Penulis: Akbar Trio Mashuri
Sering nampak di media sosial tentang menyerukan toleransi, harus menghargai hak sesama manusia, dan peraturan yang dijalankan harus adil dan inklusif. Rata-rata pesan yang disampaikan ditujukan kepada orang lain.
Toleransi dapat dikatakan, orang memiliki sebuah kuasa tetapi tidak memakai kuasa tersebut untuk mendiskriminasi atau menindas orang lain. Sebaliknya Intoleransi dimana orang yang memakai kuasanya untuk mendiskriminasi orang lain. Contoh bentuk intoleransi, laki-laki yang memiliki kuasa dan power lebih, justru mendiskriminasi perempuan.
Sadar gak sih kalau kita sering tidak toleransi terhadap diri kita sendiri?
Secara tidak sadar kita melanggar apa yang menjadi batasan tubuh kita, memforsir tenaga untuk mencapai tujuan yang sebenarnya tidak tahu kapan selesainya. Kemudian melakukan statement janji pada diri untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama, tetapi tetap mengulangi hingga berjanji kembali.
Kesalahan yang disesali berulang kali akan membuat kita tidak akan tenang menjalankan sebuah aktivitas, sebab tidak selesai dengan permasalahan terhadap diri. Dengan menyelesaikan permasalahan dalam diri akan membuat kita menerima apapun kondisi yang telah dialami pada masa lampau.
Tubuhmu itu hakmu secara penuh. Perlu menjadi catatan bahwa menjaga tubuh kita untuk tetap sehat merupakan kewajiban diri kita atas perintah Tuhan. Walaupun kamu bebas menggunakan tubuhmu, tetap saja harus ada batasan untuk mentoleransi tubuhmu beristirahat, tentu sesuatu yang berlebihan akan berdampak buruk bagimu.
Mulai berdamai dan mentoleransi diri sendiri, kemudian mengajak orang lain untuk toleran. ketika dirimu belum berdamai dengan diri, akan banyak problem yang membuat kamu takut untuk melangkah ke depan. Boundaries diri akan semakin tebal dan cenderung untuk menghindari kontak berlebih. Mungkin, ada beberapa orang dapat menyembunyikan apa yang menjadi permasalahan dalam diri mereka, dan itu tidak semua orang dapat menerapkannya.
Tidak perlu malu untuk mengatakan bahwa diri kita lemah, akan sakit hati, akan merasakan kecewa, akan merasakan bahagia, dan mengalami emosi lainnya dengan kewajaran sebagai manusia yang memiliki hati. Ketika kamu mengakui kalau tidak mampu menghadapi masalah, tidak akan hina sebagai manusia dan itu wajar. Manusia memiliki tingkat batasan sendiri dalam menentukan perilaku yang membuat bahagia ataupun sedih.
Kamu bukan diriku. Memang, setiap diri memiliki preferensi untuk melakukan apapun yang menurut mereka baik. Seperti kasus merokok, ada beberapa orang tidak setuju dan melarang keras untuk orang yang merokok disebabkan nanti akan merusak tubuh. Namun, sebagai pelaku ada beberapa mengatakan baik alasannya karena mereka merokok guna menambah semangat dalam menjalani aktivitas harian.
Memahami dan saling mengerti merupakan bentuk perilaku untuk mengikis prasangka yang selama ini menjadi sumber konflik. Konteks dalam diri sendiri yang sering dilakukan ialah mendiagnosis secara pribadi perilaku kita, misalnya kita sedang merasakan kesedihan dan tidak kunjung reda, bawaannya pengen nangis terus dan kita langsung berasumsi bahwa kita sedang mengalami gangguan jin serta munculnya asumsi lainnya. Contoh lain, ketika sedang mengalami kesialan pada hari itu akan disambungkan dengan kondisi dimana mereka melakukan kesalahan, padahal bisa jadi tidak demikian. Mendiagnosis diri tidak akan membuat kita merasa lebih baik.
Toleransi dibangun dalam diri bukan berarti kita membiarkan segala aktivitas yang dijalankan, tentu membuat batasan-batasan dalam diri untuk tidak over menjalankan apapun itu, baik dalam pekerjaan, belajar, dan aktivitas lainnya. Belajar mengapresiasi diri atas kerja keras selama menjalankan aktivitas seharian, hal tersebut membuat semangat dalam diri kita tumbuh dan menjadi energi positif dapat disalurkan kepada orang lain juga.
Editor : Dewi Ariyanti Soffi