Pada masa pandemi Covid-19 saat ini banyak berita hoax yang beredar, terutama mengenai polemik Covid-19 hingga kabar kepulangan Habib Rizieq (pemimpin Front Pembela Islam) yang membuat gempar masyarakat Indonesia. Berita hoax yang berkembang membuat masyarakat semakin bingung dan simpangsiur akan kebenaran yang sebenarnya. Penanganan berita hoax sejatinya sudah dilakukan oleh pihak yang berwenang seperti halnya lembaga pemerintah. Namun, jika individu atau masyarakat tetap menyebarkan dan tidak menyeleksi lebih lanjut maka sam saja rantai penyebaran berita hoax tidak terhentikan.
Pencerdasan seharusnya dilakukan pada unsur terdasar dari masyarakat yakni individu, melalui menyeleksi dan memverifikasi lebih lanjut mengenai kebenaran berita tersebut. Verifikasi bisa dilakukan dengan mencari fakta lain yang bersangkutan dengan berita tersebut. Seperti isu mengenai FPI sebagai organisasi pembela Islam yang diklaim memberantas kemaksiatan, jika kita verifikasi ulang apakah landasan dan gerakan yang dilakukan oleh FPI sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia, maka sebagai warga negara Indonesia yang baik sudah jelas tidak memercayai isu tersebut.
Jika ditelisik lebih lanjut, penyebaran berita hoax sama saja dengan pembohongan publik, salah satu sanksi hukum yang dikenakan adalah Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau Undang-Undang ITE (UU ITE) dengan tindak pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar. Lantas bagaimana cara menangani isu hoax, jika akar dari penyebaran tidak kunjung sadar?
Sebagai manusia kita memiliki kemampuan dualisme untuk menyeleksi hal yang bersifat baik dan buruk. Salah satunya melalui kemampuan local genius yakni menyaring nilai-nilai dan budaya yang masuk melalui penyesuaian dengan nilai dan budaya lokal masyarakat.. Tidak semua hal yang masuk bisa kita terima dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Seperti halnya Gus Dur dalam (Madjid & dkk, 2001) mengenai legitimitas negara terhadap pluralitas agama yang seharusnya dilihat secara historis, bagaimana negara itu terbentuk serta seperti apa pola budaya dan tokoh yang berperan, sebab suatu bangsa tidak mungkin membentuk tradisi baru yang terpisah dari akar sejarah bangsa tersebut.
Berdasarkan hal tersebut fakta sejarah dan budaya masyarakat yang berkembang menjadi tolak ukur dalam kebebasan beragama. Pluralitas di Indonesia tidak sama dengan situasi pluralitas pada negara lain, seperti hal nya Timur Tengah. Oleh karena itu situasi ini tidak bisa diperbandingkan, karena sudah menjadi ciri khas dan didasarkan pada kondisi masyarakat yang majemuk, sehingga dapat mewujudkan “Indonesia Damai”.
Logika dalam berpikir harus digunakan masyarakat dalam menentukan kebenaran secara publik, melalui rasa skeptis atau tidak mudah memercayai sesuatu tanpa ada bukti yang jelas. Langkah yang bisa kita ambil dalam menghentikan penyebaran berita hoax dengan isu yang meresahkan adalah tidak menyebarluaskan serta melaporkan konten atau berita pada pihak yang berwajib maupun pada fitur report yang tersedia di sosial media.
Sebagai warga negara yang baik sudah seharusnya kita berlaku bijak dalam menyebarkan berita baik pada sosial media maupun secara offline. Agar kita tidak mudah terprovokasi dengan berita atau isu-isu yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Masyarakat sebagai objek atau sasaran media memerlukan pencerdasan agar dapat menelaah berita atau isu yang berkembang di lingkungan sekitar. Kebenaran yang bersifat ilmiah menjadi landasan bagi seluruh lapisan masyarakat dalam menetapkan langkah atau tindakan kedepannya, terutama isu-isu sensitif yang berkaitan dengan organisasi keagamaan.
Penulis: Dewi Ariyanti Soffi (Duta Damai Jawa Timur)