Dokter Sutomo pada tahun 1930-an menyatakan bahwa, Pesantrenlah yang menjadi sumber pengetahuan, menjadi mata air ilmu, bagi bangsa kita (Islam Nusantara) seutuhnya. Sebagai sumber totalitas pesantren memiliki beberapa karakter seperti memberikan pengetahuan pada murid-muridnya, pendidikan yang bersemangat kebangsaan dan cinta kasih pada nusa dan bangsa serta dunia, dan juga mendidikan kekuatan batin serta kecerdasan roh diperhatikan agar pengetahuan yang diterima dapat dimanfaatkan untuk keperluan dan kemashlahatan bersama.
Pesantren menurut Ki Hajar Dewantara merupakan tempat pengajaran yang sekaligus pendidikan. Hal ini karena santri-santri yang berada di pesantren diharuskan tinggal dan menetap di pesantren yang merupakan rumah Kiai. Pengajaran didapatkan langsung dari Kiai, sedangkan pendidikan juga tak luput dari aktivitas sehari-hari santri yang berinteraksi dengan guru ataupun ustad yang ada di pesantren dan juga santri-santri lain. Yang kemudian dari rahim pesantren lahir identitas kita sebagai Islam Nusantara. Inilah yang menjadi dasar bahwa pesantren juga merupakan sumber pendidikan bagi bangsa. Sehingga perlu adanya lembaga pendidikan kepesantrenan yang keberadaannya sangat diperlukan bagi bangsa kita.
Beberapa pekan lalu Undang-Undang Kepesantrenan disahkan, hal ini menunjukkan adanya pengakuan terhadap keberadaan pesantren sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional. Dimana posisi pesantren di sini sebagai identitas kebangsaan yang menjadi roh pendidikan nasional. Pada mulanya lembaga pendidikan kita mengalami dualisme antara Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Nasional dengan Departemen Agama. Dua lembaga ini merupakan induk dari lembaga-lembaga pendidikan yang ada di Indonesia. Diantara keduanya memiliki perbedaan sistem yang sangat kentara. Dan pesantren menjadi subordinat dari sistem besar pendidikan nasional. Sistem kelembagaan ini berlaku pada awal kemerdekaan hingga sekitar tahun 1972.
Namun, kini dualisme lembaga pendidikan ini telah berhasil dihilangkan. Dengan munculnya lembaga pendidikan pesantren yang terstruktural. Dimana jenjang pendidikannya dimulai dari tingkat TPQ (Setara dengan TK/RA), Ula (Setara dengan SD/MI), Ustha (Setara dengan SMP/MTs), Ulya (Setara dengan SMA/MA), dan Ma’had Aly (Setara dengan Universitas). Lembaga pendidikan pesantren dari tingkat TPQ hingga Ulya merupakan pengklasifikasian dari Madrasah Diniah (Madin). Madin ini memiliki kurikulum sendiri yang berada diluar campur tangan pemerintah dalam hal ini Diknas ataupun Depag.
Dengan hadirnya lembaga pendidikan pesantren ini para santri lebih tersistem dalam pendidikannya baik non-formal maupun formal. Selain itu para santri diharapkan mampu membaca kitab kuning yang telah diajarakan secara turun-temurun oleh ulama-ulama salaf terdahulu. Standar minimal pencapaian ini adalah santri lulusan Ulya. Santri yang telah mampu membaca dan memahami kitab kuning, akan menambah pemahaman tentang Agama Islam secara utuh sesuai dengan yang diajarkan salafussholih (Ulama Salaf) yang sangat kental dengan ajaran Rasulullah SAW.
Lembaga pendidikan pesantren merupakan lembaga pendidikan yang unik, tiga hal yang akan diterima oleh setiap santri yang berada di pesantren, dan akan sulit mendapatkan ketiganya sekaligus di lembaga pendidikan lainnya yakni: 1.Ta’lim (Pengajaran); 2.Tarbiyah (Pendidikan-pembentukan kepribadian); dan 3.Ta’dib (Pengenalan Adab-pembentukan akhlak). Ketiganya merupakan komponen yang dikemas secara komplit dalam lembaga pendidikan pesantren dengan harapan output berupa santri yang berilmu siap mengabdi bagi agama dan bangsa serta memiliki keagungan akhlak sesuai dengan akhlak yang diajarakan oleh Rasulullah SAW.
Undang Undang Kepesantrenan untuk Bangsa
Marwah pesantren sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran menjadi elemen penting di tengah gencarnya isu-isu transnasional dan radikalisme yang muncul didunia pendidikan Indonesia. Dengan adanya pesantren yang mengusung islam moderat mampu menjadi bagian netral yang juga menggiring pada kebaikan. Sehingga dapat menekan munculnya generasi muda bangsa yang terpapar isu-isu radikal.
Berdasarkan Undang-Undang Kepesantrenan pada bagian Bab II Asas, Tujuan, dan Ruang Lingkup menggambarkan secara mendasar bagaimana pesantren dapat menjadi lembaga moderat bagi bangsa dan agama. Pada Bab II Pasal 2, dijelaskan terkait asas yang melandasi penyelenggaraan suatu pesantren, yaitu: Ketuhanan Yang Maha Esa, kebangsaan, kemandirian, keberdayaan, kemaslahatan, multikultural, profesionalitas, akuntabilitas, keberlanjutan, dan kepastian hukum.
Asas-asas di atas merupakan bagian yang menjadi landasan pesantren yang sudah diatur dalam undang-undang. Jadi mau tidak mau kegiatan-kegiatan yang berlangsung di pesantren mengutamakan 10 asas tersebut. Secara garis besar asas-asas tersebut menggambarkan bagaimana pesantren menjadi bagian yang tidak hanya mengedepankan pendidikan agama. Akan tetapi juga bagaiman kemudian melalui pesantren berkembang pendidikan yang membentuk rasa nasionalisme yang tinggi pada setiap santrinya.
Pasal selanjutnya menjelaskan terkait tujuan diselenggarakannya pesantren dimana penekanannnya pada poin b yakni: Membentuk pemahaman agama dan keberagamaan yang moderat dan cinta tanah air, serta membentuk perilaku yang mendorong terciptanya kerukunan hidup beragama. Dari bagian ini sudah sangat jelas bahwa keberadaan pesantren selain sebagai identitas kebangsaan dan laboratorium Islam Nusantara juga menjadi wadah pemersatu bangsa dan agama, karena ajarannya yang moderat.
Wallahu ‘Allam
Penulis: Nuril Qomariyah.