Indonesia adalah bangsa yang kaya akan budaya. Dari Sabang sampai Merauke ada beribu makna bahasa yang diikat dalam bahasa satu bahasa Indonesia. Dari banyaknya bahasa ada didearah tertuntu yang memiliki huruf khas. Seperti halnya Jawa dengan bahasa dan huruf jawanya sendiri. Tapi sayangnya ketika tahun awal tahun 1900 bangsa Indonesia 99% dicap buta huruf oleh Belanda. Ternyata survei yang dilakukan Belanda tersebut mengambil sampel masyarakat yang bisa membaca huruf latin. Tentu saja survei itu betul karena rakyat Indonesia dulu lebih mengenal huruf jawa atau huruf daerah masing-masing dan huruf arab pegon dikalangan pesantren.
Sejarah berdirinya sekolah dijelaskan oleh Hasyim Wahid dalam bukunya Telikungan Kapitalisme Global Dalam Sejarah Kebangsaan Indonesia ‘’ Disamping perubahan yang terjadi di kawasan Eropa akibat munculnya konsep negara bangsa, perubahan di kawasan Asia Tenggara ini mempengaruhi politik kolonial Belanda atas Hindia Belanda. Perubahan ini secara monumental terlihat dalam kebijakan Politik Etis’’ Jadi memang berdirinya sekolah di Hindia Belanda dilatarbelakangi dan dipengaruhi oleh perubahan dunia. Selanjutnya Hasyim Wahid Mengatakan ‘’Dampak paling nyata dari kebijakan Politik Etis ini adalah terbukanya kesempatan yang makin luas di kalangan pribumi untuk memperoleh pendidikan modern ala Barat. Pada mulanya kesempatan ini diisi oleh golongan priyayi, namun karena adanya kebutuhan tenaga birokrasi yang makin meningkat, sebagai akibat dari perubahan peraturan pemerintah mengenai jabatan birokrasi(Burger, 1956), akhirnya banyak juga anak priyayi rendah dan bahkan anak orang biasa yang masuk dalam pendidikan ala Barat. Akibat lebih jauh dari kondisi yang demikian adalah terjadinya perubahan struktur sosial masyarakat Hindia Belanda’’
Atas jasa Belanda pada akhirnya masyarakat bisa belajar dibangku sekolah dan membaca huruf latin. Sejak berdirinya Budi Oetomo pada 1908 literasi bangsa Indonesia dengan huruf latin dimulai. Semakin berkembangnya zaman, sekolah bisa dinikmati anak-anak yang berumur empat tahun. Mulai dari tingkat Taman Kanak-Kanak sudah dikenalkan dengan huru-huruf dan dikenalkan menulis ditingkat Sekolah Dasar. Sederhananya sejak kecil kita sudah diajari untuk mengenal dan belajar berliterasi. Ketika sudah memasuki fase dewasa, apakah kita memaknai literasi hanya sebatas kegiatan membaca dan menulis?Lantas apa makna literasi yang tepat saat ini?
Belajar literasi sejak dini memang penting, tapi pola pikir kita tidak boleh stagnan memaknai literasi seperti anak kecil. Semakin banyak literatur atau buku-buku yang dibaca tentulah pemikiran kita semakin dewasa. Pengetahuan yang luas diharapkan selaras dengan sikap kita pada sesama manusia. Artinya tidak mudah marah, terpancing emosi, dan bisa mendamaikan terutama berdamai dengan diri sendiri. Kita bisa memaknai literasi dengan proses atau kegiatan merujuk pada literatur, buku-buku, membentuk karatker, mencari informasi, mengutip informasi, dan anatomi teks.
Semakin luas pemaknaan literasi semakin luas juga tantangan yang dihadapi. Apalagi di era digital, manusia tidak gampang hidup dijaman informasi. Mengapa demikian? Karena jelas di era digital infomasi yang masuk sangatlah banyak dan mudah diakses. Tanpa tahu apakah itu informasi yang benar atau hoaks. Uniknya masyarakat yang literasinya rendah malah sering membagikan informasi-informasi tersebut kepada yang lain. Tanpa diklarifikasi dahulu mereka meyakini kebenarannya, apalagi dibumbui dengan embel-embel agama. Inilah pentingnya pemaknaan ulang literasi, dasarnya memang membaca itu yang paling penting. Dari membaca kita dituntut untuk membentuk karakter berbudi. Tidak menjadi manusia yang berliterasi rendah tapi budaya komentar tinggi. Tentu ini sangat bertolak belakang.
Tingkat kebenaran netizen di dunia maya berdasarkan oleh jumlah followers, like, dan subscribe. Tak heran jika kemudian muncul orang yang sok pintar sok bijak hanya karena banyak yang simpati padanya padahal apa yang disampaikan itu boleh jadi suatu hal yang bersifat propoganda, yang memecah belah dan menimbulkan kekacuan di masyarakat. Sederhananya ‘’Ilmu dan Amal itu sesuatu yang lain, kalau bodoh apa yang mau diamalkan?
Netizen yang budiman adalah nitezen yang bijak memilah-memilih informasi dan mampu menciptakan perdamaian serta kondusifitas di dunia maya. Menjadi netizen yang waras adalah dengan mampu berfikir literat, kritis transformatif dan mewujudkan perdamaian dunia melaluli literasi.
Penulis: Moh Yajid Fauzi – Mahasiswa Universitas Islam Malang. Ketua umum Himpunan Mahasiswa Progam Studi Ahwal Syakhshiyah periode 2018/2019. Aktif sebagai Penggerak Gusdurian Muda Malang.