Paruh pertama Ramadhan hampir sepenuhnya kita lalui, sudahkah kita berbenah? Sudahkah kita memperbaiki diri menjadi pribadi yang lebih baik dibulan suci? Satu bulan terasa sangat singkat, apalagi jika kemudian kita hanya melalui Ramadhan layaknya bulan-bulan biasa. Menjadi bulan yang spesial, Ramadhan mendapat julukan Syahrul Jihad. Istilah ini berangkat dari sejarah jihad para pendahulu yang terjadi pada bulan Ramadhan, seperti Perang Badar. Selain itu juga Proklamasi Indonesia juga berlangsung pada bulan Ramadhan, itulah kenapa kemudian Ramadhan mendapatkan istilah Syahrul Jihad. Lantas apakah masih relevan jika kemudian kita hanya memaknai jihad dengan makna sempit perang dan perebutan kekuasaan?
Ramadhan menjadi ajang jihad yang sesungguhnya. Rasulullah SAW, bersabda bahwasanya jihad yang paling berat bukanlah melawan musuh di medan perang melainkan melawan nafsu kita sendiri. Salah satu hal yang sulit untuk dibendung adalah dorongan nafsu untuk membicarakan keburukan orang lain, menggunjing, ujaran kebencian atau lebih akrab dikenal dengan hate speech.
Dewasa ini, hate speech masih saja menjadi konsumsi yang tak asing setiap harinya. Tanpa terkecuali di Ramadhan kali ini, ditambah rona-rona pasca pemilu yang masih semerbak, menjadi sebab kian marak ujaran kebencian bertebaran dimasyarakat. Menjadi sebuah ironi ketika kita semua membual tengah berpuasa diberbagai media dan saat bertemu tetangga, namun lisan kita tak pernah berhenti menggunjing sesama manusianya sendiri.
Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Hujuraat ayat 12 yang artinya “….Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya…..” Ayat ini menegaskan bahwa membicarakan keburukan dan menggunjing rang lain adalah perbuatan dosa, yang diibaratkan dengan sama saja kita memakan daging saudara kita sendiri yang telah meninggal. Tak terkecuali hate speech yang dalam konteksnya memilki makna sama.
Berbenah memperbaiki diri dibulan suci dapat dimulai dengan melaksanakan puasa dengan sebenar-benarnya berpuasa, salah satunya adalah dengan puasa hate speech, untuk menekan timbulnya perselisihan guna terciptanya perdamaian dimasyarakat. Banyak hal dapat kita lakukan untuk mengurangi hate speech, khususnya antar umat beragama karena hal ini juga marak terjadi.
Mengapa kemudian dikaitkan dengan keber-agama-an? Hal ini juga bertujuan untuk menghadapi ambivalensitas agama. Dimana, Agama sering tampil dalam dua wajah yang saling bertentangan. Dari satu sisi, agama merupakan tempat dimana orang menemukan kedamian, namun di sisi lain agama seringkali dikaitkan dengan fenomena kekerasan. Hal ini yang kemudian juga memicu hate speech antar umat beragama, harus segera ditanggkal dan ditekan perkembangannya di Indonesia agar tercipta bangsa yang damai dan harmonis.
Salah satu yang dapat dilakukan untuk menangkal berkembangnya hate speech adalah melalui media sosial. Perkembangan media sosial yang tidak dapat dibendung dan terus berproses pada kemajuan, menjadi peluang positif untuk mengajak masyarakat luas agar tidak terpengaruh pada gerakan-gerakan yang saling memusuhi antar umat bergama. Melalui media sosial kita dapat mengimbangi dengan membuat konten yang menebarkan ujaran damai bagi semua kalangan, bukan lagi ujaran kebencian.
Berpuasa dari hate speech adalah bentuk jihad yang memiliki dampak sangat besar bagi kebelangsungan interaksi sosial dimasyarakat. Terlebih dibulan Ramadhan, yang sudah seharusnya kita isi dengan beribadah bertaqarrub kepada Allah SWT. Berbuat baik kepada siapa saja, dan mengurangi hal-hal yang memiliki kemudharatan bagi diri sendiri dan orang lain salah satunya dengan menghindari hate speech. Menjadikan Ramadhan layaknya rahim ibu, hingga nantinya kita kembali terahir fitri layaknya seorang bayi.
Penulis: Nuril Qomariyah