Sumber Gambar : Websitependidikan.com
Penulis : Ahmad Zainuri
Gerakan Islam Radikal menjadi salah satu pemicu dari terongrongnya ideologi kesatuan dan persatuan Indonesia. Gerakan ini senantiasa tidak ada hentinya untuk terus bergerak meski banyak rintangan yang harus dilewatinya. Mereka belum puas dalam menerima adanya Pancasila sebagai ideologi bersama di negeri ini. Pemahaman terhadap Islam sendiri mereka sekadar luaran saja dan seringkali menimbulkan konflik ketika menemui kelompok Islam yang tidak sejalan dengannya.
Harusnya dengan keberagaman umat Islam di Indonesia menjadikan Muslim Indonesia semakin kokoh dalam menjalin kesehariannya sebagai Muslim yang harmonis. Berbeda bendera, kelompok hingga mazhab jangan menjadi salah satu penyebab terjadinya perpecahan sebagai Muslim Indonesia. Sejatinya setiap bangsa memiliki keanekaragaman budaya dan sosialnya sendiri dalam menjembatani antara dirinya dengan Tuhannya untuk beragama, termasuk berpakaian dan pemikiran.
Budaya berbusana seringkali menjadi rujukan terjadinya konflik di antara Muslim Indonesia. Yang sudah jelas-jelas berbeda dengan bangsa Arab, kenapa harus menodong keras sebagai Muslim Jawa, Osing, Madura, Banjar dan lainnya untuk sama dengan Arab, tentu tidak. Bangsa ini telah memiliki kebudayaan yang sudah tumbuh dan berkembang subur, kenapa harus dilawan, senyampang tidak bertentangan dengan Islam, iya kan? Kenapa harus dipersoal, hanya perihal belangkon, jarek (pakaian Jawa untuk sarung), baju batik dan nuansa khas Indonesiais sering kali tersudut pada penilaian yang negatif.
Bertolak dari perihal busana, kemudian menciptakan pemikiran mereka hingga membentuk gerakan untuk melawan keragaman tradisi yang ada di negara ini. Dari gerakan ini, mereka menyatakan bahwa Islam butuh pembaharuan, Islam harus kembali pada al-Quran dan Sunnah dan Islam harus tegak sebagai sistem negara di Indonesia. Karena mereka melihat Indonesia dengan seisinya sebagai negara toghut. Ini kan masalah, sehingga dari peristilahan itu yang membuat segelincir kelompok Muslim yang memiliki pemikiran radikal negatif tersebut selalu menginginkan gerakan-gerakan untuk membentuk negara bernuansa syariah, dan itu ranah gerakan bukan lagi pada arus sosial keagamaan, tapi politik.
Tentu gerakan-gerakan yang mereka inisiasikan bukan sebuah gerakan yang main-main. Misalnya FPI, HTI, MMI, yang baru-baru ini muncul di permukaan ada Khilafatul Muslimin. Sebuah gerakan radikal yang berdiri di Lampung pada 18 Juli 1997 oleh Abdul Qadir Hasan Baraja yang juga memiliki sambung kerabat dengan Abu Bakar Ba’asyir, Solo.
Kemunculan gerakan-gerakan Islam ini sangat memprihatinkan bagi goyahnya ideologi Pancasila. Asghar telah menjelaskan bahwa dalam mendirikan negara Islam tidak harus menjadikan Islam sebagai sistem yang mengatur sebuah negara, apalagi Indonesia memiliki tingkat pluralitas yang tinggi. Menurutnya, dengan adanya Muslim yang mengamalkan Islam dalam keseharian, Muslim cinta Al-Quran dan mengamalkannya itu sudah cukup disebut sebagai negara Muslim (negerinya orang Islam).
Artinya, al-Quran menjadi pedoman dalam mempraktikan serangkaian nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari. Sejatinya, Muslim Indonesia sudah cukup menikmati dan bangga sebagai bangsa Indonesia yang memiliki serangkaian undang-undang atau peraturan yang memiliki nuansa keagamaan. Itu semua memperhatikkan hati dan perasaan agama lain yang tinggal di bumi pertiwi ini sebagai satu kesatuan warga Indonesia.
Sebagai Muslim Bugis, Muslim Madura, Muslim Jawa, Muslim Osing, Muslim Sunda, Muslim Betawi, Muslim Melayu dan lainnya, harusnya bisa memiliki rasa yang sama sebagai Muslim yang beragam etnis yang disatukan sebagai bangsa Indonesia. Secara personal Muslim dan etnisitas tersebut memiliki karakter yang berbeda-beda dalam beragama. Belum lagi ritus keagamaan yang dijalani, kitab-kitab yang dikaji bahkan mazhab yang mereka anut pun berbeda, kalaupun sama karakter kedaerahan memiliki perbedaan atau juga bahkan faktor pendidikan.
Mari kita bangun bersama Indonesia ini sebagai bangsa yang memiliki karakter Muslim yang moderat, wasathiyah dan harmonis. Bangsa yang besar dengan memiliki bahasa, tradisi, sejarah dan budaya yang panjang dan berkarakter harusnya bisa menonjolkan sebagai Muslim Indonesia yang berkarakter juga. Bukan malah menentang, menolak, hingga mencaci maki bangsa ini sendiri. Ini perlu kemudian membangun dari dalam diri mereka sendiri sebagai Muslim yang lahir dan hidup di bumi pertiwi untuk senantiasa menyadari bahwa keberagaman itu rahmat. Bukan malah menjadi masalah, hingga mereka menghentakkan kaki berderap dan menyoal bangsa dan kesalahannya, dan jatuhnya kembali lagi tujuan mereka, yakni menginginkannya negara bersistem syariah untuk Indonesia. Harus disadari dan kesaling menghargai bahwa Indonesia sebagai bangsa yang multikultural harus senantiasa sebagai Muslim yang mayoritas bisa menjadi payung ketentraman dan keteduhan bagi agama-agama saudara kita di Indonesia ini.
Sebenarnya, dalam perihal regulasi secara struktur dari pemerintahan Republik Indonesia sudah begitu jelas. Kuasa penuh sudah diartikelkan dalam Peraturan Pemerintahan Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 2019 tentang Pencegahan Tindak Pidana Terorisme dan Perlindungan Terhadap Penyidik, Penuntut Umum, Hakim dan Petugas Pemasyarakatan. Pada Bab II telah dijelaskan bahwa pemerintah wajib melakukan pencegahan tindak pidana terorisme. Pencegahan yang dimaksud ialah, pertama, kesiapsiagaan nasional; kedua, kontra radikalisasi; ketiga, deradikalisasi.
Maupun dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Dalam pertimbangannya bahwa perlu kemudian adanya keterlibatan orang atau kelompok serta keterlibatan warga Indonesia secara umumnya dalam maksud untuk menangkal pemufakatan jahat yang mengarah pada terorisme. Sehingga bisa berpotensi mengancam keamanan dan kesejahteraan masyarakat bangsa dan negata serta perdamaian dunia. Maka, dalam hemat penulis, perlu adanya regulasi bersama, tidak hanya pada aras struktural kuasa pemerintahan, melainkan keterlibatan seluruh komponen bangsa Indonesia.
Dalam tinjauan keagamaan, bahwa perlu kemudian seluruh kelompok Islam menyatukan suara dalam menjaga kedaulatan bangsa Indonesia. Mereka berkeyakinan, bersatu dan berserah pasrah bahwa hubbul wathan minal iman. Terutama organisasi Islam yang memiliki kekuatan pondasi satu tujuan bahwa Indonesia sebagai negara yang final dengan segala sistemnya. Menimbang daras dari Masykuri Abdillah bahwa ketika Indonesia menerapkan sistem syariah, apakah umat lain menerima? Kalaupun Indonesia menerapkan sekularitas, apakah dengan mayoritas Muslim menerima? Sehingga dengan adanya Indonesia hari ini kita semua mampu merasakan kenikmatan yang Tuhan berikan dalam bentangan sejarah bangsa untuk merdeka dan bebas dalam menikmati, menghayati, meresapi dan mengaktualisasi setiap ajaran agama dalam lubuk hati masing-masing penganutnya. Maka dari itu, regulasi yang tepat ialah tidak hanya berporos pada sistem hukum yang sudah ada dalam pemerintahan, baik fisik (seperti BNPT, BPIP dan beberapa underbow nya) dan non-fisik (Undang-Undang). Namun, perlu kemudian ditambah regulasi dalam aras non-pemerintahan yang memiliki potensi aktif dalam ikutserta mencegah dan menangkal doktrinasi maupun indoktrinasi daripada penetrasi gerakan-gerakan radikal yang menggoyahkan ideologi bangsa. Yakni dengan adanya peran ulama, organisasi Islam yang senantiasa bersatu merumuskan piagam madinah dalam menyatukan visi misi bersama sebagai umat Islam Indonesia dalam menjaga keutuhan bangsa Indonesia