Kecenderungan kita dalam menanggapi nilai, ideologi, hingga agama yang diyakini menjadi suatu kebenaran yang mutlak serta sebagai tolak ukur dalam menilai keyakinan orang lain, merupakan tindakan fanatisme. Tindakan fanatisme sesungguhnya adalah paham lama, namun tetap eksis dan masih sering kita temui dalam kelompok yang berpegang teguh pada nilai yang dianggap luhur serta menstereotip kelompok lain di luar sekutunya.
Mereka masih eksis dalam melakukan interaksi antar sesama kelompok dengan menghargai hubungan hirarkis dalam kelompok yang sifatnya aoutoritaris dalam memandang kelompok lain dan merasa berhak untuk mendominasi kelompok lain. Bentuk tindakan stereotip negatif bahkan beberapa ditunjukkan secara eksplisit dan terang-terangan.
Di Indonesia sendiri bagaimana eksistensi kelompok fanatisme ini? Kita menilik salah satu problema yang tidak kunjung mereda saat ini, yaitu pandemi yang masih terus menghantui dan membatasi ruang gerak kita. Segala aktivitas pekerjaan, ibadah dan lainnya yang memungkinkan adanya interaksi dengan orang lain dibatasi. Kita dituntut untuk berada dalam ruang aman; menjaga diri dan orang lain di sekitar kita. Kita memahami bahwa masalah pandemi ini bukan lah perkara remeh yang boleh kita abaikan. Betapa banyak kasus kematian yang terdengar setiap harinya.
Jika ketidakpedulian terhadap situasi ini masih saja kita langgengkan, maka kita akan terkungkung dalam penderitaan yang tidak ada habisnya. Sebaliknya, kita seharusnya berusaha mengumpulkan kesadaran dan kesabaran dan bekerja sama untuk memerangi pandemi di Indonesia. Namun satu hal yang tak terelakkan dengan masih saja ada oknum yang tidak ingin ikut dalam skenario yang ditetapkan oleh pemerintah.
Mereka menolak larangan-larangan dan menganggap hal yang mereka putuskan adalah suatu kebenaran. Mereka menolak untuk bekerja sama, seperti pelarangan ibadah secara berjamaah. Banyak persepsi yang lahir dari oknum-oknum penentang, dengan membawa dalih agama sehingga memunculkan kesalahpahaman atas kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah hingga pada akhirnya tidak dapat memaknai kebijakan dengan benar.
Kesenjangan pemikiran dalam kehidupan masyarakat masih sering terjadi, terutama dalam kehidupan beragama. Manusia berpikir apa yang menjadi penutan kebenaran dalam mengambil keputusan. Kehadiran fanatisme menciderai kehidupan umat bergama dan merusak keharmonisan interaksi sosial, menghadirkan suatu sudut pandang yang kabur sebab tidak memunyai sandaran teori yang jelas.
Urgensi permasalahan ini bertambah krisis pada saat kita menyaksikan merosotnya nilai kepedulian sesama yang disebabkan oleh perilaku agresi yang dilakukan umat agama yang tergolong ekstrim. Mereka berlindung dibalik dogma agama dan menolak kebijakan yang dianggap tidak benar. Tidak mengerti faham atau filsafat selain yang mereka yakini. Jelas mereka adalah kelompok yang memiliki ketidakmampuan dalam memahami karakterisktik individual orang lain yang berada di luar kelompoknya.
Indonesia masih menjadi negara yang mengalami resistensi dari fanatisme yang berlebihan. Kesadaran rasional secara garis besar tidak dianggap lebih berguna daripada nilai keluhuran yang dianutnya. Memarginalkan nilai-nilai diluar nilai yang dianut dan menganggap pahamnya lebih penting. Padahal, bukankah tanggung jawab moral yang paling fundamental adalah kelestarian dan kemajuan kesadaran kita, baik untuk diri kita sendiri maupun untuk orang lain.
Suatu bentuk penolakan terhadap pemerintah dalam contoh upaya kerja sama dalam kasus pandemi di Indonesia juga merupakan bentuk fanatisme. Mereka menjadi kelompok yang ingin dilihat keteguhnnya pada nilai yang dianut dan ingin mencapai suatu kuasa yang dilegitimasi terhadap identitas yang melekat padanya. Mereka ini disebut pula pihak ekstremis; menginginkan dunia berjalan dengan cara tertentu dan menolak untuk mengakui kepentingan atau nilai-nilai lain diluar yang mereka anut. Mereka menolak untuk bernegosiasi. Kita saat ini hidup dalam krisis karakter, krisis keluhuran, krisis sarana dan tujuan. Pertentangan politik fundamental di abad kini bukan lagi antara kanan versus kiri, tetapi nilai-nilai kekanakan yang impulsif. Antara kematangan versus ketidakmatangan. Antara sarana versus tujuan.
Penulis: Musyarrafah S (Duta Damai Jawa Timur)