Indonesia turut berduka atas meninggalnya Nukman Luthfie,beberapa bulan lalu. Ia adalah pakar media sosial yang amat getol mengkampanyekan perdamaian di dunia maya- alias media sosial. Tidak hanya itu, baginya, media sosial mampu menemani kita untuk mencari jati diri dan meraih masa depan.
Sebagaimana dalam quote profile akun twitternya ditulis, “Media sosial itu jendela kecil untuk menafsir siapa kita. Rawatlah demi masa depan yang lebih baik.”
Jendela kecil yang dimaksud Nukman ini bisa ditafsirkan sebuah sirkulasi informasi, ilmu pengetahuan atau kebijaksanaan lain yang keluar masuk – melalui ruang kecil. Ruang kecil itulah yang kita sebut sebagai gawai atau serupanya. Dari jendela kecil itulah seorang bijak akan menafsir dirinya selama menggunakan media sosialnya.
Menafsir diri melalui apa yang sering diposting, dibaca, dilihat atau dibagikan ke orang lain mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi. Dari beberapa perilaku penggunaan media sosial tersebut, kita dapat mengetahui siapa kita. Apa yang kita suka, hingga apa yang tidak kita suka.
Dari situlah kita bisa memilah mana yang baik untuk dikonsumsi atau tidak. Seorang bijak akan suka memilih konten yang berpengaruh, bermanfaat dan menginspirasi orang lain (positif) untuk diposting atau disebarkan. Selain itu, orang bijak juga akan merawat media sosialnya dengan cinta kasih, tanpa kebencian.
Seseorang yang memiliki rasa cinta tidak akan menyakiti, tidak akan membenci dan memfitnah orang lain. Mengapa rasa cinta ini penting untuk diamalkan oleh setiap pengguna media sosial? Karena rasa cinta inilah yang kini kita butuhkan di tengah disrupsi kemunafikan media sosial.
Seorang yang memiliki rasa cinta, akan memiliki rasa malu. Malu untuk membuat konten yang tidak berguna. Malu untuk menyebarkan kebencian. Malu untuk menyebarkan konten negatif lainnya.
Apalagi rasa cinta ini didasari atas nilai ketuhanan dan kebangsaan yang kuat – cinta kepada Tuhan dan cinta kepada tanah air. Di sinilah puncak cinta kita yang perlu kita tanam dalam setiap laku bermedia sosial. Sehingga tiada lagi kesesatan bagi kita semua.
Cinta yang berasas ketuhanan ini menjadi sangat penting untuk diaplikasikan di tengah dosa-dosa virtual. Di mana wujud kebohongan, adu domba, atau fitah sekarang telah menjelma menjadi cyber physic. Sebagai manusia yang mengamalkan nilai-nilai agama dengan baik, ia tidak akan melakukan perbuatan tercela itu di media sosial.
Berikutnya, cinta tanah air. Sebagai bangsa yang mencintai tanah air tentu tidak akan merusak tanah airnya dengan kebencian di media sosial. Pendosa tanah air acap kali menggunakan media sosial dengan memproduksi banyak kebencian.
Kebencian-kebencian itu barbau isu intoleransi antar umat beragama, ras, suku, etnis dan lainnya. Diskriminasi virtual dengan olok-olok entitas tertentu menjadi penyakit media sosial, seperti; Cina loe, Katolik loe, Sipit loe, Kafir ente dan lain sebagainya. Akankah kebencian kebangsaan ini terus berlanjut?
Jawabnya bisa jadi iya, bisa jadi tidak. Iya, kebencian antar bangsa akan berlanjut jika kita pengguna media sosial yang ngakunya cinta tanah air, hanya menjadi pengguna pasif, parahnya jika malah menjadi produser dan distributor kebencian itu sendiri. Akan tetapi, penulis yakin, masih banyak orang baik, yang cinta tanah air dengan menjadi pengguna internet aktif dan turut mengkonter kebencian itu dengan konten-konten positif, penuh cinta kasih dan perdamaian.
Sebagaimana yang pernah dikatakan Nukman Luthfie, “Salah satu bela negara yang asyik adalah banjiri medsos kita dengan konten yang positif.”
Sudah siapkah kita membanjiri media sosial kita dengan konten positif? Konten yang menyebarkan pesan-pesan agama dengan penuh cinta kasih. Konten yang mampu memberikan manfaat dan inspirasi kepada orang lain. Konten yang mengajak kita semua menuju jalan yang lurus jalan damai media sosial. Jalan para pecinta tanpa kebencian.
Jalan damai akan mengantarkan kita pada perdamaian sesungguhnya; Love for all, hatred for none – Cinta untuk semuanya dan kebencian itu tidak ada. Cinta adalah rasa tertinggi untuk menjadi manusia paripurna, manusia sempurna.
Penulis: Al Muiz Liddinillah