Dalam dunia peradaban Islam, arus intelektual Islam tidak terlepas pada era abad pertengahan yang menandai munculnya berbagai tokoh-tokoh pemikir yang luar biasa. Bentuk sumbangsihnya dalam dunia intelektual menjadi rujukan bagi Islam maupun umat agama lain. Restorasi keilmuwan menjadi arus utama ketika membincangkan ketokohan ulama.
Di Indonesia juga banyak tokoh yang lahir dan menjadi sandaran akan buah pemikiran, karya-karya, gerakan-gerakan beserta keteladanan akan akhlaknya, salah satunya adalah KH. Hasyim Asy’ari sebagai sosok tokoh Islam Indonesia yang mempunyai marwah yang indah di dalam peradaban Islam Indonesia maupun dunia.
KH. Hasyim Asy’ari adalah sosok ulama’ yang begitu akrab di telinga umat Islam, khususnya Indonesia, beliau merupakan pendiri organisasi Islam terbesar di Indonesia yaitu Nahdlatul Ulama’. Ketokohan dan keharuman nama beliau bukan hanya dikarenakan dakwah beliau sebagai pendiri NU saja, namun juga karena beliau termasuk pemikir dan pembaharu Pendidikan Islam.
KH. Hasyim Asy’ari dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan pesantren, beliau banyak menuntut ilmu dan berkecimpung langsung di dunia pesantren maupun di luar. Semua yang dialami dan dirasakan beliau menjadi pengalaman dan mempengaruhi pola pikir dan pandangan dalam masalah-masalah pendidikan.
KH Hasyim Asy’ari adalah seorang kyai yang sangat mementingkan nilai-nilai keagamaan, pendidikan dan persatuan bangsa dalam mendidik santri-santri di pesantrennya. Dalam memberikan pengajaran, beliau tidak hanya memberi pelajaran agama tetapi juga menjadi pelopor masuknya ilmu pengetahuan umum ke pesantren Tebuireng, meskipun pada waktu itu pendidikan umum masih dianggap sebuah kemungkaran.
KH. Hasyim Asyari menjadi salah satu sosok sentral dalam peletakan dasar batu kemerdekaan Indonesia. Sosok KH. Hasyim Asyari begitu istimewa, karena beliau adalah salah satu pahlawan nasional yang memiliki kedalaman ilmu agama namun tetap menaruh perhatian yang luar biasa terhadap pergerakan kemerdekaan.
Nasionalisme Kyai Hasyim dapat dilihat dari keseluruhan hidupnya yang dipersembahkan untuk kemerdekaan dan kemajuan bangsa. Beliau ikut berjuang melawan penjajah dan tak gentar melawannya. Kyai Hasyim melarang para ulama lain mendukung Belanda ketika diserang Jepang dalam Perang Dunia II, bagi beliau haram hukumya berkongsi dengan penjajah karena penjajahan dalam bentuk apapun tidak dibenarkan dalam Islam.
Beliau juga tidak mau menuruti perintah Jepang untuk melakukan seikerei (membungkukkan badan ke arah Tokyo setiap pukul 07.00 untuk menghormati kaisar dan dewa matahari) yang membuat Jepang sangat marah dan kemudian menangkap dan memenjarakan beliau. Perlakuan jepang saat itu sangat kasar terhadap KH. Hasyim Asy’ari, sampai-sampai jari tangan beliau patah dan tidak bisa digerakkan.
Dan yang paling fenomenal adalah fatwa jihad yang dikeluarkan Kyai Hasyim bersama ulama-ulama lain pada 22 Oktober 1945. Fatwa ini memberi legitimasi kepada para pejuang kemerdekaan untuk melawan tentara-tentara Belanda sehingga semangat para pejuang menjadi berlipat ganda. Peristiwa 10 November di Surabaya adalah bukti bahwa fatwa jihad tersebut sangat ampuh membakar keberanian suci para pejuang.
Kyai Hasyim Asyari telah berhasil memformulasikan agama sebagai motivasi dasar sekaligus sumber legimitasi yang menggerakkan perjuangan melawan penindasan. Beliau menjadi panutan pada tahun 1942-1947 dalam menentukan arah dan pengerahan massa santri “pejuang” dalam melawan sekutu. Dengan fatwanya “Resolusi Jihad”, KH Hasyim Asy’ari mengimbau dan mengajak para santri pejuang untuk berjihad fisabillilah melawan penjajah yang melahirkan peristiwa perang besar yang dikenal sebagai Hari Pahlawan 10 November 1945.
Kepedulian Kyai Hasyim Asyari terhadap tanah air juga diwujudkan melalui pendidikan agama yang memperkokoh semangat kebangsaan dan kemajuan, karena pada waktu itu orang berpikir tentang kemerdekaan, belum berpikir tentang pendidikan, namun beliau sudah memikirkan hal itu. Kyai Hasyim memiliki komitmen yang kuat di bidang pendidikan dan pemberdayaan umat.
Adapun dalam perjalanan KH. Hasyim Asyari dalam mendirikan sebuah lembaga pendidikan di Jombang banyak menuai halang rintang. Namun, akibat tekad yang kuat KH. Hasyim Asyari mendirikan pondok pesantren Tebu Ireng di Jombang sebagai lembaga pendidikan Islam yang tradisional yang menirukan konsep para wali songo dalam mensyiarkan Islam. Kemudian juga persinggungannya dengan Belanda, yakni ketika pesantren dipandang sebagai sarang kaum-kaum pemberontak untuk melawan Belanda.
Konsep pesantren dengan gaya belajar yang tradisional tidak dihapus oleh KH. Hasyim, sebagai bentuk peninggalan model pengajaran dari masa Islam klasik hingga para wali songo datang ke Nusantara. Namun, KH Hasyim mencoba mengelaborasi pelajaran di pesantren dengan memasukkan bahasa Belanda sebagai mata pelajaran yang pokok.
Media KH. Hasyim Asy’ari dalam menyebarkan nilai-nilai toleransi dilakukan dengan cara mendirikan pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam, dengan memasukkan mata pelajaran yang multikultural baik dari sisi keislaman, keduniaan, dan kebahasaan. Tidak merobohkan metode pembelajaran ala pesantren, tapi dengan mengelaborasi konsep pendidikan modern dengan konsep metode pembelajaran ala pesantren, sebagai bentuk pembangunan sumber daya manusia islami yang mempunyai daya intelektual luas dan membangun arah peradaban Islam Indonesia dengan nuansa kepesantrenan (tradisionalis) yang berkemajuan (modernis).
Penulis: Ahmad Zainuri (Duta Damai jawa Timur)