Berbagai keramaian akhir – akhir ini pada layar sosmed dari media gadget, televisi, media cetak dan berbagai media Informasi lainnya dikejutkan berbagai peristiwa saudara kita sebangsa dan setanah air. Yang sudah merobek nilai-nilai kebangsaan kita atas saudara kita papua. Ditengah semangat melawan lupa menuju hari kemerdekaan bangsa mau di kumandangkan tahun 17 Agustus 1945, asrama mahasiswa dibeberapa wilayah diserang oleh berbagai oknum yang tidak bertanggung jawab. Kabar ini tentu tak mengejutkan bagi siapa pun yang paham isu Papua dan penderitaan yang dialami masyarakatnya.
Serangan terhadap masyarakat Papua sudah berulangkali terjadi, baik di dalam maupun luar Papua, dan dilakukan oleh polisi/militer Indonesia dan/atau warga sipil yang mempunyai kepentingan dan isu yang sama. Tanggal seperti 1 Juli, 17 Agustus, dan 1 Desember adalah waktu ketika polisi dan tentara akan mengambil tindakan keras terhadap warga Papua sebagai catatan, operasi militer di duga berlangsung sekitar 1 Desember 2018. Serangan yang baru-baru ini terjadi di Surabaya relatif bisa diprediksi.
Namun, di luar tanggal-tanggal itu, orang Papua terlalu sering mendapatkan serangan. Tak berlebihan mengatakan setiap hari ada orang Papua mengalami kekerasan dan dibunuh di kampung halamannya sendiri. Di rantau, mahasiswa Papua akrab disergap oleh ormas dan/atau polisi/tentara ketika mengadakan diskusi, pemutaran film.
Pasal 28E UUD 1945 menjelaskan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Ini berarti mahasiswa Papua berhak menggelar pertemuan, dan hak itu dijamin oleh konstitusi. Namun, kenyataannya, negara sering (membantu) menghentikan paksa pertemuan-pertemuan ini.
Sudah seharusnya kita bertanya: Kalau Papua bagian dari NKRI, mengapa hak konstitusional mereka diinjak-injak?
Serangan terhadap orang Papua kerap mendapat pembenaran atau pemakluman dari pemerintah Indonesia. Mahasiswa Papua di Surabaya diserang karena bendera Indonesia ‘ditemukan’ di selokan persis di depan asrama mereka pada hari peringatan kemerdekaan Indonesia dengan kata lain, ketika mereka diharapkan untuk mengibarkan dan menghormati setinggi-tingginya bendera merah putih yang dianggap mewakili para pejuang Indonesia.
Ironisnya, bendera yang sama digunakan untuk membenarkan aksi-aksi pembunuhan sadis terhadap orang Papua yang memperjuangkan kemerdekaan mereka dari Indonesia. Hingga kini orang papua masih mengalaminya.
Berbagai fakta yang ada kasus papua bukan sekedar masalah biasa tapi pihak pemerintah sudah menodai konstitusi yang sudah berdiri salah satunya kesepakatan sebagai bangsa yang menjunjung tinggi demokrasi. Pada sisi lain “sumber daya alam” yang membentang pada wilayah papua diminati oleh berbagai pihak pemodal. Namun hanya sumber daya alam mereka saja tanpa ada timbal balik kepada kesejahteraan ekonomi, kesehatan dan pendidikan masyarakat di papua.
Dengan melihat fakta yang ada bagaimana sebagai generasi muda terus melihat kembali sejarah bangsa yang sama melewati berbagai proses semangat kemerdekaan dari sabang merauke. Demi tegaknya demokrasi dari kehidupan politik kita, sangatlah penting merumuskan di titik mana kita harus terus berjuang dan titik di mana pula kita harus berhenti untuk memperbaiki dan melakukan konsolidasi atas apa yang telah kita capai dari semangat kemerdekaan bangsa.
Di sinilah pengetahuan kita akan kekurangan yang ada di butuhkan. Bagaimana kita dapat bernegoisasi secara bijak dalam memandang kasus papua. Dengan demikian, menjadi jelas bagi kita bahwa sebuah proses politik sekecil apapun, bukanlah sesuatu yang sederhana.
Penyelesaiannya juga tidak sebatas langkah hukum, pendekatan kultural dari segenap lapisan masyarakat, terutama masyarakat di luar Papua. Hanya dengan demikian masyarakat Papua dapat merasakan bahwa mereka adalah bagian integral dari masyarakat dan bangsa Indonesia. Serta bukan sekedar sebagai anak tiri bangsa Indonesia. Saya ambil kata dari gusdur Indonesia rumah kita bersama. Wallhua’llam.
Penulis: Ilmi Najib.