Pada bulan April 2024 lalu, kita digemparkan dengan tayangnya film Siksa Kubur yang disutradarai oleh Joko Anwar. Berbagai respons pun muncul akan hadirnya film ini, seperti “mengapa ada isu agama yang dibawa?”. Ekspektasi penonton mungkin terbawa pada sudut pandang dimana akan ada banyak ketakutan-ketakutan terkait balasan yang mengerikan bagi kaum yang kurang beriman seperti bagaimana masyarakat membangun pemahaman Siksa Kubur selama ini.
Sang Sutradara menyelipkan isu-isu sosial ke dalam film karyanya. Segala obsesi pemain utama dalam membuktikan kebenaran siksa kubur itu dibalut dalam tiga isu sosial yang genting di Indonesia, yakni 1) isu terorisme; 2) kekerasan seksual di pondok pesantren; dan 3) panti jompo.
Isu terorisme dalam film Siksa Kubur ini ditunjukkan saat scene awal dengan munculnya serangan bom bunuh diri yang menewaskan orang tua Sita (diperankan oleh Faradina Mufti) dan Adil (diperankan oleh Reza Rahadian). Selain itu, tempat yang dipilih pun signifikan dimana ada easter egg menarik dalam film dimana bom bunuh diri itu dilakukan di toko yang terafiliasi ke perusahaan Amerika Serikat. Cuplikan itu mengindikasikan bahwa pelaku teror, selain berangkat dari persoalan “ketakutan terhadap agama”, juga diwarnai dengan “sentimen anti-Barat” yang disimbolkan dengan penyerangan terhadap simbol yang merepresentasikan Amerika. Ideologi ini hampir serupa dengan kelompok Islam garis keras yang terafiliasi pada ISIS atau Jemaah Islamiyah yang terafiliasi ke Al-Qaeda yang melihat Amerika sebagai common enemy. Begitupun juga pada tragedi Bom Bali yang diwarnai isu sentimen Amerika yang dituduh sebagai dalang kesengsaraan umat Muslim di Afghanistan.
Lebih lanjut, pesan yang paling tersirat adalah bagaimana agama lalu menjadi trigger seseorang untuk melakukan kerusakan di bumi. Ulah oknum beragama ini memiliki efek domino. Khalayak menjadi skeptis soal agama bahkan cenderung menjaga jarak dari agama. Siksa Kubur kemudian merekam isu ini dengan sangat baik sebagai pengingat bagi umat beragama (secara general) bahwa “agama seharusnya menyejahterakan, bukan merugikan”. Pesan moral ini inklusif bagi semua masyarakat yang mendambakan perdamaian sosial.
Konsep religi dengan imaji ala sineas tak sembarangan dicampurkan dalam memproduksi film Siksa Kubur ini, modifikasi dan tampilan konsep-konsep pengajaran agama secara metaforis dengan menggunakan dramaturgi dan gaya teatrikal dalam membangun latar cerita pun menjadi pilihan. Ditambah dengan dialog yang menguji nalar, pula dengan open ending dari film ini yang memberikan pandangan dan ekspektasi terbuka kepada para Penonton, sehingga moral value yang dimaknai pun beragam sesuai dengan proses pemahaman individu itu sendiri. Sedangkan menurut pemahaman saya, dari film ini saya memaknai bahwa konsekuensi dari perbuatan kita dalam hidup itu pasti ada, jika baik maka berakhir baik pula, begitupun juga sebaliknya. Bahkan tidak melulu menunggu Siksa Kubur atau fase selanjutnya pasca kematian, konsekuensi perbuatan manusia bahkan ada yang terjadi saat masih hidup. “konsekuensi baik atau buruk?”, pilihan ada di tangan kita. Pemaknaan selanjutnya adalah semua agama itu mengajarkan perdamaian dan cinta kasih, konsep Tri Hita Karana benarlah adanya, bukanlah ketakutan atau imbalan yang kita harapkan sebagai landasan kita berbuat, namun seharusnya cinta. Cinta kepada Tuhan, manusia, dan alam.
Penulis : Ajeng Adinda Putri