Kebangsaan Indonesia mengalami kemunduran tatanan nilai dari beberapa fakta di akhir-akhir ini baik dalam kehidupan pribadi, kehidupan bermasyarakat, hingga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Fakta paling jelas adalah korupsi yang banyak dilakukan oleh pejabat institusi pemerintah maupun swasta. Terorisme, kerusuhan dan sengketa berlatarbelakang perbedaan suku, adat, ras, maupun agama, kekerasan dalam rumah tangga, kesenjangan ekonomi, ketidakmampuan golongan rendah untuk masuk jenjang sekolah dasar hingga perguruan tinggi, kriminalitas, diskriminasi perempuan, diskriminasi terhadap penyandang disabilitas, berani kepada guru, eksploitasi anak, maraknya peredaran narkoba remaja, hingga tawuran antar pelajar. Sebagai filter dari fenomena seperti ini maka nilai-nilai Pancasila sebagai tatanan nilai.
Terutama yang harus kita perhatikan pada kualitas pendidikan di era Millenial yang belum berjalan sesuai dicita citakan bersama. Masih banyak penyelewenagan baik yang dilakukan oleh Guru, peserta didik dan masyarakat.
Guru adalah sebagai ujung tombak pendidikan nasional memiliki peran strategis dalam rangka “mencerdaskan kehidupan bangsa”, sebagaimana terkandung dalam Pembukaan UUD 1945. Artinya siapapun gurunya, apapun mata pelajaran dan jenjang sekolah tempat mengajar, semestinya paham, bahwa mereka adalah insan pedagogis yang sedang melakukan aktivitas kebangsaan, berlomba-lomba mencapai tujuan bernegara dan stabilitas kondusif negara.
Tapi kenyataannya terbalik, banyak oknum guru yang justru mengajarkan kepada siswa untuk memusuhi negara ini dengan segala konsensus dan simbol-simbol kebangsaannya. Mengatakan bahwa Pancasila adalah thogut, UUD 1945 (dan segala perangkat hukum di bawahnya) adalah buatan manusia sehingga tak wajib dipatuhi, hormat kepada bendera merah putih adalah haram atau bid’ah bahkan ada oknum guru yang terlibat aktif menjadi anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Peran atau fungsi sekolah yang memiliki fitrah membimbing, mengarahkan siswa, tempat bermain dan belajar anak anak sekarang sudah berubah atau bergeser menjadi lembaga yang menakutkan, mencemaskan, menegangkan, bahkan menyiksa lahir dan batin para siswa.
Kita mencoba bermunasabah, sebenarnya Radikalisme tidak selalu identik dengan kekerasan atau teror. Akibat proses sosial akhirnya radikalisme menjadi momok yang menakutkan bagi semua orang. radikalisme menyerang siapa saja termasuk lembaga pendidikan yang seharusnya membimbing dan membina agar peserta didik tidak terkena imbas radikalisme.
Radikalisme yang melanda dunia pendidikan tidak bisa dibiarkan, tetapi harus dilakukan langkah- langkah secepatnya agar mampu menekan atau meredam perilaku radikalisme sehingga pendidikan mampu menjalankan misinya sebagai proses memanusiakan manusia (humanisasi).
Jika demikian faktanya, bagaimana strategi kita agar sekolah, guru dan pembelajaran di kelas tidak lagi memberi ruang bagi penyemaian virus intoleransi dan radikalisme?
Pertama, guru harus mentransformasikan dirinya menjadi pendidik yang benar-benar mendidik. Pendidik yang tak lepas dari misi kebangsaan. mencerdaskan kehidupan bangsa. Semua guru mata pelajaran harus diberikan wawasan kebangsaan yang baik. Guru adalah role model bagi siswa. Bagaimana nilai-nilai kebangsaan bisa diwujudkan oleh siswa, jika role model-nya saja justru memperlihatkan sebaliknya.
Pancasila merupakan sumber nilai dalam pelaksanaan kenegaraan, baik dalam pembangunan nasional, ekonomi, politik, hukum, sosial budaya, maupun pertahanan keamanan. Rumusan tentang pancasila tidak muncul dari sekadar pemikiran logis-rasional, tetapi digali dari akar seni, budaya bangsa sehingga muncul konsep Pendidikan ala pancasila karena dengan cara itulah karakter bangsa dapat dilestarikan, terpelihara dari ancaman gelombang globalisasi yang semakin besar terpenting lagi sebagai penangkal radikalisme.
Pendidikan dengan memakai pancasila sebagai sistem etika di samping merupakan way of life bangsa Indonesia juga merupakan struktur pemikiran yang disusun untuk memberikan tuntunan atau panduan kepada setiap warga negara Indonesia untuk bersikap dan bertingkah laku. Pancasila sebagai ideologi nasional berfungsi untuk cita-cita adalah sejalan dengan dengan fungsi utama dari sebuah ideologi serta sebagai sarana pemersatu masyarakat sehingga dapat dijadikan sebagai prosedur penyelesaian konflik. Ideologi pancasila terlahir bukan tanpa sebab, Ideologi Pancasila terlahir sebagai pemersatu bangsa Indonesia. Ideologi Pancasila sebagai pemersatu bangsa Indonesia terutama di antara dengan adanya banyak agama seperti Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu dan Budha itu dipersatukan dengan namanya Ideologi Pancasila. Pancasila sebagai sistem etika dimaksudkan untuk mengembangkan dimensi moralitas dalam diri setiap individu sehingga memiliki kemampuan menampilkan sikap spiritualitas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
4 tahap strategi pencegahan radikalisme dengan internalisasi Pancasila, menurut FSGI (Federasi Serikat Guru Indonesia) :
Tahap pertama yakni kita memakai Pendidikan dengan bersandar Ideologi Pancasila sebagai alternatif pembentukan tatanan nilai yang digali (kristalisasi) dari nilai-nilai dasar budaya bangsa Indonesia. Karena Kelima sila merupakan kesatuan yang bulat dan utuh sehingga pemahaman dan pengamalannya harus mencakup semua nilai yang terkandung didalamnya.
Tahap Kedua, mau tidak mau para guru mesti menyegarkan keterampilan mengajarnya. Kewajiban pemerintah sebenarnya untuk memenuhi tuntutan ini. Praktik pembelajaran yang menarik, kreatif, berpikir kritis dan berpusat pada siswa. Inilah tantangan yang mesti dilakukan guru sekarang. Apalagi yang diajar adalah Generasi Z, yang bahasa zamannya berbeda dengan gurunya yang berasal dari Generasi X bahkan sebelumnya. Tinggalkan pembelajaran yang memberi ruang superioritas bagi guru. Guru jangan lagi mendoktrin di depan kelas. Mendidik itu bukan proses doktrinasi. Tapi proses pembangunan karakter melalui argumen & dialog. Bukan melalui monolog!
Ketiga, berdasarkan diagnosis masuknya bibit radikalisme ke sekolah di atas, kepala sekolah/ketua yayasan berperan penting melakukan pembinaan kepada guru yang sudah terlanjur intoleran bahkan radikal. Kepala sekolah harus memetakan pemahaman Ideologis para guru. Apalagi bagi calon guru, misalnya di swasta. Rekrutmen guru baru tidak hanya mensyaratkan empat (4) kompetensi guru, tetapi menambahnyaa dengan kemampuan (keterampilan) wawasan kebangsaan guru.
Maka Penyelenggaraan Pendidikan bersandar Pancasila adalah salah satu cara sebagai alternatif mengatasi radikalisme dan kemelaratan nilai-nilai setiap anak bangsa dalam menangkal pengembangan globalisasi yang menyesatkan identitas anak bangsa dan gerakan trans – nasional yang mendoktrinas anak bangsa menjadi berpaham radikal. Wallhua’llam
Penulis: Ilmi Najib, Pimred Duta Damai Jatim (Ngalam Duta Damai), Penulis Gusdurian.net, Gubuktulis.com.