Akhir tahun lalu, Kiai Zawawi Imron yang dijuluki celurit emas asal Madura dianugerahi penghargaan oleh Presiden Jokowi. Penghargaan dalam bidang sastra dan religi. Sebagaimana pidato kebudayaan yang dibawakan oleh kiai Zawawi saat kongres kebudayaan Indonesia, 7 Desember 2108 di Kemendikbud RI.
Penganugerahan itu tidak tanpa sebab. Penganugerahan itu memang dari kiprah kiai Zawawi yang istiqomah merawat kebudayaan bangsa dengan nilai-nilai agama yang benar dengan segala keluwesannya. Nilai agama yang mendukung kebudayaan bangsa sebagai aset persatuan dan kesatuan.
Mencari Titik Temu Kebebasan Kreatif dengan Puritanisme Agama dipilih sebagai topik pidato kebudayaannya di hadapan ribuan orang. Kiai Zawawi ingin memberikan pidato yang bernas di tengah puritanisme agama yang marak. Di tengah fitnah dan kebencian dengan mudah dilontarkan untuk menjatuhkan kemanusiaan.
Di sini lah peran kiai atau ulama diperlukan. Sebagai mediator dan fasilitator hidup berbangsa dan bernegara dengan nilai luhur. Nilai luhur yang telah termaktub dalam kebudayaan bangsa dan agama.
Pengantar pidato kebudayaan kiai Zawawi mengatakan bahwa salah satu yang sangat berharga pada manusia adalah akal sehatnya, yaitu pikiran yang mendalam tentang kemanusiaan. Sebagai makhluk Allah yang termulia, manusia harus menggunakan pikirannya sejernih mungkin. Pikiran yang tidak jernih dan tidak sehat sangatlah berbahaya, karena akan membuat seseorang hanya tahu kepentingannya sendiri dan menutup mata kepada kepentingan orang lain. Maka yang akan berkembang dalam dirinya ialah sifat dan sikap egois tanpa punya rasa simpati kepada kepentingan orang lain.
Poin pertama dari amanat kiai Zawawi adalah sebagai manusia hendaklah kita menjaga akal sehat. Sebagai manusia, harta terbesar adalah akal sehat. Akal sehat ini adalah anugerah terbesar dari Allah, yang diberikan kepada manusia, agar digunakan dengan baik, untuk merawat kewarasan zaman.
Mengapa demikian? Karena dengan akal sehat kita bisa menjaga gangguan atau ancaman berbangsa dari akal pincang. Akal pincang manusia yang jauh dari rasa kasih sayang. Sehingga akal pincang itu yang mengganggu kehidupan bangsa dengan menghalalkan segala cara demi memenuhi kepentingan dirinya dan kelompok.
Sebagai manusia yang berakal, tentu harus didasari hati yang jernih. Tanpa hati yang jernih, bangsa ini menjadi bangsa yang angkuh dan enggan berefleksi, enggan bernostalgia, enggan belajar dari sejarah- karena merasa digdaya. Hati yang jernih inilah ibarat Padi yang semakin berisi semakin menunduk- seorang yang berilmu harusnya semakin menunduk dan rendah hati- begitulah bahasa agama tentang kebesaran hati.
“Maka bahasa agama yang konkret adalah bahasa tindak tanduk dan perbuatan Kasih Sayang Allah yang selalu kita kumandangkan melalui lidah, kita lanjutkan dengan terjemahannya dalam bahasa yang nyata yaitu bahsa perbuatan.” Ujar kiai Zawawi di tengah pidatonya.
“Agama yang memihak kehidupan dan kesejahteraan bangsa tentu membutuhkan bahasa kasih sayang. Jika agama itu substansinya kedekatan hati dengan Tuhan. Dalam bahasa Bugis; Akuunnawa patunjukko mamadecceng kalawing ate- berpikirlah kamu dengan hati yang jernih, kemuliaan akan menyelimuti hatimu,” tambah kiai Zawawi.
Kiai juga mengajak semua yang hadir untuk menumbuhkan budaya akal sehat kolektif. Budaya akal sehat kolektif ini lah yang akan membentuk dan membangun jati diri bangsa. Dengan terus menjalankan sebagai amal sholeh.
Budaya akal sehat kolektif perlu terus kita wacanakan dan kita jalankan sebagai media untuk menangkal hoaks, kebenciaan, SARA di dunia maya, atau dunia lainnya. Mengapa demikian? Budaya akal sehat kolektif akan menjadi budaya yang mengajak kita semua menjadi hamba yang berfikir dan mengingat Kebesaran Allah- sehingga menjadi budaya luhur bangsa. Dengan budaya akal sehat kolektif inilah, kita tidak lagi saling memmbenci dan mencela.
Budaya akal sehat kolektif ini juga bisa diwujudkan dengan sebuah kreatifitas budaya. Kreatifitas kebudayaan ini juga akan membawa bangsa yang sehat akalnya, jiwanya dan raganya. Menjadi budaya bangsa yang menjunjung tinggi budi luhur- melalui kreativitas yang tiada matinya.
Agama dan budaya bercumbu menjadi satu, bak mawar mekar semerbak mewangi di belantara zaman. Biarpun zamannya semakin edan, agama dan budaya akan menjadi keindahan bagi penduduk bumi dan keindahan untuk semesta. Keindahan yang mengantarkan kita pada keadilan dan kesejahteraan bangsa.
Penulis: Al Muiz Liddinillah