Fenomena sosial politik akhir ini mengakibatkan masyarakat terfragmentasi menjadi berbagai bagian. Bagian yg paling tampak adalah gap politik, kubu satu, dua dan golput. Di sisi lain, yang lebih mengkhawatirkan adalah terfragmentasinya kubu keagamaan; islam moderat, islam fundamental, islam radikal.
Perkubuan itu secara tidak langsung merusak kebangsaan kita. Di mana muslim yang memilih capres 01 selalu disebut dengan islam moderat, sebaliknya yang memilih capres 02 selalu disebut sebagai islam fundamental. Identifikasi paradigma keagamaan berdasarkan pilihan poltik inilah yang membikin suasana semakin runyam.
Agama seakan menjadi racun bagi pemeluknya. Padahal tidak semua muslim yang memilih 01 jelas pandangan moderatnya. Begitu pula muslim yang memilih 02, belum tentu dia bagian dari muslim fundamental.
Politik memang abu-abu, mengkaburkan segalanya. Dalam berpolitik memang perlu kehati-hatian. Sehingga kita bisa memilih pemimpin yang dapat dipercaya dan bertanggung jawab.
Setelah 17 April lalu kita bersama menyampaikan aspirasi kita memilih calon pemimpin. Sudah saatnya kini kita sebagai bangsa mulai berbenah. Apalagi, di bulan Mei ini bulan penuh keberkahan hadir mengiringi kita, yakni bulan Ramadhan.
Ramadhan adalah saat yang tepat kita menjalin kembali ukhuwah wathaniyah kita. Membangun persaudaraan berbangsa dan setanah air. Kita perlu menyadari bahwa politik elektoral hanyalah agenda lima tahunan. Akan tetapi, menjaga dan merawat kebangsaan adalah tugas kita sehari-hari.
Bagaimana rekonsiliasi pasca pemilu ini bisa kita lakukan?
Pertama, membuang sensitifitas keberpihakan kepada pilihan politik. Kita tidak perlu lagi sensi kepada orang lain yang beda pilihan politik. Perbedaan pilihan politik adalah bagian dari demokrasi.
Kedua, saling memaafkan. Dalam gelaran politik yang memanas bulan lalu, kita tidak tahu siapa menyakiti siapa, siapa menghina siapa. Oleh karena itu, saling memaafkan adalah bagian penting untuk memulai rekonsiliasi.
Ketiga, lapang dada. Setiap warga harus legowo siapa pemimpin yang terpilih. Karena itulah hasil dari demokrasi yang dibuat. Kalah menang adalah hal yang lumrah dan wajar.
Keempat, menahan amarah. Poin terakhir ini sangat penting untuk diperhatikan, di mana orang yang pemarah selalu dikelabuhi sifat tercela lainnya. Menahan amarah atau tidak menjadi pemarah adalah bagian penting dari rekonsiliasi.
Bagaimana tidak, seusai perang badar yang terjadi di bulan Ramadhan pula, kaum muslimin yang hanya 314 orang melawan kafir quraisy 1000 orang itu, umat muslim memenangkan perang. Kemudian nabi Muhammad Saw. berkata, kita sudah kembali dari jihad asghar dan akan menghadapi jihad akbar.
Sahabat pun bertanya tanya, bukankan yang telah kita hadapi (perang badar) adalah perang yang besar. Perang besar seperti apalagi? Salah sahabat bertanya, jihad akbar seperti apa yang akan kita hadapi ya Rasulallah? Rasul pun menjawab, “jihadun nafsi, jihad melawan hawa nafsu.”
Dari situlah melawan hawa nafsu agar tidak menjadi pemarah, pembohong dan pendusta adalah jihad yang agung. Di bulan Ramadhan ini sangatlah mungkin rekonsiliasi terbesar bangsa ini adalah saling rumongso, saling merasa- saling merasa bahwa dirinya diselimuti nafsu- dan hawa nafsu itu perlu dikendalikan.
Oleh karena itu, rekonsiliasi yang penuh berkah ini bisa kita wujudkan dalam kehidupan sehari-hari, dengan tidak lagi mengolok-olok cebong, kampret, kafir, toghut dan sebagainya. Selain itu, kita juga perlu menahan nafsu untuk tidak membagikan kabar bohong, SARA dan fitnah di dunia maya. Keberkahan akan tercipta jika hati kita di selimuti kebesaran hati untuk memaafkan, berlapang dada dan mengendalikan amarah.
Penulis: Al Muiz Liddinillah