Oleh: Dewi
Film dokumenter kisah nyata karya Robert Lemelson yang berjudul “Movement and Madness” ini menceritakan mengenai kehidupan seorang anak yang menderita “Tourette Syndrome” atau sebuah penyakit mental selama 12 tahun, dimana kehidupan nya dipenuhi dengan rasa nestapa dan rasa penyesalan akibat penyakit yang diderita. Dengan tokoh utama bernama Gusti Ayu, ia mengalami “Tourette Syndrome” semenjak duduk di bangku kelas 4 Sekolah Dasar pada tahun 1992. Tingkah lakunya yang aneh dan dianggap seperti monster (karena anggota tubuhnya gerak sendiri bahkan sering menyakiti diri sendiri) membuat ia dikucilkan oleh lingkungan pergaulan, karena dianggap bisa menular.
Penyakit tersebut menyerang saraf otak Gusti sehingga ia tidak bisa mengontrol tingkah laku anehnya tersebut, berbagai spekulasi menyelimuti penyakit yang diderita oleh gusti. Berdasarkan permasalahan tersebut, seorang antropolog, yaitu Robert Lemelson mencoba menganalisis permasalahan sosial, dimulai dari perubahan struktur atau sosial masyarakat, hingga kondisi psikologis Gusti, pengamatan ini dimulai dari tahun 1997 sampai 2004 (7 tahun).
Dari film ini, kita bisa menemukan informasi bahwa di Bali suatu penyakit dikaitkan dengan unsur magis atau mistis, termasuk penyakit yang diderita oleh Gusti.
Menurut salah satu dukun di pengobatan tradisional (I Made), penyakit yang dialami oleh Gusti diakibatkan oleh guna-guna atau kiriman orang lain yang iri pada Gusti, dikarenakan ia anak yang cantik dan pintar. Sedangkan menurut medis ada saraf yang tidak bisa berfungsi dengan baik di otak gusti atau yang disebut dengan penyakit “Tourette Syndrome”, berbagai macam obat dan dosis diberikan kepada Gusti namun tidak ada perubahan yang signifikan. Sampai ia berada pada kondisi putus asa dan ingin mengkhiri hidupnya, hal itu disebabkan oleh rasa kekecewaan orang tua Gusti atas penyakit yang diderita anaknya hingga seringkali dianggap sebagai aib keluarga bahkan ayahnya menyuruh Gusti untuk meninggal saja daripada hidup dengan kondisi yang seperti itu.
Kurangnya keterbukaan masyarakat dalam menerima perbedaan menjadi faktor utama kondisi psikologis Gusti semakin memburuk, karena kehadirannya tidak diterima dalam masyarakat (kurangnya sosialisasi).
Gusti sempat mempunyai pacar sewaktu ia bekerja di Denpasar, ia berpacaran selama 3 bulan, akan tetapi perbedaan kasta membuat orang tua Gusti tidak setuju dengan hubungan mereka. Berdasarkan hal tersebut menurut “Saman” atau sebutan orang pintar di daerah Bali, penyakit tersebut tak kunjung sembuh dikarenakan oleh kiriman dari sang pacar yang sakit hati atas sikap orang tua Gusti hingga ia tidak mempercayai perkataan dan obat dari dukun lagi. Ketika dilakukan perbandingan dengan “Ibu Dayu” yang juga menderita “Tourette Syndrome”, nasib mereka sungguh berbeda. Ibu Dayu yang hidup di lingkup perkotaan dengan orang-orang yang mencintai-nya, termasuk sang suami, membuat ia semangat menjalani kehidupannya bahkan ia merasakan indahnya bangku perkuliahan hingga tamat S1 dan mempunyai 2 orang anak. Semangat dan motivasi untuk sembuh sangat dibutuhkan oleh Gusti terutama dari orang-orang terdekatnya, karena pemikiran yang postif dan kepercayaan diri dapat meningkatkan kondisi yang lebih baik.
Penyakit yang dialami oleh Gusti merupakan hasil dari konstruksi sosial dimana ada pemikiran dan statement yang membentuk pola pikir masyarakat, sehingga penyakit tersebut berkonotasi negatif dan seringkali dianggap sebagai jelmaan roh jahat. Sistem yang ditekankan oleh Robert dalam menganalisa peristiwa yang dialami oleh Gusti adalah “penyakit” yang diderita dan “pengalaman” yang ia rasakan selama ia sakit, hingga Robert dan para dokter menemukan metode yang tepat untuk menyembuhkannya. Meskipun pengobatan dokter kurang membawa hasil yang signifikan, tetapi secara psikologis Gusti merasa lebih baik dan berani untuk bersosialisasi dengan orang lain sehingga ia memutuskan untuk tidak bergantung lagi pada obat yang ia minum. Dalam pembuatan film ini Robert menggunakan data wawancara, visual, dan observasi pada kawasan yang sering didatangi oleh Gusti dan keluarga. Dari film ini bisa disimpulkan bahwa, sembuh atau tidaknya penyakit seseorang tergantung dari tingkat optimisme individu untuk sembuh dengan lingkungan yang suportif. Hal tersebut diakibatkan pemikiran yang positif mendatangkan jiwa yang tenang dan kondisi yang lebih baik.