Sudah hal lumrah terjadi setiap menjelang tahun-tahun politik, kasus intoleransi berbasis agama masih sering terjadi. Bahkan intoleransi setiap tahun-tahun politik mengalami peningkatan, khususnya agama atau keyakinan minoritas di Indonesia. Seperti kasus penutupan patung Bunda Maria di Lendah, Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta dan penolakan kedatangan Duta Besar Vatikan ke Palembang. Sebagaimana pernyataan dari Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Sidarto Danusubroto mengingatkan, bahaya intoleransi, radikalisme, dan terorisme menjelang Pemilu 2024 dapat memicu terjadinya perpecahan bangsa.
Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menyebutkan, masyarakat Indonesia belum toleran. Hasil survei menunjukkan, latar belakang orang yang paling tidak ditoleransi adalah komunis, Islamic State of Iraq and Syria (ISIS), Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT), dan Atheis. Hal sangat berkaitan dengan keyakinan yang berkembang atas penolakan-penolakan terhadap eksistensi agama di kalangan masyarakat. Ini menjadi perhatian yang sangat penting bagi semua kalangan, karena selama ini Indonesia masih belum benar-benar toleransi terhadap sesama, agama dan keyakinan.
Belum lagi melihat data dari Setara Institute mencatat, 175 peristiwa dengan 333 tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan sepanjang 2022. Setara Institute mencatat 50 tempat ibadah diganggu dan dirampas hak kebebasan beragama dan berkeyakinannya sepanjang 2022 di Indonesia. Angka tersebut naik drastis dibanding beberapa tahun terakhir: 44 (2021), 24 (2020), 31 (2019), 20 (2018) dan 16 (2017). Data ini menuturkan kalau setiap tahun mengalami peningkatan atas kasus intoleransi di Indonesia terkait kebebasan beragama dan keyakinan.
Pada pemerintahan Presiden Joko Widodo, Indonesia sudah 78 merdeka tetap angka-angka intoleransi mengatasnamakan agama cukup tinggi, khususnya pada tahun-tahun politik. Sangat disayangkan di tahun politik selanjutnya masih terjadi kasus intoleransi yang sama di tahun sebelumnya.
Kebiasaan Menjadi Wakil Tuhan
Menanggapi sajian data di atas, terkait tindakan intoleransi yang terjadi sejauh ini banyak ragam komentar. Salah satu komentar disampaikan oleh Karlina Rohima Supelli pada momen “Diversity Award 2016” yang digelar oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk) dengan kalimat sederhananya, “Saya mengambil kalimat dari salah satu teman saya yang mengatakan, jika kamu membenci seseorang dan tidak mau ia ada di dunia ini, ini sama artinya kamu tidak menyukai Tuhan yang menciptakan mereka.”.
Ketika untuk Tuhan diperbolehkan mendiskriminasi kelompok-kelompok atau komunitas-komunitas yang dianggap berbeda. Ketika untuk Tuhan orang-orang yang memiliki orientasi hidupnya berbeda boleh dinistakan secara sembarangan. Hal-hal tersebut, seolah-olah orang yang melakukan diskriminasi dan penistaan terhadap orang lain posisinya sama dengan Tuhan dan mengetahui apa yang diinginkan Tuhan untuk manusia kedepannya.
Saat manusia sudah menganggap dirinya sebagai wakil Tuhan di dunia, tidak akan ada kedamaian dan ketentram dalam kehidupan. Sebab manusia tidak bisa menjadi perwakilan atas kepercayaan masing-masing individu. Apalagi sampai mengaku orang yang paling benar, paling baik, paling suci, dan paling bijaksana. Dalam buku “Kisah Mata” karya Seno Gumira Ajidarma menuliskan, “Manusia adalah pemberi makna. Tetapi kebermaknaannya sendiri ditentukan dalam kebersamaan dengan sesama”. Jadi, letak manusia sendiri berada ketika memberikan makna bagi dirinya sendiri dan lingkungannya.
Saangat disayangkan, ketika manusia merasa memiliki keputusan yang sama dengan Tuhan, apalagi ini hanya sekadar informasi yang belum akurat kalau pemahaman keberagaman bukan keseragaman yang diciptakan oleh Tuhan. Apa pun yang bersifat informasi hanya sebagai dasar dalam membentuk sebuah pengetahuan serta memperluas terkait fakta-fakta kehidupan sesungguhnya. Tradisi menjadi wakil Tuhan sebenarnya tidak ada di berbagai dunia yang dibenarkan. Selain itu, Tuhan tidak butuh wakil dan pertolongan, cukup manusia menjadi manusia yang Tuhan ciptakan.
Republik Slogan di Tengah Keberagaman
Dalam sensus resmi yang dilirik oleh Kementerian Dalam Negeri tahun 2021, penduduk Indonesia berjumlah 273,32 juta jiwa dengan 86,93% beragama Islam, 10,55% Kristen (7,47% Kristen Protestan, 3,08% Kristen Katolik), 1,71% Hindu, 0,74% Buddha, 0,05% Konghucu, dan 0,03% agama lainnya. Sedangkan Berdasarkan data Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), ada 102.508 jiwa penduduk Indonesia yang menganut aliran kepercayaan pada Juni 2020. Jumlah itu setara dengan 0,04% dari total penduduk Indonesia yang mencapai 272,23 juta jiwa.
Salah satu dari sekian banyak slogan yang berterbangan dari dulu sampai sekarang seperti, “Bhineka Tunggal Ika”, “Toleransi Harga Mati”, “Indonesia Toleran”. Keberagaman agama dan keyakinan di Indonesia benar-benar perlu slogan tersebut. Sekian banyak keberagaman yang ada di Indonesia, slogan menjadi sebuah realitas kehidupan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Slogan adalah perkataan atau kalimat pendek yang menarik, mencolok, dan mudah diingat untuk menjelaskan tujuan suatu ideologi golongan, organisasi, parta politik, dan sebagainya.
Sepanjang 2022 di Indonesia dari hasil survei oleh Setara Institute terkait intoleransi masih dikatakan cukup tinggi. Mengingat slogan-slogan sebagai senjata utama untuk mereda dan membuat pendudukan Indonesia, mulai dari suku, agama, etnis, bahasa, budaya, gender dan lain sebagainya terlindungi oleh slogan-slogan tersebut. Kekuatan slogan yang diciptakan melindungi dan terciptanya rasa aman semua agama dan kepercayaan yang diyakini oleh masing-masing kelompok dan individu. Namun adanya slogan tersebut tidak sesuai harapan slogan yang membiarkan keberagaman tanpa harus keseragaman.
Mungkin adanya slogan memang lebih relevan digunakan untuk hal-hal yang lebih dibutuhkan dan menguntungkan, lebih-lebih menghasilkan uang. Hal tersebut rasanya sangat masuk akal, saat melihat produk-produk diiklankan menggunakan slogan lebih menarik dan terjual di kalangan masyarakat.
Jika memang slogan untuk menciptakan dan mempertahankan keberagaman dikalahkan oleh slogan yang menghasilkan, apakah sudah saatnya slogan tinggal ucapan? Bisa jadi. Tetapi lahirnya slogan bukan serta merta ada, makna setiap slogan sangat dalam dan mengandung sebuah cita-cita dan harapan yang sangat besar. Yang jelas, semuanya mengandung pembelajaran untuk masa depan, khususnya generasi bangsa dan nasib bangsa sendiri kedepannya.
Dengan pemahaman ini, toleransi atas keberagaman dan keyakinan di republik ini tetap dilestarikan. Saling menghormati, menghargai, menyayangi dan mencintai, sesuai dengan pemikiran Gus Dur, “Yang diperlukan adalah rasa saling memiliki (sense of belonging), bukannya hanya saling bertenggang rasa satu terhadap yang lain”.
Penulis : Abu Aman
Editor ; Akbar Trio Mashuri