Sudah bukan menjadi rahasia lagi kalau saat ini banyak pemuda urban yang belajar keilmuan agama dari internet. Di sisi lain, internet memang menyediakan banyak sekali informasi yang dibutuhkan dalam segala aspek, termasuk dalam bidang agama. Coba saja anda ketikkan suatu topik di kolom pencarian Google, saya cukup yakin internet telah menyediakan hampir semua masalah keagamaan untuk anda.
Namun, konsep seperti kolom pertanyaan ini pula lah yang menjadikan belajar agama hanya dari internet bermasalah. Kita tahu bahwa internet menyediakan informasi yang amat sangat sporadis. Internet hanya menjawab apa yang ditanya per topik, kita tidak pernah diberi tahu asal mula historis dari pengetahuan itu, sementara salah satu sifat keilmuan adalah continuity atau adanya sanad.
Pencarian ilmu melalui internet akan membuat pembelajar sangat lemah dalam urusan sanad. Selain itu, pengetahuan yang didapat juga sangat dangkal, dan yang paling penting, keilmuan yang didapat dari internet tidak memiliki penjaga.
Poin terakhir tentang penjaga saya maksudkan untuk menyebut pentingnya peran guru dalam proses belajar. Semisal ada suatu persoalan yang tidak dapat dijawab oleh santri, mereka akan bertanya kepada ustaz. Ketika ustaz tidak memiliki jawaban atas persoalan dari santri, mereka akan bertanya pada kiai. ketika kiai tidak mendapat jawaban yang memuaskan, antar kiai akan melakukan bahsul masail atau bermusyawarah. Sehingga ilmu yang akan disalurkan sangat dijaga oleh orang yang sama-sama memiliki ilmu.
Hal-hal seperti ini yang tidak mungkin ditemui ketika ada seseorang yang hanya belajar dari internet, otodidak, apalagi mengaku langsung belajar pada Rasul dan Sahabat, Eh.
Adanya diskursus yang luwes tentang suatu permasalahan akan menjaga manusia tetap washatiyah. Karena, ketika keilmuan dibicarakan dengan luwes pada lingkungan orang-orang ahli ilmu, dari sana tidak akan muncul sebuah monopoli kebenaran.
Coba bandingkan dengan pengetahuan yang didapat dari internet. Taruh sebuah permisalan ketika anda ingin mengetahui tata cara salat gerhana. Saya yakin anda akan menemukan jawaban atas pertanyaan anda itu. Tetapi yang akan anda dapat hanya secuil data tentang salat gerhana. Anda tidak akan menemui semua jenis pendapat dari salat gerhana, anda juga tidak akan menemukan basis dasar yang kuat atas pengetahuan tentang salat gerhana.
Ketika anda belajar keislaman, mula-mula anda akan diajari bahasa arab, sesuatu yang bahkan tidak bagian dari keilmuan keagamaan, namun penting sebagai alat membaca teks keagamaan yang mayoritas berbahasa arab. Pun dengan ketika anda mulai belajar fiqih, ketika anda ingin tahu caranya salat magrib, anda tidak akan ujuk-ujuk diajari tata cara salat maghrib, tetapi anda akan diajari seluruh tetek-bengek bersuci.
Dalam dunia keilmuan, semua ada susunannya dan semua ada sejarahnya, tidak main ujuk-ujuk langsung ke poin persoalan seperti jawaban-jawaban ketika anda bertanya ke Mbah Google, karena hal itu sangat berbahaya.
Sudah sering kita temui, banyak orang yang kepalang pededan mendaku diri ustaz saat tahu satu dua hadis. Apalagi ditambah suara yang melengking, mengolah intonasi dan sedikit humor, dia digemari orang saat berbicara dan kemudian ia merasa sudah wajib ceramah kesana-kemari. Dan apa hasilnya? Banyak diantara para ustaz karbitan yang hanya belajar dari internet merasa bahwa apa yang ia percaya merupakan sebuah kebenaran, jadilah mereka ahli kapling surga dan menyalahkan lian, padahal sejatinya diskursus keilmuan ini luas dan rumit sekali.
Kepongahan penceramah yang kepalang pede ketika baru kenal satu dua hadis membuat dunia keislaman menjadi kaku. Ustaz-ustaz macam begini barangkali tidak tahu bahwa diskursus dan debat adalah hal yang sangat fleksibel dan terjadi di dunia islam sejak dulu, namun dengan gagah mereka mengatakan bahwa islam harus menjadi satu. Sayangnya satu yang dimaksud ini versinya, jadilah mereka menjadi islam yang kaku dan suka menyalah-nyalahkan orang, dan tentu berujung pada sikap hidup yang ekstrem.
Sebenarnya tidak hanya dalam urusan keislaman, dalam setiap keilmuan, sanad adalah suatu yang amat sangat penting. Apakah kalian masih ingat segerombolan seleb yang kampanye teori konspirasi virus corona? Ya sebut saja artis itu namanya Dedi. Dedi berkoar sana sini, membuat beragam video justifikasi kalau argumennya ini benar dan patut dipercaya. Sadar atau tidak, ia telah mencederai sanad keilmuan.
Seorang virolog atau epidemiolog bukanlah orang yang jadi dalam waktu 2 bulan. Mereka menempuh pendidikan sangat lama dan mendalam. Mereka mempelajari seluk beluk keilmuan dari level dasar sampai ilmu yang sangat canggih, sehingga apa yang mereka utarakan sangat dalam, beralasan, dan tentu dapat dipertanggungjawabkan, mereka tidak ahistoris ilmu. Sangat berbeda dengan pemuja teori konspirasi yang hanya bermodal gotak-gatuk dan tidak dapat dipertanggung jawabkan. Kacau kalau penganut konspirasi ini punya kepala batu dan memaksakan banyak orang percaya padanya, dan itulah yang pernah kita hadapi.
Urusan agama tentu begitu. Para Pastur, Bhikhu, sampai Kiai yang kita kenal bukanlah orang yang baru belajar kemarin sore. Beliau semua telah menghabiskan waktu berpuluh-puluh tahun untuk sampai di titik ini. Mereka belajar dari dasar dan membentuk sebuah keilmuan yang historis. Argumen yang keluar dari pemuka agama ini kuat dan dapat dipertanggungjawabkan, karena mereka menyusun batu keilmuan satu persatu, mereka membangun pondasi, dinding, sampai atap keilmuan. Tidak gampang roboh. Kontas dengan mereka, ustaz karbitan produk internet, mereka hanya memetik buah tanpa menanam tunas, sehingga mereka tidak memiliki akar yang kuat dan menancap jauh kedalam.
Sehingga, dewasa ini kita memang perlu bijak dan jeli memilih ustaz yang bisa di-follow. Apakah ustaz kemarin sore dan hanya bermodal tampang cakep dan pembawaan yang menyenangkan, atau kiai yang telah berpuluh-puluh tahun mencari ilmu? Ini semua perlu kita usahakan agar kita tidak terjebak dalam jurang-jurang ekstremisme. Tentu ekstremisme dalam segala hal.
Penulis: M. Bakhru Thohir (Pegiat Gubuk Tulis Malang)