Oleh: Musyarafah
Radikalisme tidak hanya memiliki makna tunggal, namun sangat bergantung pada sudut pandang dalam melihatnya. Radikalisme dapat dipandang dari segi agama, sosial, ataupun konflik. Serangkaian kekerasan berlatarbelakang ekstrimisme radikal telah terjadi di banyak negara seperti, perang yang saat ini memenuhi pemberitaan media. Tak terkecuali konflik di Indonesia seperti, bom bunuh diri, penembakan, dan perusakan fasilitas umum yang mengganggu keamanan publik dan aktivitas.
Fenomena ini dibayang-bayangi oleh ketakutan dan rasa tidak aman yang mengancam kehidupan masyarakat termasuk perempuan. Keterlibatan perempuan dalam radikalisme dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Hal ini tercatat dalam data Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang menunjukkan hingga tahun 2019 tercatat 15 orang perempuan yang terlibat dalam kasus terorisme. Sesungguhnya apa yang menjadi alasan sehingga perempuan juga menjadi kelompok yang rentan terhadap isu radikalisme?
Keterlibatan perempuan dalam aksi radikalisme hingga terorisme yang menempatkan perempuan sebagai pengikut yang patuh dan setia terhadap ajaran agama yang konservatif memosisikan perempuan sebagai korban sekaligus pelaku tindak radikalisme. Masih ingat dengan kejadian bom bunuh diri pada tahun 2016 yang pelakunya merupakan perempuan bernama Dian Yulia Nova? Juga Ika Puspita Sari di Purworejo yang melakukan aksinya di luar Jawa yang mereka merupakan termasuk dalam jaringan teroris MIT.
Entah itu sebagai korban ataupun pelaku, dampak negatif dari tindakan teror sangat nyata, perempuan menjadi pihak yang sangat dirugikan. Menjadi seorang istri dari pelaku pengeboman misalnya, setelah ditangkap atau tewas, perempuan menjadi pihak yang mengemban tanggungjawab sendiri atas keberlangsungan hidup keluarga, baik secara sosial maupun ekonomi. Selanjutnya perempuan akan menerima stigma buruk dari masyarakat sebagi istri teroris dan akan mencari nafkah sendiri untuk menghidupi diri dan keluarga.
Keberadaan perempuan dalam hal radikalisme dapat dipandang dari sisi subjek dan objek. Meski sesungguhnya setiap orang dapat saja dianggap rentan untuk menerima paham radikalisme sekaligus menjadi korban dari paham tersebut seperti yang terjadi di Nigeria, Suriah, Irak, Lebanon, Pakistan, dan Afganistan. Bukan lagi hanya menjadi supporting system aksi teror bagi laki-laki, tetapi juga akhirnya menjadi eksekutor seperti laki-laki. Seorang perempuan Rusia bernama Vera Zasulich melakukan aksi teror dengan membunuh Gubernur St. Petersburg, Trepov dan dengan bangga Vera mengatakan bahwa dirinya adalah seorang teroris. Sungguh miris.
Peran perempuan memiliki sumbangsih besar dalam isu radikalisme. Oleh karenanya, melibatkan perempuan dalam penanganan radikalisme pula tidak kalah penting. Bukankah sesungguhnya gerakan yang diprakarsai perempuan sudah ada dan berkembang sejak zaman kolonial? Perempuan dapat menjadi aktor vokal di tengah telanggang politik sekaligus memerankan peran ibu dan menjadi istri yang baik. Penelitian bahkan membahas keterlibatan perempuan dalam isu radikalisme, begitu pula dengan peran perempuan dalam deradikalisasi, misalnya, gerakan perempuan pelopor perdamaian yang dibentuk oleh BNPT dengan tujuan menangkal radikalisme dimulai dari skala kecil dalam lingkup keluarga.
Perempuan diproyeksikan menjadi pelopor perdamaian dan berupaya menangkal segala potensi sebagai peran sentral dalam keluarga agar dapat menjauhkan diri dan keluarga dari perilaku radikal. Kesadaran akan isu radikalisme merupakan kesadaran akan kemanusiaan. Ikutnya perempuan dalam deradikalisasi karena hubungannya dengan posisi perempuan sebagai guru alami bagi keluarga dan anak-anak dengan memerankan aksi vital yang memengaruhi kebijakan dibuat. Seorang Ibu dalam keluarga mentransformasikan pengetahuannya kepada anak sebagi langkah dari pendidikan karakter dalam lingkup non-formal keluarga, misalnya. Perempuan dalam deradikalisasi di Indonesia dengan keterlibatannya melalui organisasi perempuan seperti Fatayat NU dan Aisiyah melalui paham feminisme kultural. Upaya untuk mengentaskan seseorang dari paham radikalisme meliputi identifikasi, rehabilitasi, reduksi dan monitoring dan evaluasi. Langkah tersebut dianggap mampu menjadi kiat menangani para oknum yang pernah terlibat dalam paham radikalisme. Perempuan memiliki potensi untuk lebih persuasif dalam mendukung dan menjalankan strategi deradikalisasi. Perempuan dalam masyarakat menjadi agen yang dapat memberikan edukasi pada diri sendiri, keluarga utamanya pada anak-anak, dan orang lain tentang bagaimana beragama yang moderat, memahami konsep keberagaman untuk menjaga harmoni dan kerukunan bergama, berbangsa dan bernegara.