Bulan Agustus adalah bulan yang bersejarah bagi bangsa Indonesia, dimana pada bulan tersebut bangsa Indonesia berhasil merebut kemerdekaan dari penjajahan Jepang. Kemerdekaan bangsa Indonesia tentu saja diraih dengan penuh perjuangan. Para pahlawan dari Sabang hingga Merauke banyak yang berguguran. Menjelang peringatan kemerdekaan bangsa Indonesia yang ke-74 bumi pertiwi digoncang oleh berita Sara yang melibatkan orang-orang Papua dan Jawa. Peristiwa tersebut terjadi di dua tempat yang berbeda. Pertama di Malang yang dilatarbelakangi aksi damai mahasiswa Papua memperingati ‘’perjanjian New York pada 15 Agustus 1962’’ di Alun-Alun Kota Malang kemudian dibubarkan secara paksa dan berujung pada tawuran. Peristiwa selanjutnya terjadi di kota Surabaya, hal yang melatarbelakangi adalah informasi yang diterima oknum yang memperlihatkan gambar bendera merah putih dibuang di selokan di depan asrama mahasiswa Papua. Sontak informasi tersebut menjadi viral, membakar jenggot masyarakat dan mengakibatkan asrama tersebut digrebek oleh pihak militer dan organisasi keagamaan. Padahal ketika dicek dilokasi tidak ada bendera yang dibuang diselokan, boleh jadi informasi tersebut adalah hoaks.
Atas peristiwa tersebut kemudian ramai dimedia sosial yang bersimpati terhadap Papua, dan ada juga yang sengaja menggoreng peristiwa tersebut dengan isu Sara. Dari dulu memang orang Papua yang hidup di Indonesia Timur acapkali dipandang sebelah mata. Orang Papua dengan semangat menjaga tradisi dan kearifan lokal, malah disisi lain mereka dianggap sebagai masyarakat kuno, primitif dan tertinggal. Ada juga yang mengatakan bahwa Papua bukan bagian dari Indonesia karena ras mereka berbeda dengan ras rata-rata penduduk Indonesia yang tinggal di wilayah Indonesia Tengah dan Barat. Lantas yang menjadi pertanyaan sekarang adalah apa ras asli masyarakat Papua? Sejak kapan mereka ada di Indonesia?
Dua pertanyaan diatas dapat dijawab dengan membaca buku Atlas Walisongo karya Agus Sunyoto. Dalam bukunya Atlas Walisongo Agus Sunyoto menjelaskan ‘’Menurut data Lembaga Eijkman, Homo Erectus, yang hidup di Pulau Jawa antara 1.000.000-100.000 tahun lalu telah punah. Yang kemudian menghuni kepulauan nusantara adalah Homo Erectus asal Afrika yang datang sekitar 70.000-60.000 tahun lalu dan Homo Sapiens asal Afrika yang datang sekitar 50.000-40.000 tahun lalu. Keturunan Homo Erectus asal Afrika ini belakangan disebut ras Melanesia. Sementara itu, keturunan Homo Sapiens yang asal Asia, belakangan disebut ras Austronesia’’
Selanjutnya Agus Sunyoto menerangkan bahwa ‘’Ras Melanesia yang tersebar dalam berbagai varian suku-suku, sejak 70.000 tahun SM sudah menghuni Papua, Nugini Australia dan pulau-pulau di Pasifik seperti Bismarck, Solomon, New Caledonia, dan Fiji. Pada masa lampau, nenek moyang suku-suku Melanesia menghuni Pulau Jawa, yakni ras Proto Melanesia yang disebut Homo Wajakensis. Akibat mengalami pembauran dengan pendatang-pendatang baru yang terus mendesak wilayah hunian ras purba ini, sebagian mengungsi ke arah timur dan sebagian yang lain membaur dengan ras pendatang baru hingga identitas Melanesia mereka hilang. Sementara itu, mereka mengungsi ke timur dan belum sempat mencapai Papua, terkejar east drift ras Austronesia(Melayu), dan dicampur kawini. Keturunan mereka yang berdarah campuran Melanesia-Austronesia(Melayu) inilah yang menghuni pulau-pulau di Nusa Tenggara Timur, Timor Leste, dan Maluku. Demikianlah, dalam kajian antropologi ragawi dan etnografi, diketahui bahwa kepulauan nusantara secara umum dihuni oleh popolasi dua ras utama: ras Austronesia dan ras Melanesia, yang sebagian melakukan asimilasi menjadi ras Australo-Melanesia yang diperkirakan berkembang sekitar 10.000 tahun yang lalu’’.
Dari dua kutipan diatas sangatlah jelas bahwa kita yang hidup di Indonesia memiliki nenek moyang yang sama. Membaca sejarah tentang asal asul etnik penghuni sangatlah penting. Agar kita bisa mengetahui bahwa kita bangsa yang lebih tua dari Homo Sapiens. Sehingga dengan itu kita bisa lebih mencintai bangsa Indonesia dengan berbagai kemajemukan yang ada dari Sabang sampai Merauke. Kemajemukan yang di Indonesia seringkali dimanfaatkan untuk memecah antar suku, ras, dan golongan. Apalagi dengan canggihnya teknologi perpecahan, adu domba sangat gampang sekali dilakukan di media sosial. Ini adalah tantangan kita yang hidup di abad ke-21 untuk tetap teguh menjaga persatuan dan kesatuan. Mari kita ubah cara pandang terhadap saudara kita di Indonesia Timur. Dengan mengetahui leluhur bangsa Indonesia, sangat diharapkan untuk kita saling menghormati, menghargai antar suku dan etnik bahwa kita berasal dari nenek moyang sama. Hanya orang bodoh yang tidak mencintai para leluhur nenek moyangnya dan orang yang pikirannya kerdil yang dengan sengaja memecah persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
Penulis: Moh Yajid Fauzi – mahasiswa Universitas Islam Malang. Ketua umum Himpunan Mahasiswa Progam Studi Ahwal Syakhshiyah periode 2018/2019. Aktif sebagai Penggerak Gusdurian Muda Malang.