Pancasila merupakan ideologi dan dasar negara yang menjadi
asas bangsa Indonesia. Deklarasi hubungan Islam dan Pancasila dalam pandangan
seorang tokoh nasional dari ulama tradisional sebut saja beliau Kiai Achmad
Siddiq bukan berarti menyejajarkan Islam sebagai agama dan Pancasila sebagai
ideologi. Karena hal itu dapat merendahkan Islam dengan ideologi atau isme-isme
tertentu. Problem ini seiring dengan isu yang berkembang di kalangan umat Islam
saat itu.
Mereka beranggapan bahwa menerima Pancasila sebagai asas tunggal berarti
mendepak atau melemparkan iman dan menerima asas tunggal Pancasila berarti
kafir, sedang kalau menerima keduanya berarti musyrik. Hal ini ditegaskan oleh
Kiai Achmad Siddiq sebagai cara berpikir yang keliru.
Dengan cara berpikir keliru tersebut, Kiai Achmad Siddiq menegaskan kepada
seluruh masyarakat bahwa Islam yang dicantumkan sebagai asas dasar itu adalah
Islam dalam arti ideologi, bukan Islam dalam arti-agama. Ini bukan berarti
menafikan Islam sebagai agama, tetapi mengontekstualisasikan Islam yang
berperan bukan hanya jalan hidup, tetapi juga sebuah ilmu pengetahuan dan
pemikiran yang tidak lekang seiring perubahan zaman.
Ideologi adalah ciptaan manusia. Orang Islam boleh berideologi apa saja asal
tidak bertentangan dengan Islam. Terkait Islam diartikan sebagai ideologi, Kiai
Achmad Siddiq memberikan contoh Pan-Islamismenya Jamaluddin Al-Afghani. Islam
ditempatkan oleh Al-Afghani sebagai ideologi untuk melawan ideologi-ideologi
lainnya. Karena saat itu dunia Timur sedang berada dalam penjajahan dan tidur
nyenyak dalam cengkeraman penjajahan artinya tidak tergerak untuk melawan
kolonialisme.
Maka tidak ada jalan lain menurut Jamaluddin Al-Afghani membangkitkan semangat
Islam secara emosional, yaitu dengan mencantumkan Islam sebagai asas gerakan
Pan-Islamisme. Sejak itu Islam mulai diintrodusir sebagai ideologi politik
untuk menentang penjajah.
Bukan seperti ulama-ulama di Indonesia yang menggunakan Islam sebagai spirit
menumbuhkan cinta tanah air dan nasionalisme. Spirit yang ditumbuhkan para kiai
untuk melawan penjajah tidak membawa Islam sebagai ideologi politik pergerakan,
melainkan aktualisasi Islam dalam wujud cinta tanah air untuk melakukan
perlawanan terhadap penjajah saat ini.
Pancasila, dengan demikian, merupakan manifestasi manusia Indonesia untuk
mengemban amanat sebagai khalifah untuk menjaga bangsa ini dari kerusakan dan
pertumpahan darah. Pancasila merupakan warisan bagi generasi muda untuk tetap
konsisten menjaga perdamaian. Menjaga Pancasila sebagai pedoman bagi bangsa
ini, bukan sekedar menjaga warisan para pendahulu namun itu adalah amanat
generasi millenial pelanjut bangsa.
Generasi millenial harus mampu merefleksikan diri bahwa mereka adalah para khalifah pelanjut bangsa Indonesia. Generasi millenial harus sadar bahwa hakikat manusia sebagai makhluk paling istimewa di antara makhluk lainnya lantaran dikaruniai akal budi dan perasaan hati, sehingga dari waktu ke waktu senantiasa mampu menciptakan kemajuan-kemajuan yang mencengangkan dalam berbagai bidang khususnya semenjak umat manusia mulai mengenal tulisan yang selanjutnya dikenal dengan nama zaman sejarah. Akal budi inilah yang membedakan antara hewan dan manusia, sebagaimana pernyataan para ahli mantiq atau logika yang merujuk pada tesisnya Aristoteles: “Al insaanu hayawanun naatiq”: manusia adalah hewan yang mampu berpikir.
Jika peran dan kesadaran Generasi millenial mengerti bahwa mereka adalah para khalifah Tuhan yang dapat menginternalisasi nilai pancasila. Maka apa yang mereka kerjakan dan lakukan berorientasi mengabdi, merawat dan mencintai bangsa Indonesia. Bila mentalitas itu sudah tercermin dari sikap. Maka tidak akan heran bila pengembangan bangsa ini akan bangkit menjadi bangsa yang kokoh, adil dan sejahtera. Wallhua’llam.
*Penulis: Ilmi Najib, Merupakan Penulis gubuktulis.com, penulis di gusdurian malang, penulis media malaysia (literasi hikmah)