Semua umat Muslim di dunia mengalami dua perasaan sekaligus, bahagia merayakan hari raya iduladha dan bersedih tidak bisa merayakan seperti dalam kondisi normal. Masa PPKM Darurat membuat pemerintah menganjurkan untuk beribadah di rumah, masyarakat harus menerima demi kebaikan bersama.
Belajar dari kisah Nabi Ibrahim yang merelakan Nabi Ismail untuk dikorbankan. Nabi Ibarahim menyampaikan wahyu dari Allah melalui mimpi kepada Nabi Ismail, seketika itu juga Nabi Ismail menerima karena sebagai bentuk bakti dan ketakwaannya kepada Allah Swt.
Kemudian nabi Ibarahim mendapatkan wahyu kembali untuk mengganti Nabi Ismail dengan hewan ternak untuk di kurbankan. Awal mula terjadinya hari raya iduladha yang ditandai dengan adanya hewan kurban, kambing, sapi, dan Unta. Kisah ini mengajarkan adanya egoisme yang harus dibuang demi menjalankan bentuk ketakwaan kepada Allah Swt.
Di dalam kondisi pandemi, membuang ego demi kemasalahatan bersama lebih diutamakan dari pada mencelakakan pribadi dan orang lain. Meskipun keduanya berada dlam koridor kebaikan, tetapi jika dijalankan kita harus mempertimbangkan kemaslahatan dan kemudhorotan mana yang lebih besar.
Kaidah usul fiqih menjalaskan la dhirara wala dhirar (Tidak boleh melakukan perbuatan yang berbahaya dan membahayakan). Mendatangkan manfaat kepada manusia dan menghindarkan semua dari perbuatan mudharat.
Sejalan dengan konteks sekarang, menjalankan perayaan iduladha secara berkerumun berpotensi penyebaran virus korona dan bisa membahayakan semua orang. Ada cara terbaik yang sudah dikeluarkan pemerintahan sebagai bentuk pencegahan dengan tetap beribadah di rumah masing-masing.
Agama hadir untuk memberikan keselamatan manusia baik di dunia maupun diakhirat, tidak terkecuali dengan kondisi pandemi dianjurkan untuk melakukan aktivitas dan beribadah di rumah sebagaii bentuk ikhtiar memperbaiki kerusakan.
Semua orang merindukan berkumpul dan bersukacita melantunkan takbir, ada pengorbanan yang harus dilakukan untuk menata hidup yang lebih baik. Di rumah dan tidak berkeliaran sebuah puncak pengorbanan tertinggi untuk mengatasi pandemi. Bukan memuaskan hasrat pribadi semena-mena tidak mempedulikan orang di sekitar kita.
Berdiam diri di rumah sudah menjadi kebaikan dan pahala bagi yang melakukan, turut mencegah penyebaran virus korona semakin menyabar. Keadaan baru di tambah spirit kisah Nabi Ibrahim belajar bagaimana cara kita untuk mengikhlaskan dan mensyukuri atas apa yang telah diberikan oleh Allah Swt.
Berpikir lebih bijak dan humanis untuk menyikapi segala kondisi, khususnya pandemi covid-19. Tidak semua permasalahan harus diselesaikan dengan kegoisan pribadi dan kemarahan, ada cara-cara yang lebih lembut untuk menyelesaikan permasalahan terjadi. Sebab semua orang mempunyai kepentingan masing-masing untuk mencapai tujuan, sehingga bagaimana cara untuk mencapai tujuan tersebut dengan tidak membuat orang lain dirugikan atas proses tujuan yang ingin dicapai.
Melaksanakan tujuan baik harus melalui proses yang baik pula. Bukankah kita sebagai manusia ingin bermanfaat bagi sesama?
Melalui ikhtiar menjaga diri dengan menjalankan protokol kesehatan ketat dalam setiap aktivitas yang dijalankan. Menimbang baik buruknya kegiatan yang akan dilakukan ke depan, seperti pepatah bahasa arab Fakkir qobla an ta’zima (Berfikirlah sebelum bertindak).
Hari raya kurban dan kondisi pandemi mengajarkan bagaimana cara kita untuk ikhlas melapas keadaan yang memang tidak memungkinkan dicapai. Seperti halnya mengikhlaskan kepergian kambing, sapi, unta sebagai bentuk kurban, sedangkan mengorbankan perasaan tidak bertemu keluarga dan pasangan karena kondisi pandemi.
Cara mengikhlaskan berbeda-beda tetapi hakikatnya sama, melepaskan sesuatu yang ada di dalam diri kita. Ibarat tentang rindu harus dibayar tuntas melalui bertemu. Bukan jarak yang mengalangi kita, melainkan pendemi dan kebijakan pemerintah yang mengharuskan tetap di rumah.
Menghadapi pandemi dengan spirit juang yang baru melalui refleksi hari raya iduladha. Menahan gejolak ego dalam diri demi melindungi orang lain. Menjalani perayaan kurban tahun ini melebihi korban perasaan. Merelakan moment penting dalam menunjukkan keseriusan menata masa depan yang cerah.
Penulis : Akbar Trio Mashuri (Duta Damai jawa Timur)