Sabtu, 17 Juli 2021 (15.00-17.00)
Dispensasi perkawinan semakin memperkuat peningkatan kasus perkawinan anak. Bersamaan dengan masa pandemi Covid-19, permohonan dispensasi perkawinan mengalami peningkatan yang cukup tajam. Dalam artian dispensasi perkawinan adalah pemberian hak kepada seseorang untuk menikah, meski belum mencapai batas minimum usia pernikahan. Artinya, seseorang boleh menikah diluar ketentuan itu, jika dan hanya jika keadaan “menghendaki” dan tidak ada pilihan lain (ultimatum remedium).
Dalam UU perkawinan terbaru, penyimpangan dapat dilakukan melalui pengajuan permohonan dispensasi oleh orangtua salah satu atau kedua belah pihak calon mempelai.
Peningkatan usia perkawinan anak khususnya anak perempuan sebanyak 1,37% dari tahun 2019. Hal ini membuktikan bahwa selama masa pandemi, kegiatan ini terus meningkat. Tidak hanya dipicu oleh hukum adat saja, namun strees dan kesulitan pada sektor ekonomi menjadi factor yang mempengaruhi. Seperti topik atau isu diskusi yang dilaksanakan oleh AKSARA (Aksi dan Kontribusi Sosial) Jawa Timur yang dilaksnakan pada Sabtu, 17 Juli 2021. Dengan mempersembahkan Warior Ayu sebagai wadah bagi anak muda untuk memberikan pandangan, aspirasi, dan pendapat dalam merespon perkawinan anak usia yang terjadi.
Kasus pernikahan anak kebanyakan terjadi di sub-Sahara Afrika dengan presentase sebesar 35% pada perempuan muda dengan usia 18 tahun (UNICEF,2020), pernikahan anak terus memengaruhi perempuan muda secara tidak proporsional (UNICEF,2019). Praktiknya dikatikan dengan alasan putus sekolah, kehamilan remaja, kematian ibu, potensi yang belum tercapai, dan kemiskinan antargenerasi.
Dampak yang terjadi pada kesejaahteraan emosional dan mental remaja semakin mendapatkan perhatian global / penghambat pembangunan. Narasumber dalam acara ini adalah Ajeng Adinda Putri yang merupakan part of Duta Damai Jawa Timur juga yang dilaksanakan secara daring melalui Via Zoom. Acara ini juga berkaitan dengan Implementasi Kampanye Penghapusan Perkawinan Usia Anak.
Pada acara ini juga dilaksanakan peluncuran film pendek serta kegiatan ini dilaksanakan dalam bentuk FDG, kampanye dan komitmen bersama dalam mewujudkan Indonesia bebas perkawinan anak yang dikemas dalam satu kegiatan lokakarya.
Narasumber juga memberi suatu artikel dalam penyampainnya yang berjudul “Suara Tanpa Pilihan” artikel karya Saul,dkk dengan menyelidiki agensi perempuan remaja dalam pengambilan keeputusan perkawinan di Niger yang meneliti dalam konteks pemahaman perempuan muda mengenai agensi mereka sendiri yang berkembang pada keputusan pernikahan dini yakni :
- Kepatuhan anak perempuan
- Persetujuan orang tua dan masyarakat
- Kesempatan ekonomi yang terbatas (khususnya perempuan).
Nikah produktif atau bisa dikatakan Nikah Siap sekitar usia 19 tahun sedangkan Nikah Tua sekitar 35 keatas, bisa dikatakan Nikah Siap ketika mental, fisik dan faktor lainnya sudah matang dan dipikirkan dengan baik. Banyak kasus perkawinan anak usia kurang dari 18 tahun di Indonesia, mulai dari faktor KTD (kehamilan tidak diinginkan), ekonomi dan pembelajaran seksualitas. Oleh karenanya perlu dilakukan adanya analisis terhadap situs, institusi atau perkembangan yang lebih baik lagi, evaluasi terhadap program perlindungan anak yang telah dibuat dan diberlakukan, Menerapkan pendidikan formal dalam strategi peningkatan ekonomi, pembelajaran sejak dini mengenai dampak pernikahan anak, dan tentunya mengikuti sosialisasi program PUP (Pendewaasaan usia perkawinan) keluarga berencana.
“Marriage at the right age, the birth of happy and healthy family.” pungkas Ajeng Adinda putri.
Pewarta: Alda maysita budianto (Duta Damai Jawa timur)