Radikalisme adalah fenomena global. Ia melintasi sekat-sekat negara maupun agama. Sampai sekarang, semua negara masih menempatkan radikalisme-ekstrimisme sebagai musuh bersama. Begitu juga dengan tokoh agama, harus mereinterpretasi doktrin sebagai kontra-wacana terhadap kaum radikalis-ekstrimis yang menyalah-gunakan agama.
Ada dua hal yang membedakan gejala radikalisme pra dan pasca globalisasi. Pertama, di era pra-globalisasi, radikalisme mudah dideteksi dan diidentifikasi siapa aktor dan di mana lokusnya. Sebab, kelompok yang melakukan tindakan radikal-anarkis, adalah mereka yang tersisih dari kekuasaan, termarjinalisasi, atau mereka yang ingin memisahkan dari negara berdaulat (Yusuf Zaidan, 2009).
Sementara di era globalisasi, radikalisme itu bersifat acak dan global (Mark Juergensmeyer, 2000). Ia tidak mudah diidentifikasi baik itu aktor, lokus, maupun sebab-musababnya. Ia bisa saja dari kalangan berpendidikan, kelas ekonomi menengah ke atas, bahkan dari mereka yang mempunyai pahaman agama yang mendalam.
Kedua, radikalisme pra-globalisasi terjadi di daerah pinggir. Di zaman sekarang, ia sudah masuk ke pusat, bahkan tak jarang ke jantung pemerintahan. Karen Amstrong (2001) menyatakan, sejak revolusi Iran, wabah dan aktornya sudah masuk ke pusat kekuasaan, mereka tidak hanya bekerja di pinggiran saja. Ini bisa dibuktikan, bahwa banyak pejabat, pengambil kebijakan, pendidik dan Aparatur Sipil Nagara (ASN) yang terjangkit virus radikalisme.
Revitalisasi Kearifan Lokal.
Kedua tren radikalisme ini tentu memerlukan pendekatan yang berbeda. Masalah yang unik harus didekati dengan pendekatan yang unik pula. Dalam konteks inilah, kearifan lokal, sebagai bagian dari warisan leluhur yang sangat berharga memperolah signifikansinya dan bisa menjadi modal untuk mendektsi, mencegah, bahkan melawan virus radikalisme.
Revitalisasi kearifan lokal merupakan strategi untuk menghidupkan kembali tradisi dan falsafah hidup yang sudah lama bersemayam di tengah masyarakat. Gerakan revitalisasi ini bisa dilakukan dengan memaksimalkan peran tokoh adat dan tokoh agama. Pelibatan tokoh masyarakat dan tokoh agama di tingkat lokal bisa mencegah – setidaknya memiminalisir – virus dan akses-akses radikalisme. Selama ini, kerja-kerja pencegahan lebih banyak bersifat sentralistik, dengan tak-tik dan prosedur yang ketat. Di tingkat lokal, peran tokoh adat dan tokoh agama ternyata sangat fungsional.
Peran strategis tokoh adat dan agama ini bisa dilihat dari semboyan adat bersandi syara, di mana keduanya adalah ibarat dua sisi koin mata uang, tak bisa dipisahkan. Masalah-masalah yang dihadapai masyarakat –kalau tidak mangatakan seluruhnya –terlebih dahulu diselesaikan dengan kerja-kerja kekeluargaan yang bersifat lokal nan arif, sebelum masuk ke institusi formal. Peran strategis ini, bisa dimaksimalkan untuk mengampanyekan nilai-nilai kedamaian, harmoni dan toleransi.
Selaian itu, memaksimalkan fungsi lembaga-lembaga masyarakat, menghidupkan ritual yang bersifat lokal merupakan hal yang sangat ampuh dalam melawan radikalisme. Lembaga masyarakat baik berbentuk artefak seperti rumah adat, ruang-ruang kumpul, maupun bersifat non-fisik, seperti ikatan kesukuan, marga, dan sistem kekeluargaan memiliki fungsi dalam menangkal radikalisme.
Ikatan marga umpanya yang ada di suku Batak, Sumatera Utara sangat strategis dalam meminimalisir konfilik. Bagi sistem kesukuan, marga itu adalah ikatan saudara. Jika marga A berjumpa dengan marga B umpanya, C dengan D mereka sudah menganggap itu adalah saudara kandung. Bahkan bagi sebagian orang, ikatan marga jauh lebih tinggi dari pada ikatan agama. Kita boleh beda agama, asal kita satu marga, kita adalah saudara. Akibatnya konflik dan perselisihan bisa di-manage.
Hal yang sama juga terjadi di pulau Jawa. Adanya tradisi ziarah kubur ke makam-makam yang dianggap suci, ternyata bisa meminimalisir konflik-konflik yang ada di masyarakat. Perbedaan-perbedaan yang beragam, setelah masuk dalam lingkungan makam suci untuk ziarah itu bisa membaur dan melebur antar sesama.
Sejauh ini, peran strategis kearifan lokal sudah banyak diekspos media. Tradisi saling membersihkan tempat rumah ibadah di salah satu daerah di Maluku misalnya; ketika Idul fitri, kaum Kristen yang membersihkan mesjid, sebaliknya, ketika tiba Natalan, giliran kaum muslim yang membersihkan. Dialog, saling sapa dan saling asah itu perlu dimaksimalakan untuk menumpas virus radikalisme.
Penulis: Hamka Husein Hasibuan. (Alumni Sekolah Kebudayaan dan Kemanusiaan Ahmad Syafii Maarif; Mahasiswa Kajian Mqasid dan Analisis Strategik, Interdiciplinary Islamic Studies, Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.