Suara adzan berkumandang pada setiap sudut desa, tadarrus berkumandang disetiap musholla, masjid, dan berbagai ruang umat muslim dari kampung sampai perkotaan. Mengingatkan kembali bahwa kita sudah datang di bulan suci Ramadhan. Sebagaimana kita di anjurkan untuk menjalankan ibadah puasa. Puasa secara syar’i bermakna menahan dan mencegah diri secara sari makan, minum, bersetubuh dengan perempuan dan semisalnya, selama sehari penuh – dari terbit hingga terbenamnya matahari. Banyak hikmah dapat diambil baik untuk muslim ataupun non muslim dari puasa dan seluruh masyarakat Indonesia. Kh khoiron najib di dalam bukunya sangat jelas dan ringkas menyatakan hal ini, beberapa hikmah puasa yang beliau kemukakan di antaranya pertama, puasa merupakan sarana penyucian jiwa, kedua puasa memiliki hikmah ijtima’iyah (sosial) dan yang ketiga puasa dapat mempersiapkan seseorang menuju derajat takwa dan naik ke kedudukan muttaqin.
Bebagai pemaknaan terhadap puasa di bulan ramadhan sangat beririsan dengan tingkat pengetahuan akan hikmah dan makna di balik kewajiban berpuasa. Semua muslim tidak menyangkal akan banyaknya hikmah di balik berpuasa ramadhan. Namun mengetahui akan hikmah di balik sebuah kewajiban tidak menjamin pemaknaan yang juga benar akan kewajiban tersebut. Ada yang memaknainya bulan ramadhan hanya pemaknaan sebatas berlapar di siang hari dan pembalasan di malam hari, ada lagi yang memaknai bahwa puasa itu cukup menahan haus dan lapar, dan hal-hal yang membatalkan saja namun terkait hal-hal yang dapat mengurangi pahala puasanya mereka lalai. Padahal Rasulullah SAW ber sabda “Banyak sekali orang yang berpuasa sedang dia hanya mendapat lapar dan dahaga (tidak mendapat pahala)”. Pemaknaan yang benar akan puasa termasuk ramadhan bukan hanya dapat menghasilkan pahala yang optimal bahkan maksimal –tentunya dengan diiringi oleh perbaikan kuantitas dan kualitas ibadah yang dilakukan namum juga akan menghasilkan maslahat yang besar bagi umat. Oleh karena pemaknaan yang benar sangat dianjurkan.
Momen ramadhan ini sangat tepat dijadikan sarana untuk bermuhasabah, jiwa dan akhlak bersosial baik antar masyarakat bersama ataupun individu serta membatasi bersosial media dengan menyebar Hoaks, firnah dan adu domba.
Allah SWT memberikan waktu bagi setiap muslim untuk memupuk rasa kebersamaan, Sama-sama merakan lapar, berbuka bersama-sama dan kita dilarang untuk saling mencaci seperti sabda Rasulullah SAW : “Bukan dikatakan puasa hanya karena meninggalkan makan dan minum. Tetapi yang dikatakan puasa adalah meninggalkan sesuatu yang tidak berguna dan kotor. Apabila ada seseorang mencacimu atau menghinamu, maka katakanlah: “Aku sedang berpuasa.”
Begitu lah Allah SWT dan Rasul-Nya mengajarkan kita. Bagi mereka yang ingin mendapat pahala lebih, Allah SWT memberikan ganjaran yang sama dengan orang berpuasa lain apabila seseorang menyediakan bukaan bagi saudaranya yang berpusa dan sejalan dengan apa yang Rasulullah SAW lakukan dengan memperbanyak bersedekah di bulan Ramadhan. Tidakkah ini adalah bermuhasabah dari Allah SWT dan tausiyah bagi setiap muslim untuk memupuk rasa persatuan dengan mempererat ikatan hati di antara sesama muslim.
Selanjutnya kewajiban setiap muslim memperhatikan urusan umat muslim lain dan saling bertolong-menolong. Artinya setiap golongan bahkan setiap muslim bertugas untuk memperkecil friksi-friksi yang terjadi antara umat islam. Agar setiap perbedaan tidak melahirkan perpecahan, bukankah kita disuruh oleh Allah SWT harus bersatu dan bertoleransi. Namun pemahaman yang salah dan kaku tentang bersatu dan toleransi melahirkan kesalahan yang lain bahkan sanpai ke titik ekstrim.
Tidak kita ditemukan ummatan islam, silakan bacakan Al-Qur’an dari awal sampai akhir. Tidak ditemukan, ummatan islamaiyatan, ummatan arabiyan, daulatan isalmiyatan. Yang ada adalah ummatan washatan, bil washatiyah,” katanya
Menurut Kiai Said, sejarah membuktikan, umat Islam dibangun oleh tokoh-tokoh yang berupaya menjadi ummatan washatan, moderat. Imam Hasan Basri misalnya, ia muncul menjadi perekat pada situasi umat Islam terpecah-belah karena persoalan politik dan mazhab pemikiran Islam selepas masa Tabi’in.
Kemudian, tokoh yang berupaya seperti itu adalah Imam Syafi’i yang mengambil sisi moderat dalam menyatukan syariat (fiqih) dengan menggunakan akal, tidak hanya tekstual.
Tokoh selanjutnya, adalah Imam Ghazali yang mengambil sisi moderat dengan menyelaraskan antara fuqaha dan (ahli fiqih) dan sufi (ahli tasawuf).
Seharusnya pemahaman akan perintah toleransi tidak hanya terhadap mereka yang non-muslim saja tetapi juga yang lebih berhak untuk itu adalah umat muslim itu sendiri. Sangat tepat apa yang diungkapkan oleh Syaikh Rasyid untuk saling menolong terhadap hal yang disepakati dan bertoleransi terhadap yang tidak disepakati.
Mengutip apa yang diungkapkan oleh Kh Said Aqil masalah umat ini terlalu besar untuk hanya ditangani atau diatasi sendirian. Kewajiban di antara kita adalah melakukan tausiyah dan saling bergotong-royong menghidupkan rasa persaudaraan kita, bukan saling mencerca dan saling membenci”. Perbedaan yang sebenarnya tidak begitu mendasar namum sangat cukup untuk memecah belah umat, jagalah bangsa Indonesia dengan penguatan nasionalisme. Wallhua’llam.
Penulis: Ilmi Najib