Ibadah haji merupakan rukun Islam yang ke lima, dari yang pertama syahadat, salat, zakat, dan puasa. Dilaksanakan saat bulan haji tiba yaitu di bulan Haji atau Dzulhijjah, dan lokasi pelaksanaannya di tanah suci wilayah Arab Saudi. Oleh karenanya di bulan haji tersebut umat muslim yang mampu, dari seluruh penjuru dunia berangkat ke tanah suci untuk melaksanakan ibadah haji. Tak terkecuali di Indonesia yang memiliki predikat penduduk muslim terbanyak ini, pemerintahnya harus berusaha maksimal dalam memfasilitasi keberangkatan hingga kepulangan para jamaah calon haji. Sebab tanpa adanya fasilitas ataupun sarana juga kondisi yang mendukungnya menuju tanah suci, maka jamaah calon haji belum bisa melaksanakan panggilan Allah ini.
Banyaknya jamaah calon haji yang berangkat setiap tahunnya membuat penduduk muslim Indonesia yang akan melaksanakan haji harus mengantre terlebih dahulu. Mengantre untuk melaksanakan ibadah haji ini bukan tanpa alasan dan landasan yang kuat untuk diterapkan pada praktiknya. Karena kuota jumlah jamaah calon haji dari berbagai negara harus dibatasi oleh pemerintah Arab Saudi, agar setiap negara dari seluruh penjuru dunia mendapatkan kesempatan untuk melaksanakan rukun Islam yang ke lima ini. Banyaknya jamaah calon haji yang tidak sebanyak kuota yang didapat oleh pemerintah Indonesia, maka penduduk muslim Indonesia harus mengantre kurang lebih lima hingga sepuluh tahun untuk bisa berangkat haji.
Haji merupakan bentuk ibadah yang tidak bisa sewaktu-waktu dilaksanakan, sebab hanya dilaksanakan pada bulan Dzulhijjah saja setiap tahunnya dengan runtutan pelaksanaan ibadahnya. Demikianlah ibadah haji menjadi sebuah ibadah yang memiliki keistimewaan dan keutamaannya bagi yang melaksanakannya. Ali syariati penulis buku Makna Haji, menyebutkan bahwa Haji merupakan kepulangan manusia kepada Allah yang mutlak, tidak memiliki keterbatasan dan tidak diserupai suatu apa pun. Dengan demikian kepulangan manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah inilah yang akhirnya diharapkan mampu menempatkan fungsi manusia secara universal.
Panggilan Allah bagi hambanya untuk melaksanakan ibadah haji ini merupakan sebuah dambaan bagi umat muslim mana pun baik laki-laki maupun perempuan. Dalam ibadah haji terdapat beberapa teladan kuat tentang nilai kehidupan yang dilaksanakan atas dasar peristiwa masa lampau di masa nabi. Salah satunya adalah peristiwa yang dialami oleh Siti Hajar istri dari Nabi Ibrahim. Peristiwa dimana Siti Hajar ditinggalkan oleh Ibrahim bersama Ismail di sebuah gurun pasir dan panas atau yang dikenal sebagai kota Mekah saat ini. Wilayah yang begitu panas tersebut akhirnya membuat perbekalan air yang dibawa oleh Siti Hajar habis dan Ismail yang kehausan pun tak dapat menahan tangisnya akibat air susu Siti Hajar pun tak keluar karena beliau juga tidak minum sama sekali. Kondisi yang demikian akhirnya membuat Siti Hajar berlari dari bukit Shofa dan Marwah bolak balik hingga tujuh kali mencari air untuk Ismail yang sedang kehausan. Sampai akhirnya perjuangan Siti Hajar pun dijawab oleh Allah dengan keluarnya sumber air di bawah Ismail yang sedang menangis. Doa nabi Ibrahim juga bentuk ikhtiar Si Hajar akhirnya menjadi pelajaran penting bahwa Allah maha segalanya dimana seharusnya air tidak ada akhirnya Allah memunculkan sumber air di tengah gurun yang panas itu.
Sumber Air Zam-zam inilah yang sampai saat ini mengeluarkan sekian liter air untuk kebutuhan orang-orang di wilayah tersebut, juga para jamaah haji yang datang setiap tahunnya. Begitulah kiranya peristiwa berlari bolak balik yang dialami oleh Siti Hajar dalam ibadah haji dikenal dengan sebutan Sa’i. Dari situlah akhirnya para jamaah haji bisa merasakan juga menjadi momentum penghayatan terhadap peristiwa yang dialami oleh Siti Hajar dan nabi Ismail. Yang diharapkan tentunya menjadikan siapa pun menjadi lebih dekat kepada Allah juga menjadikan jamaah haji yang mabrur.
Sehingga jika berbicara jihad sebetulnya tak melulu soal perang ataupun kekerasan satu sama lain. Lebih tepatnya keras pada diri sendiri dengan keyakinan dan tekad untuk berjuang hanya karena Allah. Perjalanan haji pun demikian, bahwa perjalanan untuk mendekatkan diri kepada Allah ini perlu keihklasan dan kemurnian niat untuk benar-benar menjalani proses dan mengambil hikmah di dalamnya. Tak terkecuali mengambil hikmah dari peristiwa yang dialami Siti Hajar bersama Ismail, yang tak lain juga bentuk perjuangan untuk selalu taat pada perintah Allah. Dengan demikian harapan menjadi mabrur adalah sebuah hal yang pokok bukan serta merta melaksanakan ibadah hanya persoalan status sosial ataupun yang lainnya.
Seperti yang diungkapkan oleh KH. Agus Sunyoto bahwa gelar haji yang ada di Indonesia ini adalah sebuah produk kolonial yang dimanfaatkan oleh kolonialisme untuk mengawasi para pejuang bangsa ini. Pejuang dari umat Islam yang merupakan tokoh thariqoh, haji, ulama pesantren yang melakukan perlawanan terhadap kolonialisme. Sehingga pada masa itu terdapat peraturan yang dikeluarkan terkait penetapan gelar haji ini. Sampai akhirnya gelar haji yang ada saat ini merupakan sebuah kondisi yang unik yang hanya ada di Indonesia. Dibalik asal usul gelar haji yang ada semoga para jamaah haji yang telah melaksanakan maupun yang akan melaksanakan benar-benar menjadi haji yang mabrur dengan keikhlasan niat juga dalam pelaksanaannya.
Wallahu’alam.
Penulis: Abdul Muhaimin