Pandemi Covid-19 yang melanda seluruh dunia membawa sebuah petaka. Tidak hanya satu sektor namun hampir semua sektor bisa dikatakan macet. Banyak isu yang bertebaran dimana-mana, mulai dari konspirasi Covid-19 hingga rumor vaksin yang terdapat chip didalamnya. Hingga saat ini total kematian dalam kasus Covid-19 di Indonesia sudah mencapai angka 2 juta sekian, dengan korban yang meninggal mencapai angka 67 ribu dan yang sembuh juga mencapai angka 2 juta sekian (covid19.go.id 2021).
Dalam melihat hal ini masyarakat bisa dikatakan belum siap bahkan tidak memiliki persiapan dalam menghadapi pandemi Covid-19. Persiapan yang diperlukan untuk bertahan selama masa pandemi cukup kompleks, namun hal yang paling utama adalah kesiapan secara finansial dan mental. Finansial merupakan kebutuhan dasar yang bisa menunjang seluruh aspek kehidupan masyarakat. Namun, sebagian masyarakat mengalihkan isu ini dengan agama.
Kebijakan yang telah dibentuk sedemikian rupa oleh pemerintah tidak diterima dan alih-alih digunakan sebagai kekuatan konspirasi yang dikonstruksi oleh sebagian organisasi masyarakat. Sehingga sebagian umat menolak dan tidak mengikuti aturan pemerintah. Dalam hal ini kekuatan dogma masih menjadi stereotipe terkuat bagi landasan masyarakat, terutama saat mereka tidak memiliki dasar pengetahuan yang kuat.
Agama memanglah penyelamat dan pengendali, namun kita harus sadar bahwa usaha manusia juga turut berperan penting dalam keselamatan dan keberlangsungan hidup umat manusia. Ketika ekonomi nyaris anjlok dan semua sektor mandek, tak seharusnya kita berputus asa dan gampang termakan oleh berita yang berkembang.
Seperti kutipan Yuval Noah Harari dalam bukunya yang berjudul Homodeus bahwa kedudukan ekonomi sama halnya dengan agama, ia mampu menyelamatkan beragam permasalahan manusia dan membuat manusia bisa menciptakan surga di dunia. Namun, tak khayal membuat salah satu diantaranya bisa berkuasa begitu saja. Keduanya haruslah berjalan secara seimbang, agar manusia bisa mencapai tujuannya baik di dunia maupun di akhirat.
Isu radikalisme yang kian marak berkembang bisa ditangkal dengan melihat kondisi masyarakat secara global dan melihat pada pedoman agama sesuai dengan keyakinan masing-masing. Hal itu bertujuan agar bisa berjalan secara selaras dengan kebijakan yang dibentuk pemerintah selaku bersifat positif dan bisa menyelamatkan rakyatnya dari ambang batas runtuhnya beragam sektor.
Selain lebih memperdekat diri dengan Tuhan, kita bisa melakukan hal-hal produktif selama masa pandemi agar tidak ikut tergoreng dalam isu radikalisme yang berkembang. Hal tersebut, seperti: mengikuti kegiatan yang bertujuan meng-upgrade diri secara online dan melakukan pekerjaan rumah agar hidup terasa lebih bermakna.
Meskipun masa pandemi ini terasa berat, kita tetaplah harus bangkit dan bersemangat dalam menjalani hari-hari. Hal itu akan membuat imunitas kita akan semakin baik dan tidak gampang terserang penyakit. Jangan termakan isu dan tersulut emosi, jika orang-orang terdekat ada yang berlaku demikian kita bisa mengingatkan secara pelan-pelan dan tak perlu ikut campur dalam hal-hal yang bersifat radikal.
Ketika isu berkembang, akan membuat kondisi masyarakat menjadi tidak kondusif. Sudah cukup dengan tingginya angka kasus Covid-19 yang membuat runyam, sampai orang-orang terdekat juga ikut terpapar. Pemerintah masih berusaha mengupayakan, yang bisa kita lakukan adalah kesadaran diri sendiri untuk terus bangkit dan menaati aturan dari pemerintah. Kapitalisme memanglah hal yang lumrah, tapi tak seharusnya disandingkan dengan isu agama tetutama untuk kepentingan golongan tertentu. Sebagai warga negara yang baik adalah menunaikan hak bernegara sekaligus menuntut hak apa yang seharusnya diterima sebagai masyarakat. Oleh karena itu berpikir secara dualisme sangatlah dibutuhkan dalam menentukan langkah yang seharusnya kita ambil.
Penulis: Dewi Ariyanti Soffi (Duta Damai Jawa Timur)