Berpuasa di bulan Ramadhan bukanlah menjadi alasan untuk umat muslim bermalas- malasan. Akan tetapi, bagaimana bisa meningkatkan ketaqwaan vertikal (hablum minallah) dan horizontal (hablum minannas). Kedua itu haruslah menjadi alat untuk memproduksi kebaikan dan menebar damai di sekitar kita, tanpa memandang suku, ras, budaya dan agama.
Ini adalah kunjungan awal yang dilakukan kawan Gusdurian Malang dalam menebar kedamaian bagi alam semesta, dalam program Safari Damai Ramadhan 1437 (masehi: 2016). Safari damai Ramadhan digelar dengan maksud untuk menjalin tali persaudaraan antar umat beragama, lembaga keagamaan dan kebudayaan dan memperdalam wawasan kebangsaan melalui perbedaan beragama dan tradisi. Tepat pada hari Senin (8 Ramadhan 1437/ 13 Juni 2016) kami telah mencapai kilometer pertama dan bersinggah di rumah ramah keluarga Syiah di kota Malang. Sambutan hangat dari Pak Mokhtar Mukdhi, kebetulan menjabat sebagai Ketua Ahlul Bait Indonesia (ABI) wilayah Jawa Timur.
Magister Filsafat Islam lulusan Iran itu mengawalai perbincangan mengenai tradisi Ramadhan dalam islam. Pak Mokhtar mengatakan bahwa, tradisi puasa Ramadhan dalam syiah sebagaimana tradisi puasa umat islam pada umumnya, sambil menukil surat Al Baqoroh ayat 187. Ayat itu menjadi pedoman bagi ikhwan syiah dalam menjalankan ibadah puasa, yang sedikit membedakan dengan tradisi sunni. Puasa dalam tradisi syiah menahan diri dari makan, minum dan hawa nafsu dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari, yang ditandai dengan ufuk hakiki. Ufuk hakiki ialah ufuk matahari yang telah terbenam total. Kalau sunni berbuka puasa saat ufuk pandang atau setongkat itu. Perbedaan jadwal berbuka puasa sunni dan syiah di Indonesia berkisar 15 sampai 20 menit, lebih awal sunni.
Jagongan semakin menarik atas antusias para pejalan damai Ramadhan dengan membincang tradisi puasa ala syiah. Keistimewaan lain di tradisi puasa ala syiah ialah disunnahkan nya menyantap Ta;ajil (bil hamzah), yang artinya mengakhirkan berbuka setelah sholat maghrib dan isya’. Sedangkan dalam tradisi sunni disunnahkan untuk mengawalkan berbuka puasa, atau ta’jil (bil a’in).
Selanjutnya, dalam nuansa yang sama sambil menunggu bedug maghrib, berlanjut pada pembahasan mengenai ibadah sosial ala syiah. Syiah tidak hanya sebagai aliran paham keislaman yang teologis, akan tetapi syiah juga memiliki sense of sosial. Ibadah sosial ikhwan syiah terorganisir secara masif dalam Ahlul Bait Indonesia (ABI), sedangkan lembaga lain dalam syiah berfungsi sebagai peningkatan sumber daya manusia atau intelektualitas ikhwan syiah yang terorganisir dalam Ikatan Jama’ah Ahlul Bait Indonesia (IJABI). Menurut Prof. Dr. Jalaluddin Rahmat, M.Sc (Ketua Dewan Syuro IJABI Pusat) menegaskan bahwa ABI dan IJABI merupakan dua sayap yang berbeda yang saling bekerja secara esensial.
Peran syiah dalam kehidupan bermasyarakat lainnya ialah pendirian lembaga pendidikan, rumah sakit, Tim SAR dan swadaya lainnya. Ironi nya, peran syiah dalam pemberdayaan masyarakat ini tidak diiringi dengan kedewasaan masyarakat Indonesia, dimana ketika hal baik yang dilakukan ikhwan syiah dalam turut serta mencerdaskan kehidupan berbangsa juga mendapat cemoohan yang fantastis bagi mereka yang anti syiah atau intoleran. Hal itu tidak menjadikan warga syiah minder untuk melakukan pengabdian terhadap Negeri tercinta.
Ikhwan syiah tetap berpegang teguh kepada ketulusan sebuah pengabdian, tanpa mengharap pujian dan imbalan, meskipun ada saja yang berisik. Ali Khomeini pernah memerintahkan, “Sebaik- baik sarana dan perlawanan ialah mengabdi kepada masyarakat”. Target dekat ikhwan syiah ialah bagaimana bisa mengabdi kepada masyarakat, tanpa memakai baju apapun. Syiah bukanlah barang pasar yang gemar diobral, akan tetapi syiah memilik kaidah dan pedoman yang kuat untuk didialogkan. Syiah memiliki ulama’ besar dalam peradaban emas, diantaranya Ibnu Sina, Al Farobi, Syahrowardi, Mulla Sadra dan lainnya.
Spirit pengabdian juga masuk dalam wilayah advokasi masyarakat syiah, seperti di Sampang. Sebenarnya tidak ada kasus transenden antar sunni-syiah, akan tetapi lebih dari rekayasa politik. Pak Mokhtar menegaskan bahwa kasus syiah disampang bukan lah kasus madzhabiyah, akan tetapi sebuah kasus selangkangan. Begitu pula dengan kasus serupa, hanyala rekayasa politik para penguasa teritori.
Konsep kebangsaan syiah sangat jelas nasionalisme, cinta akan tanah air. Meskipun ada beberapa pihak menakutkan hal itu, layaknya wahabi yang subur di Saudi dan syiah di Iran. Syiah adalah syiah, yang memegang teguh asas keIndonesiaan, bukan Iranisasi. Syiah Indonesia wajib menerima Pancasila sebagai ideologi bangsa dan saling menghormati ditengah heterogenitas umat. “Kita orang syiah yg hidup di Indonesia. Bukan sebaliknya”, tegasnya.
Konsep demokrasi lainnya dalam syiah dalam kepemimpinan terbagi menjadi dua, yakni kepemimpinan umat dan admnistratif kenegaraan. Kepemimpinan administratif ialah pemimpin yang mengurusi hal administratif negara, dan menurut syiah pemimpin administratif tidak hanya dari kalangan islam. Oleh karena itu, meskipun Ahok (non muslim) menjadi presiden pun tidak salah dan itu sah menurut teologi syiah. Sedangkan kepemimpinan umat ialah ialah pemimpin umat dalam hal ubudiyah, dan pemimpin umat harus mukmin-muslim. Hal tersebut dilandasi oleh risalah Nabi Muhammad SAW yang tidak pernah melakukan ekspansi teritori, akan tetapi sekedar ekspansi ideologi. Sehingga Muhammad hanya melakukan korespondensi kepada raja- raja Saudi.
Jika kita mengakui Muhhammad sbg uswah, ya kita harus meneladaninya dengan melakukan ekspansi ideologi, karena bagi Muhammad, “Laa Ikroha Fiddin”, tidak ada pemaksaan dalam beragama. Islam hadir dengan cinta dan menebar rahmat bagi seluruh alam. Oleh karena itu, islam adalah agama yang rahmatan lil alamin, bukan rahmatan lil muslimin saja.
Penulis: Al Muiz Liddinillah
Sumber gambar: gramedia