Kehidupan umat beragama merupakan sebuah realitas yang harus disadari oleh semua umat. Realitas tersebut dibangun dengan ketersediaan untuk berbagi ruang, saling merangkul, melengkapi dan menghormati satu sama lain. Salah satu titik temu yang mempertemukan keberagaman adalah Dialog Kerukunan Antar Umat Beragama yang dilaksanakan di Pura Mandhara Giri Semeru Agung, Desa Senduro, Kabupaten Lumajang pada tanggal 31 Oktober 2020.
Acara ini dilaksanakan oleh FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) dan FP-KUB (Forum Perempuan- Kerukunan Umat Beragama) Kabupaten Lumajang dalam rangka tindak lanjut atas ditetapkannya Desa Senduro sebagai Desa Sadar Umat Beragama oleh Ibu Khofifah selaku Gubernur Jawa Timur Di Pura Mandhara Giri Agung Semeru beberapa waktu lalu.
Dialog ini mempertemukan beragam tokoh umat beragama, antara lain: Gus Mas’ud (Perwakilan Agama Islam), Romo Adhi (Perwakilan Agama Katolik), Pendeta Jodi (Perwakilan Agama Kristen) dan Bapak Edi (Perwakilan Agama Hindu). Pertemuan yang bersifat publik ini membuka pandangan semua umat terkait kerukunan beragama menurut perspektif agama masing-masing. Tidak ada agama yang membenarkan aksi intoleran dan kekerasan, semua menginginkan kehidupan yang damai dan toleran.
Berdasarkan keterangan Romo Adhi, dalam Agama Katolik terdapat dokumen yang berkaitan dengan dialog kerukunan umat beragama yang diatur dalam kebijakan Gereka Katolik dengan pimpinan tertinggi di Vatikan yakni Paus Fransiskus. Salah satu kebijakan tersebut yakni “Gereja Katolik tidak menolak apapun yang benar dan suci, sikap hormat dan tulus dengan merenungkan cara hidup dan kaidah ajaran manusia. Gereja mendorong para putranya yang terkasih melalui dialog dan penganut agama lain tentang iman, mengakui dan mengembangkan nilai moral dan sosial budaya”.
Kemudian dalam pandangan Islam. Menurut Gus Mas’ud “umat manusia memiliki kerinduan dengan Tuhan, dengan cara dan jalan yang berbeda-beda. Jika mereka paham konsep tersebut maka tidak akan terjadi kecemburuan sosial. Meskipun dunia sedang berkecamuk, tidak bisa di justifikasi bahwa stigma Islam adalah teroris”.
Seperti halnya salam yang menjadi doa untuk keselamatan kemudian Basmallah dengan arti menyebut nama Tuhan yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Hal tersebut masih banyak yang tidak memahami secara utuh. Oleh karena itu Islam sebenarnya memiliki konsep Rahmatan Lil Al-Amin. Nabi Muhammad tidak mendirikan agama Islam yg dibangun adalah Darussalam (memimpin kedamaian) dengan menyatukan sebuah konsensus, yg dinamakan Piagam Madinah (Piagam dalam membangun kehidupan umat beragama)
Dalam pandangan Kristen, menurut Pendeta Jodi “Dialog Antar Umat Beragama diminta untuk memahami pandangan dari tiap-tiap agama, tidak harus mengikuti semuanya”. Semua umat membangun kerukunan sesuai dengan kereta masing-masing, tidak harus dalam satu jalur. Pandangan kerukunan dalam umat Kristiani (Al-Kitab) perbedaan adalah desain. Bagi umat kristiani, manusia tidak baik seorang diri sehingga mereka harus berhubungan dengan manusia yang lain. Hal tersebut sesuai dengan landasan, “kenapa tuhan YME mengijinkan perbedaan? lebih baik manusia hidup rukun maka akan datang keberkahan” (dalam Kitab Mazmur).
Seperti analogi sebuah musik, jika sebuah nada diharmonisasikan maka akan menjadi sebuah lagu yang bagus dan tercipta keindahan. Hal tersebut didukung dengan sepenggal kalimat “Kasihilah sesama manusia seperti mengasihi dirimu sendiri” Yesus dalam Al Kitab. Oleh karena itu berbuat baik kepada semua orang tidak boleh memandang status dan strata.
Yang terakhir dalam pandangan Hindu, “kita semua bersaudara” Umat Hindu meyakini bahwa Tuhan hanya satu. Jika kita merasa bahwa Tuhan adalah satu maka kita semua bersaudara, perbedaan jangan sampai menjadi bahan percekcokan. Seperti halnya konsep “Aku adalah engkau”. Berbuat kemuliaan dengan orang lain sama dengan berbuat kemuliaan dengan diri sendiri. Melalui dasar cinta kasih, kita akan mendapat kebahagiaan dan kesejahteraan. Mereka yang berbakti kepada Tuhan, maka Tuhan akan berada di sisinya. Segala perbuatan dipertimbangkan dengan konsepsi karma.
Cita-cita terakhir manusia adalah Tuhan, tempat kembalinya makhluk. Tuhan memandang manusia sama yang membedakan adalah karma, perbuatan kita. Tuhan tidak pernah membeda-bedakan. Pak Edi menambahkan jika kita ingin rukun maka kita harus menurunkan ego. Manusia punya kewajiban dalam menterjemahkan sifat-sifat Tuhan dalam kehidupan.
Perbedaan agama bukan menjadi suatu masalah dan pembatas. Namun semua itu merupakan alat untuk menyatukan semua umat dalam satu wadah yakni kehidupan sosial. Semua memiliki porsi dan telah diatur sedemikian rupa, tak ada agama manapun yang menginginkan perpecahan. Damai dan sejahtera merupakan tujuan semua umat. Seperti halnya analogi “The Rice of Bowl” dimana analogi nasi yang berada dalam sebuah mangkok dengan beragam lauknya. Nasi tersebut akan terasa nikmat jika dimakan secara bersamaan, namun nasi akan terasa hampar jika tidak ada lauk didalamnya.
Berdasarkan penjelasan diatas, keberagaman merupakan realitas yang harus dipadahami. Seperti kalimat konklusi dari Gus Mas’ud “pluralitas agama itu memang benar, namun yang lebih tepat adalah meyakini agama yang dianut dengan membiarkan kehidupan agama yang lain. Oleh karena itu yang sama tidak bisa dibedakan dan yang berberda tidak bisa disamakan”.
Penulis: Dewi Ariyanti Soffi (Duta Damai Jawa Timur)