Radikal memiliki sebuah arti sebagai daya pola berpikir yang bisa menjadi salah satu cara terbaik dalam mengulas serangkaian peristiwa untuk lebih detail dan valid. Hanya saja ketika radikal di bawa pada ranah sebuah gerakan, bukan bermaksud untuk menyandarkan pada individu dalam memproses sebuah pikiran mereka untuk lebih kritis dan mendalam. Akan tetapi radikal ketika masuk dalam sebuah kelompok dan membentuk gerakan menyebabkan lahirnya sebuah maksud tersendiri dan tertentu sebagai jalan tuntutan bagi atas oposisi.
Radikal dalam bentuk gerakan muncul sekitar abad 18-19 yang dimulai pada sebuah gerakan-gerakan politik dunia. Namun, dalam konteks historis kita bisa tarik juga lebih jauh lagi yakni masa setelah wafatnya Nabi Saw terutama masuk masa kepemimpinan Ali bin Abi Thalib. Di masa itu muncul sebuah gerakan-gerakan yang mendukung Ali, menentang Ali dan barisan yang keluar dari Ali. Dari gerakan-gerakan itu muncul sebuah paham-paham teologis yang memiliki sudut dan poros akidah masing-masing untuk memahami agama.
Namun, sebenarnya salah ketika kita hanya memahami sebuah gerakan radikal itu dari sudut Islam. Penetrasi ini yang kemudian membuat masyarakat Islam dunia mengenal Islam sebagai momok yang kemudian kita kenal Islamophobia, termasuk dunia Barat yang kemudian membuat Islam menjadi dalang dibalik semua gerakan-gerakan tersebut. Gerakan-gerakan tersebut tidak jauh dari beberapa orang-orang yang memang membenci Islam maupun kelompok umat agama lain yang kemudian membentuk sebuah persatuan untuk jalan bersama. Bisa juga gerakan tersebut lahir dari beberapa kelompok kalangan elit agama maupun dari kalangan sarjana yang memahami keilmuan tertentu.
Misalnya Indonesia, negara yang memiliki kompleksitas akan suku, etnis, agama dan budaya, dengan mayoritas Muslim menjadikan isu radikalisme berangkat dari titik tolak Islam itu sendiri. Kita perlu melihat misalnya adanya kelompok FPI, HTI, Tarbiyah, dan beberapa gerakan lain. Sebenarnya gerakan mereka berniat baik dengan mendakwahkan Islam ke Indonesia. Hanya saja keberlarutan mereka dalam mengindoktrinasi masyarakat Islam awam tak henti sebatas suara dan mengenalnya, akan tetapi ikut serta untuk mendukung gerakannya.
Sehingga ketika gerakan mereka sudah besar dan memiliki massa yang cukup, mereka senantiasa memiliki roda kendaraan untuk menuju sebuah harapan yang memang mereka pendam. Tidak lain dari asal mula gerakan yang dirintis tersebut ialah dengan tujuan syiar dan dakwah, alih-alih berubah haluan menjadi tujuan politik. Nah, dari tujuan politik ini, kendaraan tidak lagi bernuansa agama, maka besar kemungkinan mereka menggunakannya sebagai alat untuk memaksa negara dalam kegiatannya, termasuk bernuansa agama padahal tujuannya politik.
Isu-isu negara dan agama seringkali menjadi ritus politik yang tidak akan ada hentinya. Namun, semenjak HTI dibubarkan dan dicabut badan hukumnya, seakan suara, warna dan gema gemuruh suaranya senantiasa tiada dengungnya. Namun, apakah mereka kemudian mati dalam ideologinya? Tentunya tidak. Bertolak dari akar historis tersebut, besar kemungkinan sudut arah bagaimana kemudian radikalisme menjadi sebuah paham yang senantiasa disandarambrukkan kepada Islam. Pertanyaan besar, apakah kemudian agama lain juga memiliki gerakan yang serupa, ataukah julukan mereka juga gerakan radikal?
Merujuk dari narasinya Damayanti (2019) bahwa kemunculan istilah radikalisme apakah juga terdapat diluar Islam. Menurutnya, tidak lain memiliki kesamaan, yakni adanya sebuah respon tanggap keras fisik dan ide dasar pada sebuah konstelasi adanya ketidaksetujuan akan perihal ideologi bangsa. Damayanti menjelaskan ulang meskipun pemerintah juga perlu mengawasi adanya aliran-aliran gereja fundamentalis dan evangelistik yang berpotensi menimbulkan ketegangan dalam kerukunan hidup antarumat beragam maupun intraagama di Indonesia.
Kemunculan gerakan-gerakan radikalisme ini, baik dari Islam, Kristen maupun dari agama lain, sejatinya tidak lepas dari respon sosial politik di mana kawasan mereka bernaung. Gerakan-gerakan tersebut, pada akhirnya bukan ranah agama yang menentramkan satu sama lain dari agama masing-masing, melainkan menjadi keresahan bagi civil society dari masyarakat beragama di negeri ini. Mereka hanya secuil dari adanya masyarakat yang berada dan tinggal sebagai penduduk taat.
Harusnya, masing-masing agama memiliki dan menyadari akan sebuah kehidupan yang plural ini menjadi serangkaian tujuan baik dalam membangun kehormatan bangsa. Bukan malah menjadi biang dan isu keras nan radikal di negeri sendiri. Harusnya masing-masing agama menghadirkan nilai dan norma indah yang terkandung dalam setiap mabadinya. Hujjah kebencian tinggalkan, dan bangunlah rihlah persatuan dan kedamaian.
Salah satu cara untuk membendung gerakan radikal, rasis dan isu keras agama lainnya ialah pertama, pahamkan mereka dengan mutiara indah pada agama masing-masing; kedua, perankan aktor yang memiliki tujuan membangun perdamaian; ketiga, pahamkan sejarah bangsa kita sendiri agar senantiasa mereka tahu bahwa rasa nasionalisme ialah tujuan utama dalam membangun peradaban bangsa dalam sisi kemanusiaannya.
penulis : Ahmad Zainuri
sumber gambar : berandainspirasi.id
Cakeeeep