Potret pendidikan Indonesia bertambah hari bak awan hitam yang mengelabuhi kesahajaan moraliltas. Tidak lama, kita saksikan seksama adegan murid yang okang-okang kepada gurunya di Gresik – tersebar di media sosial. Guru SD di Malang yang mencabuli puluhan muridnya, hingga kemarin 25 Februari 2019 tersebar segerombolan pelajar SD yang menyanyikan lagu pemenangan salah satu calon presidan dan wakil presiden di kelas- dengan penuh semangat.
Hal itulah yang menjadi penting bagi kita, untuk kembali merefleksikan pendidikan bangsa. Buat apa pendidikan karakter itu dan bagaimana pengimplementasiannya. Sehingga kasus murid yang menantang gurunya berkelahi, guru yang mencabuli muridnya hingga agenda politik yang meracuni murid tidak lagi terjadi dalam pendidikan kita.
Yudi Latif dalam bukunya Menyemai Karakter Bangsa (2009) menyebutkan bahwa pendidikan karakter adalah sistem penanaman nilai- nilai karakter yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai hidup, baik terhadap Tuhan, diri sendiri, sesame manusia, alam, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia yang berakhlak mulia. Pendidikan karakter menggarap berbagai aspek dari pendidikan moral, pendidikan kewarganegaraan dan pengembangan karakter.
Fenomena pendidikan akhir ini sangat jauh dari nafas pendidikan karakter. Di mana dalam pendidikan karakter tidaklah hanya pengetahuan yang diutamakan, akan tetapi beberapa hal di antaranya adalah kesadaran untuk melaksanakan kebaikan kepada Tuhan, manusia dan alam semesta. Selain itu, pendidikan karakter juga terintegrasi dengan moralitas dan wawasan kebangsaan.
Persoalannya, sudahkah sekolah- sekolah menerapkan pendidikan karakter dengan baik dan benar? Apakah pendidikan karakter hanyalah jargon semata – dan hanya mengukurnya dengan lama belajar di kelas? Ataukah revolusi mental hanyalah bualan?
Mari kita selidiki bersama-sama dengan pikiran terbuka. Pendidikan bukanlah suatu seremoni atau rutinitas semata, yang menghadirkan guru dan murid, ruang kelas dan lapangan bola, jam datang dan jam pulang, LKS dan buku pelajaran atau bahkan toilet laki-laki dan perempuan. Pendidikan lebih komplek dari itu semua.
Pendidikan bukan hanya suatu pengajaran yang menghadirkan pengajar dan yang diajar. Sehingga, seolah yang diajar (murid) merasa dihajar sama si pengajar (guru). Pengajaran hanyalah membuahkan pengetahuan tanpa disertai jiwanya.
Berbeda lagi jika pendidikan itu mengedepankan aspek pemahaman menyeluruh, inklusif dan dialogi antar guru dan murid. Sehingga yang dihadirkan adalah pendidik dan yang dididik. Pendidik tidak hanya memberikan pengajaran berupa runtutan pengetahuan, akan tetapi pendidik berkewajiban untuk menyelami akal dan nurani peserta didik. Sehingga, dalam proses pendidikan ada transformasi nilai- pengetahuan dan kebajikan.
Sebagaimana yang dikatakan Socrates, “Kebajikan ialah pengetahuan . Manusia akan berkebajikan (saleh) jika mereka tahu apa kebajikan itu. Kejahatan ada akibat kebodohan. Pendidikan akan membuat manusia bermoral.”
Dari sanalah bisa kita telaah, bahwa pendidikan dituntut untuk mampu membangun manusia bermoral. Apalah arti segudang pengetahuan jikalau tidak disertai dengan moral yang baik, etika yang baik, akhlak yang baik atau wawasan kebangsaan yang baik pula. Manusia yang kurang pendidikannya akan menjadikannya bodoh, dan bodoh, amat dekat dengan kejahatan.
Oleh karena itu, pendidikan sangatlah penting untuk menjadikan manusia bermoral, tidak sekedar berpengetahuan. Berbagai cara bisa kita lakukan dengan beberapa aspek; agama, kebangsaan dan kearifan lokal. Ketiga inilah menjadi aspek untuk menemukan moralitas diri.
Pertama, agama inilah yang menjadi sumber moralitas. Sebagaimana kisah para nabi yang diutus untuk menjadi juru penyelamat umat manusia, agar tidak terjerumus oleh angkara murka; di antaranya; kebodohan, kesesatan, keserakahan, kemunafikan dan sifat tercela lainnya.
Agama menjadi tameng terdepan menghadapi perilaku tercela dalam masyarakat. Sebagaimana tugas Muhammad dalam menyebarkan agama kepada manusia. Tidak lain dan tidak bukan yang utama adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia- innama buitstu liutammima makarimal akhlaaq.
Muhammad tidak hanya diutus untuk mengajarkan matematika, bahasa, ekonomi, ilmu sosial dan politik- akan tetapi yang lebih utama adalah menyempurnakan akhlak. Pendidikan apapun yang diajarkan nabi ataupun para sahabat, tiadalah berarti jikalau ia buta akan akhlak mulia. Setinggi ilmu di langit, jikalau kebajikan tiada menyertai, apalah gunanya.
Kedua, pendidikan tentang nilai nilai kebangsaan dan kenegaraan. Wawasan kebangsaan menjadi sebuah realitas kehidupan berdampingan satu sama lain. Di mana agama lebih menonjolkan aspek spiritualitasnya.
Wawasan kebangsaan ini menjadi penting bagi anak didik untuk memahami nilai nilai keindonesiaan. Indonesia yang majemuk, plural, saling menghormati dan cinta tanah air dengan turut serta membangun perdamaian dan keadilan sosial. Sehingga, anak didik sudah terbiasa menerapkan nialai kebangsaan sejak dini.
Jikalau anak didik kurang dalam wawasan kebangsaan ini, bisa jadi virus intoleransi dan radikal terorisme memengaruhi nalar pikirnya. Sebagaimana dalam film dokumenter Jihad Selfie. Kisah si anak yang ikut serta berjihad (aksi teror), dikarenakan teman sebayanya mengikuti aksi terror terlebih dahulu – hingga merusak keamanan berbangsa dan bernegara.
Ketiga, kearifan lokal menjadi sangat penting. Pengetahuan akan kesejarahan, kesenian hingga kebudayaan akan mebangun karakter anak berbasis lokalitas. Pengetahuan yang diperoleh dari akar pengetahuan lokal yang arif dan bijaksana.
Kata Bung Karno Jasmerah, jangan sekali-kali melupakan sejarah. Karena sejarah adalah masa lampau, kini dan nanti yang akan mengantarkan kita kepada peradaban yang lebih baik. Tanpa sejarah, tiadalah kebudayaan, tanpa budaya tiadalah peradaban, tanpa itu semua tiadalah pengetahuan.
Kearifan lokal pendidikan bangsa Indonesia ini perlu diajarkan kembali ke anak didik. Karena, banyak anak didik yang tidak tahu apa itu makna andhap asor, tepa slira, becik ketitik ala ketara, hingga istilah pamungkas tentang pendidikan yang diajarkan Ki Hajar Dewantara; ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.
Ketiga aspek itu akan menjadi pengikat pendidikan karakter bangsa Indonesia. Beragama dengan teguh, berbangsa dengan penuh toleransi dan perdamaian serta berbudaya dengan penuh kearifan. Jika itu dilakukan dengan baik, tiada mimpi bagi bangsa yang bermoral dan berwawasan rahmatan lil alamain.
Penulis: Al Muiz Liddinillah