke Surabaya. Diturunkan pula meriam Howidser yang khusus untuk menghancurkan bangunan. Satu skuadron pesawat tempur dan pesawat pengebom juga siap dipakai. Surabaya kala itu memang mau dibakar habis karena Inggris marah kepada pembunuh Mallaby.
Pada sembilan November jam setengah empat sore, Kiai Hasyim Asy’ari yang baru pulang usai Konferensi Masyumi di Jogja sebagai ketua, mendengar kabar arek-arek Surabaya diancam Inggris. “Fardhu a’in bagi semua umat Islam yang berada dalam jarak 94 kilo dari Kota Surabaya untuk membela Kota Surabaya”. 94 kilo itu- jarak dibolehkannya solat qoshor. Dan peristiwa inilah yang melatar belakangi terjadinya pertempuran 10 November di Surabaya.
Begitulah kiranya kita mereview jasa para pahlawan yang juga dipelopori oleh anak muda, bahwasannya berdirinya Bangsa Indonesia ini tidak diperoleh dengan mudah, akan tetapi diperoleh dengan penuh semangat perjuangan membela tanah air. Guna menjawab pertanyaan Ibu Megawati, lantas apa yang harus dilakukan pemuda milenial saat ini yang sekurang-kurangnya bisa menjadi pahlawan bagi dirinya sendiri?
Mulanya, tentu pemuda yang saat ini hidup ditengah teknologi dan informasi harus bersikap terbuka, tidak hanya berada di zona nyaman sesama golongannya. Penting kiranya pemuda saat ini menjadi pelopor perdamaian, hidup rukun berdampingan dengan agama lain, ras, dan juga suku lain. Dengan semangat berbhinneka tentu kiranya bisa menjadi vaksin untuk membasmi virus-virus intoleransi dan radikalisme.
Kedua, melihat proses terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tidak hanya diperjuangkan satu golongan, satu suku, satu agama saja, tentunya tidak bisa menjadi dalil saat ini ketika ada kelompok yang ingin mendirikan negara islam atau khilafah. Artinya, Pancasila sebagai sumber ideologi yang juga diperoleh dari hasil Ijtihadi para Ulama sudah final sebagai payung hukum hidup berbhinneka dan tidak bisa diganggu gugat.
Ketiga, tidak bisa dipungkiri saat ini pemuda hidup didua dunia, dunia nyata dan dunia maya. Lantas bagaimana kita hidup di dunia maya? Dunia maya seperti kita tahu bak pasar yang menjual segala macam dagangan. Tak jarang isu-isu agama dan politik dilelang sedemikian rupa, sehingga malah justru menimbulkan perpecahan. Belum lagi tsunami hoaks di dunia maya yang sewaktu-waktu muncul, perlu kiranya kita waspadai dan antisipasi. Bagaimana caranya?
Sebagai makhluk yang dianugrahi akal tentunya manusia mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk. Sederhananya, saring sebelum sharing informasi yang kita terima menjadi poin penting agar kiranya ketika ada informasi hoaks, berbaur sara dan menimbulkan perpecahan bisa berhenti di kita. Lebih elok lagi apabila kita mampu mengklarifikasi dan mencari tahu kebenarannya.
Penting untuk dicermati, jihad pemuda di era milenial adalah dengan hidup rukun, menjaga perdamaian, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebangsaan serta keIndonesiaan. Memberikan informasi positif di dunia maya, tidak menyebarkan hoaks dan informasi berbaur sara serta meningkatan literasi digital sebagai bekal hidup bijak di dunia maya. Terakhir, pemuda milenial hari ini adalah ‘’Tidak ada kesuksesaan tanpa adanya ikhtiar yang kuat dan tidak ada gerakan yang kuat tanpa adanya persaudaraan’’. Begitulah kiranya cara jitu menjadi pahlawan milenial.
Penulis: Moh Yajid Fauzi (Duta Damai Jawa Timur)