Tahun lalu (8/2018) dunia maya sempat heboh dengan peristiwa karnaval anak TK dan PAUD di Probolinggo yang memperingati HUT Kemerdekaan RI. Pasalnya, sebagian group pawai anak mengenakan jubah dan cadar sambil memegang senjata. Media sosial heboh sebab pakaian yang dipakai anak-anak itu mirip dengan pakaian anggota teroris terlarang, ISIS. Pro-kontra muncul. Sebagian besar mengkritik panitia pelaksana, mengapa anak harus diperlakukan seperti itu.
Masyarakat –bahkan dunia –juga kaget dengan Peristiwa terorisme (13-14/05/2018) yang sempat terjadi di Surabaya dan Sidoarjo, Jawa Timur. Sebab, dua di antara pelakunya adalah anak-anak. Para netizen mengomentari bagaimana anak-anak kok bisa dijadikan sebagai pelaku aksis terorisme. Itulah faktanya, bahwa virus radikalisme yang notabene-nya anti terhadap perdamaian tidak pandang bulu lagi. Ia bisa masuk dan merasuki dunia anak-anak.
Dalam konteks inilah, hal yang tidak bisa ditunda-tunda lagi adalah perlunya mengampanyekan dan mempraktikkan pendidikan literasi perdamian bagi anak. Anak yang dimaksud di sini –sebagaimana dalam kajian pendidikan – yang berumur 0 (nol) sampai 12 (dua belas) tahun. Mengapa harus anak? Sebab dunia mereka masih polos, bersih, dan mudah dibentuk. Ingatan mereka masih kuat. Apa yang dilihat, didengar, akan mereka ingat, dan dalam level tertentu mereka dengan mudah mempraktekkannya.
Sebagai asset bangsa, anak-anak adalah tunas yang harus dirawat perkembangannya. Letak maju tidaknya suatu bangsa, tak lepas dari perkembangan anak-anak. Salah satu cara paling penting dalam merawat adalah dengan cara pendidikan literasi cinta damai. Literasi yang dimaksud di sini adalah membangun nalar, mental, dan emosi mereka lewat bacaan. Bacaan di sini bisa bersifat verbal, tulisan, maupun visual.
Dengan begitu, diharapkan mereka akan tumbuh menjadi manusia-manusia yang kritis; yang tidak mudah dipengaruhi oleh paham radikal; bisa menimbang mana mafsadat, mana madarat; mana yang bisa membuat damai, mana yang mengakibatkan kekacauan. Literasi diberikan dengan cara tidak memaksa, melainkan pembiasaan dan contoh teladan di depan mata sang anak.
Mimpi Perdamaian: Pembiasaan dan Teladan
Strategi pendidikan literasi cinta damai bagi anak adalah dengan cara pembiasaan dan contoh konkrit. Usia anak adalah usia yang bisa karena biasa, dan terbiasa karena ada contoh teladan konkrit di depan matanya. Sejak dini, anak harus dibiasakan mendengarkan dongeng, cerita, kisah, hikayat, legenda yang berisi tentang pesan-pesan perdamaian. Usia anak adalah usia yang mudah bosan. Jika terus-menerus didongenkan sebelum tidur, lama kelamaan ia akan berontak, maunya dia yang menceritakan, bukan diceritakan lagi. Momen atau fase inilah saatnya orang tua masuk, memberikan mereka buku bacaan yang ramah anak dan penuh pesan moral perdamaian.
Beberapa penelitian menujukkan, anak akan betah bercerita apa yang dia baca, dia lihat, dan dia dengar dari lingkungan sekitarnya. Anak yang sudah terbiasa dengan bacaan, gambar, dan video yang penuh dengan pesan perdamaian, maka akan kecanduan dengan buku-buku model beginian. Pada tahap selanjutnya, ia akan tumbuh menjadi manusia yang berkarakter penuh tanggungjawab dalam menjaga eksistensi perdamaian.
Selain pembiasaan, strategi berikutnya adalah memberikan mereka contoh konkrit. Para orang tua harus membiasakan diri membaca di depan anak-anak. Atau menciptakan kondisi dan ruangan yang bisa merangsang keinginan anak untuk selalu membaca. Anak adalah peniru handal. Anak mempunyai rasa penasaran yang tinggi. Jika orang tua terbiasa membaca, ia akan meniru langsung. Jika orang tua menciptakan iklim ramah literasi anak, sang anak akan penasaran lalu mencontohnya.
Banyak kasuk menunjukkan, bahwa anak menjadi radikal, intoleran, dan mudah terkontaminasi virus anti-perdamian, disebabkan oleh kegagalan orang tua dalam memberikan contoh dan pembiasaan akan pentingnya nilai-nilai perdamian. Orang tua di sini tentu bukan dalam pengertian sempit, ia bisa guru, ustad, kyai, bahkan negara. Semua orang tua (dalam pengertian umum tadi) harus hadir memberikan contoh konkrit dan pembiasaan bagi anak-anak Indonesia.
Memberikan Kebebasan
Jika anak sudah terbiasa dengan literasi dan mempraktekkan nilai-nilai perdamaian, maka tugas orang tua selanjutnya adalah memberikan mereka kebebasan. Anak harus bebas untuk bercita-cita, bermimpi setinggi langit, dan kebebasan mengekspresikan skill, bakat, kemampuan, hobby dan kesenangan masing-masing anak, tanpa terlalu banyak intervensi dari luar, termasuk orang tua.
Kemerdekaan dimaknai sebagai kunci untuk memotivasi anak ke hal atau bidang yang ia sukai. Anak tak boleh diintervensi terlalu berlebihan, atau dipaksakan agar ia masuk sesuai dengan keinginan orang tuanya. Tidak sedikit anak yang bakatnya menyanyi, tetapi karena orang tuanya sukanya jadi penghafal Quran, anak dipaksakan untuk jadi hafiz cilik. Banyak terjadi kasus, anaknya hobinya melukis, tetapi sebab orong tuanya lebih suka pada ilmu-ilmu eksak, anak dituntut agar les private ini dan itu, biar bisa ikut olimpiade. Di sini, anak tidak merasakan kemerdekaan.
Ketiga kunci itu, yakni pembiasaan, contoh konkrit, dan memberikan kebebasan pada anak adalah kunci sukses dalam pendidikan literasi perdamaian bagi anak.
Penulis: Hamka Husein Hasibuan