“Al-Ummu madrasatul ula, iza a’dadtaha a’dadta sya’ban thayyibal a’raq”. Diungkapkan oleh penyair ternama Hafiz Ibrahim yang artinya, Ibu adalah madrasah (Sekolah) pertama bagi anaknya. Jika engkau persiapkan ia dengan baik, maka sama halnya engkau persiapkan bangsa yang baik pokok pangkalnya. Dari syair ini dapat kita tagkap bahwa perempuan yang nantinya akan menjadi ibu akan menjadi sekolah pertama pada setiap generasi baru yang lahir. Yang nantinya mereka akan menjadi pemimpin bagi bangsa.
Peran penting perempuan sebagai madrasatul ula menjadi hal yang harus dioptimalkan dalam membentuk generasi bangsa yang baik. Salah satunya adalah membentuk generasi yang cinta damai. Menginternalisasikan nilai-nilai toleran dan damai sejak dini merupakan sebuah upaya sederhana namun memiliki dampak yang besar kedepannya. Karena dengan habits yang dibentuk dalam keluarga akan menjadikan anak berjiwa toleran dan cinta damai sejak dini.
Tidak dapat dipungkiri, generasi saat ini dengan mudahnya terpapar hal-hal negatif yang bertebaran di dunia maya. Mulai dari radikalisme, terorisme, hingga rasisme yang dapat membentuk pola fikir yang intoleran antar sesama. ironis memang ketika kemudian anak-anak usia dini yang dengan mudah mengakses konten-konten tersebut. Disinilah peran perempuan sebagai madrasatul ula sangat diperlukan sebagai upaya preventif munculnya generasi yang intoleran yang dapat mengancam kesatuan bangsa.
Mengupayakan generasi yang cinta damai sejak dini, tidak menjadi hal yang mudah. Perlu ada beberapa tindakan yang dibiasakan agar anak dengan alamiah memiliki kesadaran dari dalam diri mereka sendiri sejak dini. Bahwa menjadi pribadi baik dan membahagiakan adalah kunci utama merealisasikan kehidupan bermasyarakat yang damai. Sehingga jika telah tertanam dengan sendirinya, hal tersebut akan melekat dan mejadi identitas mereka sendiri.
Perempuan Pribadi yang Mendamaikan
Perempuan menjadi sosok yang memiliki peran identik dengan kelembutan dan sifat-sifat halus yang melekat pada kepribadiannya (feminin). Dari ini kemudian mengapa perempuan dapat menjadi madrasah pertama bagi anak-anaknya. Karena secara kebiasaan di masyarakat perempuanlah nantinya yang akan merawat dan mendidik anak-anaknya. Sifat keibuan menjadi kunci utama kenapa kemudian perempuan dapat mendidik dengan mudah dan melekat pada anak-anaknya.
Begitu istimewanya perempuan, hingga maju dan hancurnya suatu bangsa bergantung pada kondisi moral perempuannya. Mengapa demikian? Tidak lain karena memang perempuan yang menjadi tonggak generasi penerus bangsa selanjutnya. Bagaimana nantinya generasi muda saat ini memimpin bangsa secara umum berlatar belakang dari seperti apa keluarga mendidiknya, lebih khusus perempuan yang menjadi ibunya.
Proses pendekatan perempuan yang cenderung menggunakan perasaan justru menjadi sangat ampuh untuk mendidik hal positif sejak dini. Karena dengan seperti itu anak akan merasa diperhatikan dan mudah memahami serta menerima apa yang diajarkan kepadanya. Seorang ibu cenderung menjadi rumah yang mendengarkan setiap cerita dari anak-anaknya. Dari sini kemudian memaksimalkan internalisasi nilai-nilai damai dan positif bagi anak dapat di mulai dengan mudah.
Internalisasi Literasi Damai pada Anak
Proses internalisasi literasi damai kepada anak dapat dilakukan seorang perempuan dalam mengoptimalkan peran sebagai ibu dalam keluarga, beberapa hal tersebut sebagai berikut:
Pola fikir positif dan cinta damai, hal paling penting dan utama yang perlu dilakukan adalah penanaman pola fikir positif pada anak. Ketika dia sudah memiliki pemikiran yang cenderung intoleran maka perlu adanya upaya untuk merubah mindset tersebut. Hal ini perlu dilakukan sejak dini agar kedepannya pemikiran mereka tidak mudah terpengaruh hal negatif dari lingkungan. Sehingga penanaman pola fikir positif dan cinta damai ini menjadi upaya preventif dasar yang perlu dilakukan.
Komunikasi dan keterbukaan, kebiasaan yang harus dijalin secara intens oleh seorang ibu dengan anaknya. Hal ini perlu dilakukan agar kita dapat memahami bagaimana pola fikir mereka kemudian terbentuk. Komunikasi ini perlu dilakukan dengan baik ketika anak sudah mulai memiliki ruang interaksi lebih luas dari keluarga. Keterbukaan dan komunikasi menjadi modal utama untuk menangkal anak-anak sejak dini dari paparan budaya intoleran yang mungkin mereka peroleh di lingkungan.
Mengurangi waktu penggunaan gawai, perkembangan teknologi yang tak bisa dihindari menuntut orang tua, terlebih seorang ibu dapat mengatur intensitas dari anak-anak mereka dalam menggunakan gawai. Disadari atau tidak konten-konten rasisme dan anti damai bertebaran tanpa filter di dunia maya, yang dapat dengan mudah diakses oleh anak-anak tanpa mengerti konten tersebut baik atau tidak. Sehingga dengan mengurangi waktu penggunaan gawai dapat menekan kemungkinan mereka terpapar informasi yang negatif dari dumay.
Membudayakan membaca, upaya literasi yang sudah menjadi budaya klasik namun masih tidak menjadi budaya asik bagi generasi muda bangsa. Anak-anak saat ini cenderung menyukai game dibandigkan membaca buku. Sehingga seorang ibu dapat membudayakan membaca sejak anak usia dini. Dengan menyediakan buku-buku bacaan anak yang kaya akan pesan moral. Dari ini juga liteasi damai dalam keluaraga akan mudah terbentuk. Membudayakan budaya membaca yang literat dengan konten-konten bacaan yang mendidik pada hal positif tentunya.
Perempuan menjadi madrasatul ula bagi anak-anaknya juga perlu membentuk dirinya menjadi pribadi yang memiliki pola fikir yang positif dan transformatif sejak awal. Perempuan harus bisa menjadi pribadi yang dapat bertoleransi setidaknya dengan dirinya sendiri terlebih dahulu. Menjadi perempuan yang berdikari dan merdeka dari tirani juga diperlukan agar dia tidak terkungkung budaya yang terkadang mendiskriditkan perempuan, sehingga ia tidak dapat maksimal dalam mendidik anak-anaknya. Perempuan juga perlu memiliki pendidikan tinggi agar nanti ilmu yang dimiliki dapat menjadi bekal berharga untuk mendidik anak-anaknya.
Wallahu ‘Allam
Penulis: Nuril Qomariyah