Kelompok-kelompok Islam yang menyebut dirinya sebagai Islam sejati ialah sebenarnya mereka sedang mencari dalih bagaimana Islam harus dipraktikkan. Indonesia misalnya, ditumbuhi berbagai gerakan-gerakan Islam nasional maupun transnasional. Realitas ini tidak menafikkan bahwa Indonesia sebagai negara yang memang majemuk. Keberadaan agama lain juga menjadi salah satu keniscayaan dalam realitas kehidupan. Ini yang harus menjadi salah satu objek dalam hidup berdampingan sebagai warga negara Indonesia untuk saling erat berkait antara satu sama lain dalam mengakumulasikan rumus damai.
Keberadaan kelompok-kelompok Islam yang tumbuh subur di Indonesia seharusnya mempunyai misi yang sama dalam membangun negeri ini. Iya, boleh jadi ideologi berbeda, akan tetapi dalam menuju kemerdekaan dan kebebasan dalam hidup harus bisa memiliki kesamaan. Misalnya, sisi kemanusiaan ialah sisi yang menjadi titik tekan dalam membangun keutuhan dari keberagaman ini. Berbeda suku, agama, kelompok, tidak perlu diujarkan kembali. Memang seharusnya bergerak nyata dalam mengafirmasi setiap tujuan baik perlu usaha penuh untuk mewujudkannya. Bukan karena nafsu atau semangat yang tak terbarengi sama sekali dengan pondasi spiritual yang kuat, itu malah jatuhnya ialah pada kubangan radikalitas yang fanatis.
Menyikapi uraian kata terakhir di atas mengenai radikalitas dan fanatis tidak lepas dari rujukan yang selama ini telah mengilhami suara-suara pekikan yang lantang takbir. Ini salah satu ritus yang salah kaprah dalam kontekstualisasi Islam dalam sejarahnya. Memaknai kembali Islam dalam bentangan sejarah yang panjang, bukan leterlek dan rigid. Perlu adanya melihat kembali dalam kacamata sejarah dan bahkan ilmu bantu yang ikut serta dalam merekonstruksi peristiwa sejarah itu. Ini perlu dan penting, kenapa? Karena pada dasarnya hidup tidak lepas dari kemasyarakatan, kebudayaan, ekonomi, kasus sosial dan politik dan mungkin banyak analisa lain.
Kalau hanya melihat sejarah Islam yang hanya sebatas semangat berjuang dalam mendirikan negara-negara Islam yang berbalut dinasti-dinasti di belahan dunia Islam, pada dasarnya itu hanya gesekkan dan faktor ideologi teologis. Peradaban wafatnya Nabi Muhammad Saw yang kemudian jatuh pemerintahan ke bahu-bahu para amirul mukminin, bukan karena faktor Islamis dan konsep gradual yang kaku. Mereka mempraktikkan bagaimana kepemimpinan yang Islami, melayani rakyat, bukan tujuan mewah, gagah dan kuasa suaka. Melainkan itu hanya seutas tujuan yang pada akhirnya membuat mereka kelindan dan hilang dari jangkauan sebagai panutan.
Kemunculan dinasti-dinasti Islam di belahan dunia Islam telah terpotret oleh generasi modern dalam gerakan Islam. Penyesuaian ini tidaklah valid dan akurat, kenapa? Pasalnya dinasti-dinasti itu berdiri dalam nuansa teologis dan mazhab dalam kelompok mereka. Sehingga pada aras di mana mereka telah membesar dan memiliki suara dengan perlahan mereka berevolusi tujuan dalam ikut serta regulasi peradaban dunia. Ini nyata dalam sejarah Islam, kita lihat berdirinya dinasti Idrisyah, Aghlabiyah, Fatimiyah bahkan Murabithun dan Muwahiddun tidak lepas dari latar belakangnya dari sebuah kelompok-kelompok keagamaan yang menjelma menjadi dinasti besar dan bergerak dalam kekuasaan.
Sehingga bagaimana? Mereka saling konflik, bukan lagi teologis, tapi konflik politik karena teologis. Tujuan yang merembes ke wilayah ekonomi, kekuasaan dan wilayah yang kemudian membuat Islam menjadi sebuah tunggangan yang empuk dalam meraih dan merauk keuntungan yang besar, tapi mereka sendiri sesama Muslim saling tegang, konflik bahkan tumpah darah demi kekuasaan. Dari wilayah dan ranah agama, dibawa ke arah politik, ini kesalahan. Salah di mana? Ketika mereka menggunakan agama hanya sebatas transportasi untuk melenggangkan semua hasrat tujuan mereka.
Sejatinya bahwa agama harus menjadi ruh spiritualitas yang mampu tertanam dalam jiwa dan terpatri dalam hati dan terejawantah dalam laku kita setiap hari. Sehingga makna sebagai seorang negarawan tidak lepas dari tujuan maslahat yang memberi manfaat pada sesama.
Ini terkait erat dengan makna yang kemudian muncul gerakan-gerakan yang berafiliasi pada konsep radikal dan fanatis dalam beragama yang sehingga mewujud dengan tujuan-tujuan tidak sesuai keadaan. Misalnya khilafah yang mengusul di Indonesia sebagai salah satu jalan tengah. Ini tidak relevan dengan konsep realitas kemadanian masyarakat Indonesia. Dari tujuan yang berlandaskan agama, tapi arahnya buruk, ini berakibat buruk pula, sehingga konsep khilafah hanya seutas tujuan bertuliskan nama tapi tidak terorientasi pada setiap tujuan keadaan masyarakatnya.
Radikalisme agama muncul juga karena kefanatikan daripada masing-masing kelompok yang enggan membuka diri dengan realitas yang ada. misalnya, penulis membicarakan Islam Nusantara, tidak sepenuhnya sepakat dengan jargon ini, kenapa? Karena kita dihadapkan dengan realitas kelompok Islam yang berbeda-beda. Apakah jargon ini mempolitisasi Islam sebagai kewilayahan? Tidak, tidak ada kata politisasi dalam Islam dalam konteks wilayah. Karena Islam rahmatan lil ‘alamin, untuk semua. Maka, makna dalam berislam bukan pada tujuan luar yang nampak, tapi perlu sedikit menyelam dan melihat sisi terdalam bahwa Islam dan realitas tidak pernah jauh-jauhan.
Dari sorotan aksioma itu kita bisa analisa bahwa kemunculan Islam dalam karuhun yang radikal dan fanatis disebabkan karena adanya titik tekan ideal yang enggan mau belajar. Sehingga begitu banyak dan tidak bisa dicatat di Indonesia sendiri gerakan-gerakan Islam dari Sabang sampai Merauke yang terkontaminasi haluan-haluan keras yang menyuarakan Islam hanya sebatas kulitnya. Ini yang kemudian ditakutkan bahwa nasionalisme akan rapuh dan hilang dalam jiwa-jiwa generasi bangsa yang hari ini menjadi sasaran empuk bagi kelompok-kelompok tersebut. narasi-narasi media maya yang mudah dicerna seakan itulah umpan bagi kalangan yang serba praktis dalam mengkonsumsi beragama. Dari situlah mereka akan mudah masuk dan terprovokasi ideologi dan menjadi bagian kelompok yang akan digerakkan dalam menyebar narasi-narasi tegas nan radikal.
Tidak ada yang salah dalam beragama, baik keras, halus, moderat, puritan, karena umat Nabi Muhammad Saw itu beragam wataknya. Apalagi yang sudah melintas batas benua hingga ke Indonesia, semua termanifestasi dari sejarah umat yang menggambarkan keberbedaan tidak untuk dipertentangkan. Namun, salah ketika mereka bersikeras dalam menegakkan sesuatu tanpa landasan realitas. Indonesia dipaksa untuk menjadi negara yang syar’i dimungkinkan tidak bisa, karena Indonesia merupakan negara yang beragam, meskipun mayoritas Islam. Namun, ketika dipaksa untuk sekuler pun juga tidak mungkin, karena memang Indonesia mayoritas umat Islam. sehingga yang mana? Sehingga tujuan akhir dari sebuah keragaman yang ada di Indonesia ini, tidak lepas dari sisi jalan tengah dalam perihal sikap dan menyikapi realitas tersebut. Istilah boleh Barat, akan tetapi esensinya memberi kesan bahwa Islam hadir dalam setiap makna untuk membangunnya. Pun, juga agama lain, ikutserta dalam menyusun keberagaman itu dalam nuansa yang hidup bernegara. Ini sebagai tujuan hidup beragama, bernegara di Indonesia bahwa kebersamaan dalam satu ikatan ialah keharusan yang tidak akan pernah bisa putus. Karena dari sinilah masyarakat madani Indonesia akan hidup indah, damai, rukun dan saling menghargai satu sama lain dalam merangkai dan mewujud impian bersama untuk Indonesia yang damai. Hilangkan radikalime dan fanatisme dalam beragama, karena itu yang akan membuat hidup beragama di Indonesia sukar menemui titik harmoni dalam kemajemukan yang ada ini.
___
Penulis: Ahmad Zainuri
Foto: jalandamai.org