Berbicara tentang terorisme tidak lepas dari radikalisme. Berbicara tentang radikalisme tidak lepas dari sikap intoleransi. Isu radikal muncul setelah adanya peristiwa bom Bali pada tahun 2002. Pasca peristiwa tersebut dengan cepat pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Terbitnya Undang-Undang tersebut ternyata tidak menjamin Indonesia menjadi aman dari aksi terorisme.
Banyak aksi teror dan pengeboman atas nama agama terjadi di ruang publik bahkan tempat ibadah. Setelah 15 tahun Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme berjalan, dengan semakin beragamnya motif tindakan teror dan radikal peraturan tersebut diubah menjadi Undang Undang Nomor 5 Tahun 2018. Perubahan Undang-Undang tersebut tentu memiliki tujuan untuk memberikan landasan hukum yang lebih kukuh guna menjamin perlindungan dan kepastian hukum dalam pemberantasan tindak pidana terorisme, serta untuk memenuhi kebutuhan dan perkembangan hukum dalam masyarakat.
Sikap intoleransi bisa menjadi akar terjadinya tindakan radikal. Sekurang-kurangnya sikap tersebut muncul karena doktrin yang kuat dan menjadi mayoritas diantara golongan. Terlebih apabila kelompoknya merasa paling benar dari yang lain. Hal tersebut sering terjadi pada antar suku dan agama.
Tidak heran jika kemudian orang bertindak secara radikal alih-alih ingin membela suku atau agamanya. Terutama isu agama yang sangat menjadi sensitif, sehingga tidak jarang oknum-oknum ormas pesanan yang membawa kepentingan transnasional membenturkan agama dengan negara dan budaya seakan-akan apa yang tidak sesuai dengan ajaran agama adalah perbuatan yang dzalim dan mengakibatkan dosa.
Potensi radikal tidak hanya dari masyarakat awam, akademisi dan kaum intelektual ada kemungkinan terpapar sikap intoleran dan radikal. Terlebih kaum milenial yang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi terhadap fenomena sosial, pengetahuan tentang kebenaran agama acapkali menjadi sasaran empuk kaderisasi kelompok radikal.
Peristiwa terorisme di Makassar dan Jakarta baru-baru ini tentu memunculkan kepanikan bagi khalayak bangsa. Bagaimana tidak, pelaku teror tersebut adalah anak muda kelahiran tahun 90-an yang masuk dalam kategori milenial. Adanya pergeseran aktor dari golongan tua ke golongan milenial menjadi catatat penting bagi masa depan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Hasil riset menyimpulkan, orang yang memiliki penilaian radikal akan merasa terdulang dalam hal radikal. Jika melihat dua peristiwa tersebut, ketika kaum milenial terjebak dalam pemaknaan agama yang dangkal dan tekstual, ada kemungkinan mereka yang memiliki pandangan radikal akan melakukan aksi teror secara mandari. Munculnya kelompok teroris milenial adalah alarm betapa pentingnya moderasi saat ini harus dikonsumsi kalangan milenial guna melindungi pemuda penerus bangsa dari bahaya radikal.
Pola radikalisme akar masalahnya adalah ideologi. Penanggulangannya tidak bisa parsial, akan tetapi dengan cara holistik. Artinya pencegahan dilakukan tidak hanya sebagian saja akan tetapi keseluruhan masyarakat yang sudah terpapar ataupun belum untuk diedukasi tentang bahaya radikalisme dan sikap plural. Strategi atau metode yang dapat digunakan adalah dengan cara character builnding, penanaman moral dan akhlak kebangsaan. Konsesus dasar Pancasila sebagai falsafah hidup berbangsa dan bernegara. Mengamalkan Pancasila berarti sama dengan mengamalkan agama.
Menjunjung tinggi UUD 1945 sebagai sumber hukum tertinggi, yang berarti semua produk hukum di Indonesia tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945, untuk yang beragama islam pun Undang-Undangnya sudah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam. Sehingga tidak ada alasan untuk menerapkan Hukum Islam secara kaffah di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bhinneka Tunggal Ika sebagai pelangi yang membentang dari Sabang hingga Merauke menggambarkan betapa indahnya perbedaan jika hidup dimaknai dengan penuh kesejahteraan dan persaudaraan. Sikap pluralisme bersifat nilai-nilai, tidak formalitas belaka. Kesadaran plural akan menyentuh manusia lainnya. Karena keadilan dan kemanusiaan bersifat holistik.
Moderasi tidak hanya sebatas pada pandangan keagaaman, akan tetapi juga dalam aspek kebangsaan dan kenegaraan. Bahaya paham chauvinisme misalnya, dengan fanatis terhadap tanah air justru akan memunculkan sikap merendahkan kualitas negara lain. Strategi holistik sebagai upaya moderasi milenial dari paham radikal diharapkan mampu menjadi makanan yang dikonsumsi setiap hari.
Penulis: Moh Yajid Fauzi (Duta Damai Jawa Timur)