“Menerima kos muslim”, “menerima kos putri muslimah”, “lowongan kerja, syarat: pria/wanita muslim”. Itu adalah fenomena eksklusifitas yang menjamur di kota-kota besar. Ini adalah wujud intoleransi dalam bentuk penegasian terhadap kelompok lain.
Fenomena ini tentu sangan berbahaya jika dibiarkan terus-menerus. Hubungan yang harmonis, saling memahami dan memberdayakan tidak mungkin tercipta jika antar agama tidak saling menerima.
Eksklusifitas, hanya mau menerima agama/kelompoknya sendiri merusak tenun kebangsaan yang sudah lama dirajut oleh para pendahulu kita. Semangat kebangsaan yang mendobrak sekat-sekat primordialisme, baik itu suku, budaya, agama, dan keyakinan.
Penegasian terhadap kelompok lain akan menimbulkan saling curiga. Diskriminasi, polarisasi, bahkan dalam level tertentu: konflik –bisa terjadi bila fenomena ini tidak segera ditangani. Untuk itu, merayakan perbedaan dalam bingkai kebinekaan adalah tugas bersama, yang tak bisa ditunda-tunda lagi.
Wabah Intoleransi
Wabah intoleransi sangat berbahaya dalam hubungan kemasyarakatan, berbangsa, dan bernegara. Sikap intoleran yang tidak mau memahami, berlapang dada, dan memberdayakan pihak lain –bagaikan duri dalam daging.
Wabah intoleransi sangat berbahaya dalam hubungan kemasyarakatan, berbangsa, dan bernegara. Sikap intoleran yang tidak mau memahami, berlapang dada, dan memberdayakan pihak lain –bagaikan duri dalam daging.
Inilah salah satu ancaman terbesar yang menghantui Indonesia. Belum lagi, virus radikalisme –sebagai bagian tak terpisahkan dari intoleransi –bersifat acak, sulit dideteksi lokus, aktor, sebab-musabbanya, ditambah agama sebagai bagian tak terpisahkan dari manusia sering dibawa-bawa sebagai alat legitimasi untuk melakukan tindakan intoleran.
Dalam konteks menjalin hubungan yang damai dalam kemasyarakatan, berbangsa, dan bernegara, salah satu refleksi yang harus dijadikan tugas bersama adalah membebaskan diri dari belenggu virus intoleransi. Tugas ini merupakan tugas dan tanggung jawab bersama. Kerja-kerja kolektif untuk menangkal virus ini harus dijalankan dalam semua lini.
Islam Ramah
Data terakhir yang dikeluarkan oleh Kementerian Agama (2019) tentang Indeks Kerukunan Umat Beragama menunjukkan, bahwa “kota-kota” yang selama ini diklaim sebagai kota islami mendapatkan rangking paling bawah. Aceh (62.2) paling bawah, menyusul Sumbar (64,4) dan Jawa Barat (68,5).
Data ini juga sekaligus menunjukkan, bahwa hampir semua kota yang penduduknya mayoritas muslim berada pada urutan belakang. Dalam konteks inilah, patut dipertanyakan, bagaimana Islam yang diresepsi dan diamalkan oleh para penduduknya.
Apakah Islam dipahami adalah Islam simbolik, kurang ramah terhadap kelompok lain, atau justru dijadikan sebagai identitas semata. Dalam hal ini, kita perlu kembali kepada substansi Islam itu sendiri. Yang disebut islami bukanlah banyaknya mesjid, maraknya pengajian, menjamurnya travel umrah, dan seterusnya yang sifatnya simbolik-artifisial.
Yang disebut islami adalah memberikan kedamaian, keamanan, dan kesejahteraan kepada manusia tanpa pandang bulu latar belakangnya. Ketiga kompenen ini, hanya bisa terwujud jika kita kembali pada ajaran substansi Islam itu, yakni rahmah, kasih sayang.
Persis inilah dikonsepsikan oleh Islam Nusantara. Islam yang menyejarah, membabur, mengakomodir budaya, dan menghargai perbedaan. Islam Nusantara mampu mendamaikan antara Islam dengan budaya dan tradisi di sekitarnya. Hubungan saling memahami dan memberdayakan selama ini terwujud dengan harmonis.
Maraknya fenomena eksklusifitas dengan menegasikan kelompok lain adalah bertolak belakang dengan semangat Islam Ramah. Dalam pola hubungan kemasyarakatan, rasa aman, damai, dan sejahtera seharusnya menjadi acuan bersama dalam mewujudkan masyarakat madani,
Spirit persaudaraan dan kebebasan beragama yang sudah menyejarah pada bumi Nusantara, mulai hilang di tengah-tengah masyarakat kita. Hanya sebab alasan beda pilihan politik, beda pandangan soal kebijakan, beda pemahaman keagamaan, kita dengan mudah saling mencaci, memaki, memfitnah, dan menyebar hoax dan ujaran kebencian.
Kita lupa, bahwa kita adalah sama-sama satu bangsa, satu bahasa, dan sama-sama tinggal di bumi yang sama. Indonesia. Sikap sosial inklusif yang diajarkan para pendahulu kita seharusnya menjadi pegangan kita bersama. Kita harus menempatkan persaudaraan di atas segalanya.
Kita boleh berbeda pendapat, beda pilihan politik, beda pemahaman keagamaan, akan tetapi jangan sampai merusak tenun kebangsaan yang sudah dibangun oleh para pendiri bangsa ini. Jika kita tidak bisa merawat tenun itu, setidaknya kita jangan merusaknya apalagi mencampakkannya.
Sikap saling memahami, saling menjaga, dan saling memberdayakan harus menjadi prioritas kita bersama dalam membangun hubungan lintas agama. Kita adalah saudara, sekalipun bukan saudara se-akidah, tetapi kita semua adalah saudara sesama anak bangsa. Sikap saling asah dalam beragama harus diparaktikkan dalam kehidupan beragama.
Penulis: Hamka Husein Hasibuan