Di era modern, masyarakat mulai sadar terhadap partisipasi ruang publik. Tidak hanya diwakili oleh golongan tertentu, tetapi juga keterwakilan gender. Ruang publik merupakan hal penting dalam menciptakan layanan dan keberlangsungan negara kedepannya. Oleh karena itu, masyarakat harus terlibat dan berpartisipasi, mengingat Indonesia merupakan negara yang demokrasi.
Kesadaran masyarakat terhadap ruang publik mulai nampak, dibuktikan adanya beberapa perwakilan kelompok masyarakat yang tergabung, sehingga tidak didominasi oleh satu strata gender. Berbicara mengenai ruang publik dan gender, hal ini erat kaitannya dengan dominasi atau golongan gender tertentu. Namun, prinsip kesetaraan mulai diterapkan serta banyak pihak yang mulai sadar.
Deskriminasi terhadap gender awalnya dikonstruksi oleh nilai dan norma di masyarakat. Berkat perjuangan dan kegigihan aktivis gender, hal itu mulai tereduksi. Salah satunya adalah deskriminasi terhadap kaum transpuan. Transpuan merupakan singkatan dari transgender perempuan. Dilansir dari mediaindonesia.com transgender perempuan adalah laki-laki yang berperilaku serta berorientasi menjadi perempuan. Pada umumnya transpuan merasa bahwa mereka terjebak dalam kodrat yang salah dan tidak sesuai dengan perilaku serta naluri yang mereka rasakan.
Keputusan menjadi transpuan merupakan hal yang tidak mudah, karena masih banyak stigma negatif dari masyarakat yang melekat dan tidak bisa menerima kehadiran mereka dalam ruang publik. Meskipun demikian, aktivis transpuan tetap berupaya untuk mendobrak sistem dan nilai yang terkungkung oleh stigma. Salah satu contohnya adalah Bunda Mayora yang berasal dari Nusa Tenggara Timur.
Dilansir dari voaindonesia Bunda Mayora terpilih menjadi Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) di Desa Habi pada bulan Maret lalu. Beliau merupakan transpuan pertama di Indonesia yang menjadi pejabat publik. Tidak ada yang menyangka bahwa transpuan yang berumur 33 tahun tersebut menjadi lambang kesuksesan bagi kaum transpuan untuk berkarir dalam ruang publik. Hal ini tidak lepas dari dukungan masyarakat hingga tokoh agama Katolik setempat yang memberikan tempat dan suara dalam pemilihan Badan Permusyawaratan Desa.
Meskipun tidak semua transpuan bisa bernasib dan merasakan hal yang sama, setidaknya ada satu transpuan yang berhasil mendobrak stigma tersebut. Di kota Maumere, Bunda Mayora mengalami berbagai penolakan, apalagi dengan latar pendidikan pastoral yang ia tempuh serta teman-temannya yang mengetahui hal tersebut. Kota dengan mayoritas masyarakatnya beragama Katolik tersebut menjadi tempat bagi Bunda Mayora menempa hidup. Namun hal itu telah terbayar dengan pencapaian yang ia peroleh.
Kasus serupa juga terjadi di Pesantren Al Fatah yang dikhususkan untuk para waria, hal ini sebagai bentuk kepedulian dari kaum sesama waria untuk memfasilitasi mereka dalam mendekatkan diri terhadap Tuhan. Dilansir dari detik.com, pesantren ini dipimpin oleh Shinta Ratri, yakni waria yang menerima penggilan jati dirinya secara utuh tanpa membatasi dalam konteks beragama.
Saat ini pesantren waria ini telah memiliki anggota yang beragam dari seluruh komunitas waria yang ada di Yogyakarta, sehingga menjadi upaya pendekatan terhadap Tuhan pada ruang publik. Tidak peduli dengan gender dan konstruksi masyarakat, mereka tetaplah manusia dan memiliki hak dalam ber-Tuhan. Tuhan saja tidak membatasi manusianya untuk beribadah dan mendekat kepada-Nya, mengapa sesama makhluk harus mengadili dan berlaku seperti sosok Tuhan?
Dalam perkembangannya, pesantren Al-Fatah mendapat beragam cibiran bahkan mendapat teguran dari FJI (Front Jihad Indonesia) dengan perintah agar segera bertobat dan kembali pada kodrat saat mereka dilahirkan. Namun hal itu mendapat perlawanan dari berbagai pihak, sehingga teguran tersebut bisa diabaikan.
Sejatinya kodrat alamiah manusia secara lahiriah (nature) memang ada dua yakni laki-laki dan perempuan atau yang kita kenal dengan istilah jenis kelamin. Sedangkan perawatan dari hal-hal kodrat tersebut bisa membentuk konstruksi sosial, seperti: lingkungan, sosial-budaya hingga pola pengasuhan orang tua (nurture). Hal tersebut berakibat dengan adanya istilah gender yang kita kenal pada masa sekarang. Tidak hanya laki-laki dan perempuan namun banyak istilah lain yang bermunculan dalam orientasi seksual, salah satunya adalah transpuan.
Tidak ada yang berhak untuk menentukan dan menghakimi seseorang dalam beragama. Semua orang memiliki hak yang sama, begitu juga dengan hak untuk bertahan hidup, seperti: pada ruang publik. Baik laki-laki, perempuan bahkan transpuan sekalipun memiliki kesempatan yang sama. Tidak ada yang bisa mengukur tahap keimanan seseorang, yang bisa kita tanamkan dalam diri adalah berusaha menjadi individu yang sebaik mungkin dan tetap bermanfaat bagi orang lain.
Penulis : Dewi Ariyanti Soffi