Kamis, (30 Juli 2020) Duta Damai Jawa Timur mengadakan KoPeace bertemakan “Gender dan Perundungan Digital di Mata Millenial” dihari yang sama, media sosial khususnya Twitter sempat ramai dengan salah satu kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh seorang mahasiswa tingkat akhir salah satu PTN di Surabaya yang ternyata korbannya tidak hanya perempuan, tapi juga laki laki. Hal ini membuktikan bahwa, gerakan memerangi pelecehan seksual bukan hanya untuk melindungi perempuan, lebih dari itu adalah untuk memperjuangkan nilai kemanusiaan.
KoPeace kali ini, Duta Damai Jawa Timur sengaja mengangkat topik sensitif diluar kebiasaan membahas terkait perdamaian, terorisme, dan toleransi. Hal ini dikarenakan, memeberantas pelecehan seksual di Indonesia juga dianggap perlu untuk menciptakan kehidupan yang damai dan harmonis bagi seluruh manusia.
Dua perempuan millenial Mbak Saras (KPI Jember) dan Mbak Jannah (DD Jateng) diforum kali ini menjadi pemantik sekaligus narasumber yang menjelaskan secara mendetail terkait topik yang akan didiskusikan. Kehadiran millenial sebagai pemantik diharapkan mampu mewakili suara-sura generasi saat ini, terkait pentingnya pengarusutamaan gender, khususnya di media digital.
Gender di Mata Millenial
Berbeda dengan kondisi saat ini, pada jaman dahulu pengkotak-kotakan antara laki-laki dan perempuan sering terjadi hingga timbul tumpang tindih pemaknaan antara gender (kontruksi sodial) dan seks (jenis kelamin). Millenial saat ini, merupakan mereka yang terlahir di atas tahun 90an, generasi ini cenderung pernah bertemu dengan media konvensional (radio, televisi, koran) dan juga media digital. Kondisi ini kemudian menggiring timbulnya banyak pemahaman terkait gender berbeda dengan generasi sebelumnya.
Menurut survey daru USA Today (2014), 2/3 generasi millenial sudah mampu mendobrak batasan kontruksi gender yang dibangun oleh generasi sebelumnya. Penafsiran-penafsiran baru terkait gender yang tidak lagi mengikuti tradisi dan norma menyebabkan pemahaman gender saat ini terus berkembang dan memberikan ruang gerak yang lebih pada perempuan. Terlebih lagi, internet saat ini telah menjadikan media digital semakin banyak dan bervariasi dan menggunakan pendekatan androgini dalam penyampaiannya.
Karena saat ini, millenial telah memiliki pemahaman untuk tidak mengkotak-kotakkan dan memberi batasan baik secara normatif maupun tradisi bagi siapapun, menyebabkan generasi millenial mampu berpikiran kritis, open minded, prmuh toleransi dan anti terhadap kekerasan. Serta mereka akan cenderung mengoptimalkan diri untuk kegiatan sosial dan mengejar cita-citanya untuk kemudian tidak memilih terburu-buru menikah muda, sepeti yang gembor didakwahkan gerakan ekstrim.
Ironisnya, di lain sisi dari mudahnya millenial dalam mengakases informasi di media berdampak pada kurangnya filter dan edukasi yang mengarahkan mereka untuk menghindari konten negatif. Terlebih remaja, yang baru memasuki usia dengan rasa ingin tahu yang sangat besar cenderung akan mencoba untuk mengakses hal-hal yang tidak seharusnya diakses anak diusia mereka.
Budaya Kolonial yang Mengakar pada Millenial
Meskipun millenial dapat dikatakan sudah open minded dan mampu berfikir kritis. Kondisi mereka yang masih minim pengetahuan dan akses pendidikan justru menyebabkan tetap mengkarnya budaya kolonial generasi sebelumnya salah satunya pernikahan anak. Namun, dimasa sekarang, alasan menikah muda berbeda dengan masa masa sebelumnya yang memang menikah karena menganggap sudah waktunya.
Ditahun 2019 KPPPA mencatat terdapat 43.8 juta anak indonesia menikah diusia 19 tahun. Meskipun telah ada UU yang menegaskan terkait batasan usia pernikahan, beberapa dispensasi membuat UU ini tak berlaku lagi. Salah satu dispensasi yang sering diterima oleh KPPPA adalah, terjadinya kehamilan diluar nikah yang menyebabkan si anak harus segera dinikahkan meski kemudian usia mereka masih dibawah batas minimal usia menikah menurut Undang-Undang.
Kondisi ini, disebabkan tadi. Mudahnya akses remaja khususnya pada konten negatif, yang tidak diimbangi dengan edukasi terkait kesehatan reproduksi. Karena tidak dapat dipungkiri, ketika menikah diusia dini yang belum matang baik secara fisik, mental, dan juga finansial memiliki dampak yang sangat riskan. Mulai dari kesehatan reproduksi bahkan hingga kesehatan mental anak itu sendiri. Sehingga tak jarang, perkawinan anak berujung pada perceraian. Data terkait kasus perceraian menyebutkan, ditahun 2018 angka perceraian mengalami peningkatan menjadi 419.2 ribu dari tahun sebelumnya yang sekitar 374.5 ribu.
Masa Pandemi, KGBO Meningkat Hingga Hari Ini
Lima bulan terakhir, kegiatan sosial masyarakat berubah. Hampir 90% beralih menjadi kegiatan daring. Tidak menutup kemungkinan pada kekerasan seksual, yang juga menjadi massif belakangan. Pada pertengahan Juli 2020 ini, menurut DP3AK Jatim terjadu peningkatan kasus kekerasan seksual sebesar 41% dan kebanyakan berupa Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO). Salah satunya, lagi trending di hari ini kasus Gilang yang memakan banyak korban.
KBGO atau perundungan digital ini terjadi tidak hanya menimpa perempuan tapi siapa saja dpaat menjadi korban. Mulai dari hal sepele, body shamming di kolom komentar, victim blamming, bahkan pada tingkatan yang lebih parah adalah penyebaran video, konten, ean meme yang cenderung negatif dan mengarah pada pelecehan bagi perempuan maupun laki-laki.
Generasi millenial saat ini, sudah seharusnya menjadi agen Cyber Violence. Karena tidak dapat kita pungkiri bahwa negara belum sepenuhnya menjadikan perdamaian dan penghapusan kekerasan seksual sebagai skala prioritas, hal ini terbukti dengan dihapuskannya pembahasan RUU P-KS dari prolegnas tahun 2020.
Perlu ditekankan kembali, korban kekerasan seksual tidak melulu perempuan. Tapi siapa saja dapat berpeluang menjadi korban. Untuk itu gerakan feminis dianggap perlu untuk menjadi gerakan bersama dalam mendesak pemerintah untuk menaruh perhatian lebih terhadap kasus kekerasan seksual ini. Tidak hanya millenial, tapi kita harus mampu saling berkolaborasi dengan seluruh elemen untuk mengawal bersama pengarusutamaan gender dan juga pengentasan kekerasan seksual terlebih dimasa pandemi seperti sekarang.
Kita harus tegas dan memberanikan diri dalam menanggapi dan melaporkan kasus-kasus pelecehan yang terjari disekitar kita. Agar pelaku jera, dan korban merasa aman dan terlindungi. Sehingga, nilai perdamaian dan kemanusiaan mampu disuarakan untuk terciptanya keharmonisan dalam kehidupan.
*Tulisan ini disarikan dari KoPeace ke-3 Duta Damai Jatim
Penulis: Nuril Qomariyah – Gubuk Tulis