Kajian ini cukup menarik di tengah kehidupan bangsa kita yang terombang ambing oleh berbagai isu; intoleransi, radikalisme, korupsi dan sebagainya. Dalam sebuah ayat Al Qur’an dijelaskan bahwa Allah menciptakan kita semua berbangsa-bangsa, agar kita saling mengenal. Istilah bangsa sendiri sudah dikenalkan islam dari ayat tersebut, akan tetapi dalam konsep modern, belumlah menjawab konsep kebangsaan, kewargaan atau kewarganegaraan yang ada.
Kemudian bermunculan wacana baru tentang konsep kebangsaan atau kenegaraan dalan islam. Apakah islam telah merumuskan kebangsaan? Atau bentuk negara yang ideal. Berikut penulis memaparkan sedikit gambaran terkait bangsa ataupun negara- dan bagaimana korelasinya dengan ahlussunnah wal jamaah.
Sebelum jauh menerka gagasan kebangsaan dalam islam, perlu kiranya kita mengetahui defenisi terkait kewargaan, kewarganegaraan, kebangsaan hingga nasionalisem. Kewargaan (citizenship) merupakan suatu sistem politik yang memberikan hak setiap orang untuk aktif berpolitik. Kewarganegaraan merupakan satuan control politik (negara). Kebangsaan (nationality) adlah seseorang warga negara yang hidup yang tidak memiliki hak aktif berpolitik, akan tetapi berhak atas perlindungan hukum. Sedangkan nasionalisme adalah paham untuk menciptakan atau mempertahankan kedaulatan/ kedaulatan negara.
Dari definisi tersebut, islam dalam manhaj aswaja mengenalkan pada kerangka berfikir tasamuh, tawazun, taadul dan tawasuth. Nilai-nilai toleran, seimbang, adil dan moderat. Akan tetapi, dalam konsep bernegara, bagaimana manhaj yang bisa dikembangkan? Apakah aswaja sebagai manhaj sudah bisa menyelesaikan dialektika kebangsaan dan kenegaraan tersebut?
Jika ditarik dari akarnya islam adalah agama universal. Universalitas Islam ini mencakup islam agama yang relevan dengan perkembangan zaman, dikatakan dalam konsep ‘sholih likulli zaman wa makan’. Islam juga dikenal sebagai agama ramah ‘rahmatan lil alamin’. Islam juga dikenal sebagai agama pembebasan ‘Islam Al Hurriyah’.
Dari gagasan itulah, islam mendefinisikan dirinya dalam konsep kebangsaan dan kenegaraan. Dalam islam dikenal konsepsi Syuro (musyawarah), dalam Al Qur’an banyak dijelaskan . Implementasinya, pada abada 5 H/ 11 M, Imam Al Mawardi menulis rumusan tentang pergantian imam, akan tetapi caranya tidak tahu.Berikut dalam rasionalisasi lain, ada pemikiran Imam Ghozali; dafu’ daruri ma’sumi, mencegah warga dari kerusakan.
Gagasan itu, terus dikembangkan dengan adanya Maqosid Syariah, yang dirumuskan secara sistimatis oleh ahli ushul fikih bermadzhab Maliki dari Granada (Spanyol), yaitu Imam al-Syatibi (w. 790 H). Konsep itu ditulis dalam kitabnya yang terkenal, al-Muwwafaqat fi Ushul al-Ahkam, khususnya pada juz II, yang beliau namakan kitab al-Maqashid. Menurut al-Syatibi, pada dasarnya syariat ditetapkan untuk mewujudkan kemaslahatan hamba (mashalih al-‘ibad), baik di dunia maupun di akhirat. Kemaslahatan inilah, dalam pandangan beliau, menjadi maqashid al-Syari’ah. Dengan kata lain, penetapan syariat, baik secara keseluruhan (jumlatan) maupun secara rinci (tafshilan), didasarkan pada suatu ‘Illat (motif penetapan hukum), yaitu mewujudkan kemaslahatan hamba.
Rumusan rumusan maqosid Syariah terdiri dari; hak atas keselamatan fisik, hak atas keselamatan keyakinan, hak atas keselamatan keluarga dan keturunan, hak atas keselamatan harta benda, hak atas keselamatan pekerjaan dan profesi.
Dari situlah universalitas islam menunjukkan taringnya dan menuntut perlindungan warga negara secara maksimal, dengan beberapa hal di antaranya: Perlunya kedaulatan hukum ditegakkan, Persamaan perlakuan di mata hukum, dan musyawarah mufakat. Islam bukan agama formal, tapi agama yang progresif, liberal dan substantif. Sehingga islam selalu mengiringi perjalanana hidup bangsa dengan segala dinamikanya.
Penulis: Al Muiz Liddinillah
Sumber Gambar: https://www.hipwee.com